1 | Kabar Buruk

657 69 54
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Rere menyerahkan koper yang sudah jauh-jauh hari ia siapkan untuk Iqbal. Koper itu selalu saja ia bawa di bagasi mobilnya, karena takut sewaktu-waktu Iqbal akan bepergian jauh secara mendadak. Hal itu akhirnya terlaksana, karena Iqbal kini harus pergi jauh bersama anggota timnya untuk mengurus sebuah kasus.

"Ingat, jangan lupa memberi kabar kalau Abang sudah sampai di Kediri," pesan Niki.

"Iya, Nik. Insya Allah Abang akan langsung memberi kabar pada Ibu dan Ayah kalau sudah sampai di tujuan," tanggap Iqbal.

"Ingat, Abang jangan lupa shalat meski keadaan sedang gawat darurat. Shalat itu nomor satu, Bang. Jangan sampai Abang lalai."

"Iya, Nik. Insya Allah Abang enggak akan lupa untuk shalat, meski Abang ada di tengah hutan sekalipun."

"Ingat, Abang enggak boleh ngomong sembarangan kalau ada di tempat baru. Abang harus jaga sikap, jaga adab, dan juga jaga ucapan. Intinya, Abang enggak boleh takabur dalam keadaan apa pun."

"Iya, Nik. Insya Allah Abang enggak akan ngomong sembarangan. Abang enggak akan takabur dan sebisa mungkin merendah diri, meski sedang kesal terhadap seseorang atau sesuatu."

"Ingat ...."

"Jadinya kapan Abangmu bisa pergi ke bandara, Nik? Kamu enggak lihat, hah, Samsul, Revan, dan Pangsit tampaknya sudah siap mengeluarkan semua unek-unek di dalam hati mereka atas kebawelan kamu pada Abangmu," tegur Rere, sambil memijat keningnya yang mulai berdenyut-denyut.

Niki pun tersenyum lebar saat tatapnya tertuju pada Samsul, Revan, dan Pangsit. Kedua pemuda itu tampaknya telah sejak tadi menunggu Iqbal dan Karel di halaman depan rumah Keluarga Wiratama bersama Reva, Ruby, dan Nadin. Karel--yang baru tiba di teras rumah--tertawa pelan, lalu merangkul Iqbal seperti biasa. Ia menatap Niki, seraya mengacak pelan puncak kepala gadis itu.

"Sudah, Nik. Ketik saja semua pesan yang ingin kamu sampaikan pada Abangmu ini. Nanti biar aku yang akan sampaikan padanya di perjalanan," saran Karel.

"Eh ... enggak ada perencanaan model begitu, ya, di antara kita. Jangan coba menambah-nambah kegiatan," tolak Iqbal.

Niki dan Karel pun kompak tertawa, ketika mereka mendengar penolakan yang diiringi ekspresi panik di wajah Iqbal. Ziva mendekat bersama Raja dan berdiri tepat di samping Rere. Raja menyerahkan Siomay ke tangan Karel, karena kucing cantik itu sudah berpamitan pada kedua induknya di dalam rumah. Iqbal dan Karel pun segera berpamitan pada orangtua mereka, sebelum akhirnya beranjak menuju ke mobil travel yang sudah menunggu sejak tadi.

"Hati-hati saat bekerja, Nak. Kabari Ayah dan Ibu jika telah sampai di Kediri," pesan Ziva.

"Iya, Bu. Insya Allah, aku akan selalu berhati-hati dan mengabari," sahut Karel, sebelum masuk ke mobil travel.

"Ayah akan pantau story WhatsApp-nya Samsul. Jadi jangan lupa pasang wajah gantengmu saat Samsul mengambil foto," tambah Raja.

Ziva dan Rere langsung berkacak pinggang, usai mendengar pesan konyol yang Raja cetuskan. Niki segera menarik tangan Raja, agar Pamannya tersebut bisa meloloskan diri dari terkaman Bibi dan Ibunya. Karel tidak memberi tanggapan lagi dan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia duduk tepat di samping Iqbal yang saat itu telah memerhatikan i-Pad milik Ruby. Mobil travel itu pun akhirnya melaju meninggalkan halaman rumah Keluarga Wiratama.

"Itu ... PR atau ...."

Nadin terkekeh pelan, lalu menoleh ke arah Iqbal.

"Bukan. Ini bukan PR, kok. Aku cuma lagi memainkan game favoritnya Ruby," jawab Nadin.

"Ah ... game bertema matematika itu adalah game favorit Ruby, rupanya. Alhamdulillah," ungkap Iqbal, terlihat sangat lega.

"Alhamdulillah? Kok, alhamdulillah?" Nadin keheranan.

"Iya, alhamdulillah. Aku bersyukur kalau game itu bukan game favorit kamu. Aku takut kalau sewaktu-waktu kamu mendadak bertanya sama aku soal matematika seperti yang ada di game itu. Aku enggak jago matematika soalnya," aku Iqbal, seraya tertawa pelan.

Nadin ikut tertawa, begitu pula dengan Karel yang juga mendengar pengakuan itu. Revan pun segera bangkit dari kursi belakang, setelah menyerahkan Pangsit ke pangkuan Samsul. Ia langsung meletakkan kedua tangannya pada pundak Iqbal dan menjadikannya sebagai tumpuan.

"Jika n dikurangi 11.507 hasilnya adalah 41.009, berapakah nilai n?" tanya Revan, tepat di telinga Iqbal.

"Astaghfirullah, Revan. 'Kan Iqbal baru saja bilang kalau dirinya enggak jago matematika. Kenapa malah ditanya perkara matematika, sih?" gemas Nadin.

"Van, jangan cari perkara, deh. Tolong jagalah mood Adik tercintamu di sudut belakang sini," mohon Samsul, seraya melirik ke arah Reva.

Gadis itu sudah sejak tadi menahan-nahan rasa geram dengan cara berdiam diri. Reva tidak sabar ingin segera sampai di Kediri. Ia ingin sekali melihat wajah-wajah manusia yang takut merasa malu terhadap tetangga, tapi lupa untuk merasa khawatir pada anak dan menantu sendiri. Jadi saat ia melihat tingkah laku Revan yang sengaja ingin menjahili Iqbal, ia langsung memasang wajah menyeramkan penuh intimidasi.

Revan langsung melepaskan kedua tangannya dari pundak Iqbal. Pemuda itu mundur pelan-pelan dan kembali duduk di kursinya dengan tenang setelah mengambil Pangsit dari pangkuan Samsul. Samsul yang berada di antara mereka berdua merasa sangat tersiksa. Namun jelas tak punya pilihan lain, karena itu adalah satu-satunya tempat duduk yang tersedia untuknya sejak awal.

"Hati-hati, Van. Jangan sampai kamu yang berulah, tapi Pangsit yang akan jadi korban," ujar Karel, seraya membelai lembut kepala Siomay yang sejak tadi ada dalam dekapannya.

"Ck! Jangan bawa-bawa nama Pangsit! Akan kujewer kupingnya Siomay, kalau kamu coba-coba mengancamku melalui Pangsit!" ancam Revan.

"Meow," sahut Siomay, yang langsung bersembunyi dengan cepat ke dalam jaket Iqbal yang terbuka.

Nadin kaget saat melihat Siomay bersembunyi. Namun Iqbal menghadapinya dengan santai, seakan pemuda itu sudah terbiasa menjadi tempat kucing cantik itu bersembunyi selama ini.

"U-lu-lu-lu-lu-lu, Siomay Cantik. Kenapa sembunyi, Nak? Kenapa? Hm? Takut sama Revan, Nak? Cakar saja. Gunakan cakar-cakar indahmu untuk mengoyak wajah kurang gantengnya," saran Iqbal, sambil menimang Siomay dengan lembut.

Ruby dan Nadin akhirnya tertawa, setelah mendengar saran yang tercetus dari mulut Iqbal. Tak berapa lama kemudian, sebuah pesan mendadak masuk ke ponsel Ruby. Gadis itu segera membuka pesan tersebut dan senyumnya mendadak lenyap dalam sekejap.

"Hei, Bu Risma baru saja kirim pesan," ujar Ruby, menyampaikan.

"Bu Risma bilang apa, By?" tanya Samsul, mewakili yang lainnya.

"Katanya, dia dan suaminya baru saja diganggu lagi oleh makhluk halus yang meneror. Dan ... dan ...."

"Dan? Dan apa? Apa hal buruk yang terjadi?" tebak Reva, seraya mengepalkan kedua tangannya erat-erat untuk menahan emosi.

"Itu ... suaminya Bu Risma. Dia ... dia mendadak tidak sadarkan diri setelah lari dan berteriak minta tolong dari arah kamar mandi," jawab Ruby, dengan perasaan yang cukup kacau.

* * *

SAMPAI JUMPA BESOK 🥰

ANJA-ANJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang