2 | Perjalanan

498 58 57
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE SETIAP UPDATE
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Meski baru saja menerima kabar buruk dari Risma mengenai keadaan suaminya yang mendadak tidak sadarkan diri, mereka berupaya untuk tetap tenang. Rasa gelisah dan tak sabar ingin segera tiba di tujuan berusaha mereka pendam. Mereka melakukan itu agar kondisi mental mereka tetap baik-baik saja, ketika akhirnya harus berhadapan langsung dengan makhluk halus yang mengganggu Risma dan suaminya.

Di pesawat, Ruby duduk bersama Reva, sementara Nadin duduk terpisah bersama penumpang lain. Samsul mendapat jatah duduk di samping Iqbal, sementara Karel duduk di samping Revan.

"Kalau aku tidur sebelum pesawat take off, apakah enggak ada yang keberatan?" tanya Samsul.

"Tidur saja, Sul. Enggak apa-apa, kok," jawab Karel.

"Tidurlah. Biar nanti keadaanmu jadi lebih berkualitas saat bekerja," tambah Iqbal.

"Tidur saja, biar staminamu tetap terjaga. Jangan lupa mimpikan Pangsit, ya," pesan Revan.

Iqbal dan Nadin--yang ada di kursi terpisah--tertawa kompak. Samsul sendiri saat ini sudah menekuk wajahnya, sebelum akhirnya ia menutup mata menggunakan eye mask sleep over bergambar Keroppi.

"Mendingan aku mimpi ketemu Sammy dan Sandy, deh, daripada harus ketemu Pangsit dalam mimpi. Seram. Takutnya dalam mimpi Pangsit akan mencakar wajah gantengku," tolak Samsul.

Karel baru saja mengubah ponselnya ke mode pesawat, ketika dirinya baru tiba di pesawat bersama anggota timnya. Sejak tadi ternyata sudah ada pesan dari Niki yang masuk namun tak ia sadari. Ia membuka pesan itu, setelah Siomay aman di dalam kandangnya. Kali itu ia duduk di sebelah Revan yang sedang sibuk menenangkan Pangsit. Fokusnya tertuju pada pesan yang dikirim oleh Niki, dan hal itu membuat Revan ingin sekali tahu apa isi pesan yang sedang dibaca oleh Karel.

NIKI
Assalamu'alaikum, Rel. Tolong bilang sama Abangku, jangan lupa makan. Kadang kalau tidak diingatkan, Bang Iqbal selalu saja abai terhadap dirinya sendiri meski merasa lapar.

NIKI
Satu lagi. Tolong pulanglah dalam keadaan selamat.

"Ada pesan masuk? Dari siapa?" tanya Revan, sukses membuyarkan fokus Karel saat itu.

Karel kini menoleh kepadanya, lalu tersenyum seperti biasa seraya mematikan layar ponselnya. Ia tahu persis bahwa Revan tidak akan mengintip ke arah ponselnya, meski merasa penasaran dengan sesuatu yang sedang Karel perhatikan. Namun begitu, tetap saja Karel lebih merasa nyaman bila ponselnya segera ia matikan. Apa yang menjadi urusannya dengan Niki tidak perlu diketahui oleh siapa pun, termasuk oleh Revan yang begitu dekat dengannya.

"Dari Niki, Van. Dia titip pesan buat Iqbal. Soalnya tadi dia enggak sempat menyampaikan wejangan panjang sebelum Iqbal pergi. Gara-gara kamu, Pangsit, dan Samsul terus saja menatap sebal ke arah Niki," jawab Karel, apa adanya.

Revan langsung mencebik, usai mendengar jawaban yang Karel berikan. Pesawat akhirnya mengudara tak lama kemudian. Pangsit dan Siomay sangat tenang di dalam kandang masing-masing.

"Usianya Iqbal lebih tua satu tahun daripada kita. Jadi untuk apa dia diberi wejangan yang panjang, padahal kita berdua saja sama sekali tidak diberi wejangan apa pun oleh orangtua masing-masing. Menurutku, sikap Niki terlalu berlebihan," ujar Revan.

"Kamu bisa bicara begitu, karena selama ini Bapak dan Mamakmu enggak pernah merasa khawatir terhadap kamu dan Reva. Beda halnya dengan Iqbal. Usianya mungkin lebih tua daripada kita, tapi rasa khawatir seluruh anggota Keluarga Bareksa terhadapnya tidak akan pernah putus. Satu, Iqbal anak sulung dan dia adalah anak laki-laki. Dua, dia adalah penerus nama keluarga satu-satunya, karena nanti Niki akan berganti nama keluarga setelah menikah. Tiga, pekerjaan yang Iqbal jalani bersama kita ini tidak seenak dan semudah pekerjaan Om Vano di kantornya. Jadi, wajar saja kalau Niki memberi wejangan yang panjang untuk Iqbal sebelum pergi jauh. Wejangannya itu mewakili pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh anggota Keluarga Bareksa yang lain kepada Iqbal," jelas Karel, agar Revan tidak salah menilai tindakan Niki.

Revan pun terdiam. Karel jelas benar, kalau selama ini kedua orangtuanya sama sekali tidak pernah menunjukkan rasa khawatir terhadapnya ataupun Reva. Kedua orangtuanya selalu yakin, kalau ia dan Reva bisa menjaga diri serta menyelesaikan masalah apa pun yang harus dihadapi. Maka dari itulah ia sedikit sinis terhadap perhatian yang Iqbal terima dari seluruh anggota keluarganya. Karena sejujurnya, ia juga ingin mendengar satu kali saja rasa khawatir dari mulut orangtuanya. Sayang, hal itu jelas tidak akan terjadi akibat dari betapa yakinnya mereka bahwa ia dan Reva adalah anak-anak yang tangguh.

"Maaf," lirih Revan.

Karel pun menoleh kembali ke arahnya.

"Aku enggak ada maksud menjelek-jelekkan Niki. Aku cuma ... aku cuma merasa bahwa hidup itu terkadang ...."

"Ada yang mau kacang telur, enggak?" tawar Iqbal.

Pemuda itu sengaja memanjat kursi pesawat, agar bisa menoleh ke belakang untuk menyodorkan sebungkus besar kacang telur yang baru saja dibuka. Telinga kiri Iqbal terlihat sedang disumbat oleh earbuds, sementara earbuds sebelah kanan ada dalam genggaman tangan kirinya. Entah lagu apa yang sedang didengar oleh Iqbal, sehingga pemuda enggan melepas earbudsnya yang tersisa.

"Ibuku yang bikin kemarin sore. Jadinya dia membekali aku sebagian kacang telur ini, agar bisa kumakan dalam perjalanan," tambahnya.

Revan langsung mengambil segenggam kacang telur yang Iqbal tawarkan. Karel berusaha mengintip ke arah ransel milik Iqbal yang ada di kursi depan.

"Ada whiskas, enggak?" tanya Karel.

"Hah? Whiskas? Memangnya aku kucing, sehingga di dalam ranselku harus ada whiskas?" kaget Iqbal.

"Ya, siapa tahu Tante Rere juga membekali whiskas untuk Siomay ke dalam ranselmu," sahut Karel.

Kacang telur dalam genggaman Revan sudah habis. Pemuda itu langsung mengambil kacang telur yang masih terulur di tangan Iqbal, beserta dengan bungkusnya.

"Heh! Ibuku lebih sayang aku, daripada makhluk imut berbulu lebat nan cantik seperti Siomay. Jadi sudah jelas, di dalam ranselku hanya ada makanan yang bisa aku makan. Memangnya tadi Tante Ziva atau Om Raja enggak membekali apa-apa ke dalam ranselmu, ketika menyerahkan Siomay ke tanganmu sebelum pergi?"

"Kayaknya, sih, ada. Tapi ranselku sudah terlanjur kusimpan di tempat penyimpanan."

"Kalau memang ada, terus kenapa whiskasnya enggak kamu masukkan ke saku jaket saja? Kamu itu hobi sekali melakukan sesuatu yang ribet, ya. Heran aku," keluh Iqbal.

Tatap mata Iqbal kini beralih pada tangannya yang telah kosong, begitu pula dengan Karel. Keduanya pun tersadar, kalau seharusnya di tangan Iqbal ada satu plastik besar kacang telur yang tadi baru saja dibuka.

Krauk-krauk-krauk!
Krauk-krauk-krauk!

Suara kunyahan yang sangat renyah terdengar oleh keduanya. Revan tampak sangat menikmati enaknya kacang telur buatan Rere, sehingga lupa bahwa Iqbal adalah pemilik sah satu bungkus kacang telur tersebut.

"Van ... kamu lapar atau doyan?" tanya Karel.

"Tadi perasaan aku nawarin supaya kamu dan Karel bisa ambil sedikit-sedikit, deh. Kok, sekarang kacang telur itu malah berpindah seplastik-plastiknya ke tanganmu?" heran Iqbal.

"Kacang telurnya enak, loh. Kalian mau?" tawarnya, dengan wajah seakan tak berdosa.

"Itu 'kan kacang telur punyaku, Revan Rahadi! Kenapa jadi kamu yang malah menawarkan balik padaku, sih?" gemas Iqbal.

* * *

ANJA-ANJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang