Bersandar dan Bernaung

74 14 8
                                    

Salfira masih bergelung dengan selimutnya. Pagi ini rasanya dingin sekali. Salfira baru bisa terpejam setelah subuh, namun baru jam 8 pagi dirinya sudah terbangun kembali. Akhir-akhir ini memang banyak pikiran yang menghantuinya. Salah satunya, mengenai project Masih Bocah Ingusan yang entah mengapa Salfira sudah mulai jenuh mengerjakannya. Apalagi akhir-akhir ini baru Salfira sadari, kalau project itu masih diam di tempat walau sudah tiga tahun berdiri. Salfira sungguh pusing memikirkannya.

"Dek, jadi ikut nggak sih?" Tanya Pras yang entah sejak kapan sudah berdiri diambang pintu kamar adiknya.

"Nggak deh." Salfira menggeleng lesu.

Pras yang melihat itu mengernyitkan dahinya. Pasalnya, kemarin adiknya begitu bersemangat memintanya untuk ikut ke Kebun Lindung. Selama tiga tahun kebun itu dibuat, Salfira memang belum pernah berkunjung ke sana. "Loh, kenapa?" Pras akhirnya memilih bertanya langsung.

"Tiba-tiba males aja." Salfira mencoba beralasan.

"Mana boleh begitu. Gue udah bilang ke yang lain kalau lo bakal ikut ya, Sal. Buru ah!" Ucap Pras berlalu tanpa menunggu jawaban dari adiknya. Sebetulnya Pras baru bilang hanya pada Danis, saat laki-laki itu menelponnya tadi pagi.

Salfira bergeming. Dia masih duduk di kasur miliknya. Sampai suara laki-laki yang dia panggil Aa -sebutan untuk kakak untuk laki-laki atau laki-laki yang lebih tua dalam bahasa Sunda- kembali terdengar. "Gue tunggu lima menit!" Teriak Pras.

"Ngeselin banget." Gerutu Salfira mulai beranjak dari kasurnya. Salfira melangkahkan kaki ke arah kamar mandi. Sebelum tubuhnya benar-benar masuk ke dalam kamar mandi, Salfira berteriak, "Satu jam, kalau lo keberatan silakan tinggal. Gue nggak masalah kalau harus nggak jadi ikut!"

Sementara Pras yang kini tengah menunggu adik satu-satunya bersiap hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar teriakan adiknya itu. Dia mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya, memberi tahu bahwa dia akan datang ke Kebun Lindung agak siang.

***

Zaron baru tiba di Kebun Lindung saat siang hari. Matanya baru bisa terpejam pagi tadi. Dia memang selalu kesulitan untuk tidur malam. Mungkin terlalu banyak minum berkafein, atau bisa jadi terlalu banyak beban pikiran.

Zaron berjalan ke arah Gazebo, melewati aneka tanaman di Kebun Lindung. Menyusuri beberapa pohon buah dan sayur yang ditanam sebagai pagar hidup seperti pohon buah plum, pohon singkong, bunga soka jawa, dan beberapa jenis tanaman lainnya. Matanya menangkap seekor lebah yang tengah melaksanakan tugasnya, membantu proses penyerbukan. Selain itu, Zaron juga melihat beberapa belalang yang hinggap di dahan, seekor kadal yang tengah wara-wiri entah akan ke mana, dan seorang perempuan yang tengah sibuk memotret bunga matahari. Perempuan yang sama sekali tidak dia duga kedatangannya.

Salfira berbalik, langsung bersitatap dengan netra milik Zaron yang tengah menatapnya intens. Salfira terkejut, tatapan intens milik Zaron cukup membuatnya salah tingkah. Sejak kapan laki-laki itu berada di sana? Salfira bertanya-tanya dalam hati.

"Hai, Ron!" Sapa Salfira canggung karena sampai kini Zaron masih terus menatapnya.

Zaron hanya terdiam, mematung. Setelah sadar dari lamunannya, Zaron berdehem sebentar. "Hai, kok bisa di sini?"

"Eh, iya. Diajak Pras soalnya." Jawab Salfira.

Zaron mengangguk mengerti, perempuan di hadapannya ini ternyata memang kekasih sahabatnya, sesuai dugaannya. Ini juga alasan Zaron sampai saat ini belum menghubungi perempuan ini. "Oh oke. Kalau gitu gue tinggal ya." Pamit Zaron. Zaron sengaja memutuskan untuk pergi, dia tak ingin lama-lama dengan kekasih sahabatnya dan menimbulkan kesalahpahaman.

KALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang