HAEVAN | 05

409 50 3
                                    

Aku terbangun pagi ini dan selama beberapa detik, rasanya tenang. Tapi begitu aku membuka mata, kenyataan pahit dari beberapa jam terakhir kembali menyergap.

Kakakku sendiri yang menjualku. Dia tidak pernah peduli apa yang dilakukan ayah atau mencampuri urusannya, tapi aku selalu berharap dia bisa berubah jadi orang yang lebih baik. Ternyata aku salah.

Tapi, anehnya, aku tidak diperlakukan seperti tahanan. Setidaknya tidak sepenuhnya. Tidak ada tali atau ruang bawah tanah yang lembap. Hanya sebuah rumah besar dengan hampir seratus pria bersenjata. 

Kamar yang Jared katakan, yang akan menjadi kamarku, ternyata indah. Ada ranjang ukuran queen dengan tumpukan bantal di atasnya. Di satu sisi ada meja dan kursi, diapit rak buku yang menempel di dinding, dan di sisi lain ada lemari besar. Ada kamar mandi dalam kamar dan lemari yang kosong.

Aku bangkit dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Setelah selesai, aku coba merapikan rambutku dan menghapus sisa riasan yang belepotan di bawah mataku. Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Tapi saat aku membuka mata, aku berteriak. 

Di ambang pintu kamar mandi, berdirinya Jared. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jasnya, dan dia bersandar santai di kusen pintu, memperhatikanku.

"Aku tidak bermaksud nakut-nakutin kamu," katanya. Dia mengambil sesuatu dari lantai dan menyembunyikannya di belakang punggungnya. 

"Apa yang kamu mau?" tanyaku, dengan suara lebih keras dari yang kumaksudkan. Alisnya terangkat, sedikit kaget, tapi senyum langsung mengembang di wajahnya.

"Kembali ke kamar," katanya sebelum berbalik.

Aku mengikutinya, dan dia menaruh sebuah kotak hitam besar di atas tempat tidur. Dia menoleh padaku sambil tersenyum, lalu menunjuk ke kotak itu.

Kenapa dia senyum-senyum? Apa sih isi kotak ini? Bahan peledak? Kepala seseorang? Atau gas beracun? 

"Buka," katanya, meski nadanya tidak terdengar seperti perintah.

Aku menurut dan perlahan mengangkat penutup kotaknya. Aku menatap isinya dengan bingung, lalu melihat ke arahnya lagi.

"Kamu suka?" tanyanya. 

Aku mengeluarkan sebuah sweater berwarna putih dari kotak dan mengangkatnya di depanku. Terlihat indah, dan entah adakah ukurannya pas untukku. Di bawah sweater itu, ada pakaian dalam baru, sandal baru, dan perlengkapan mandi.

Dia terlihat gugup. Seolah-olah dia peduli sama apa yang aku pikirkan. Ini bikin bingung. Tidak pernah terpikir dalam hidupku kalau seorang Jared El Lucius bisa gugup di depan seorang cowok. Memangnya, kenapa ingin gugup dihadapanku? Aku kan cowok.

Ini sama sekali tidak sesuai ekspektasiku tentang dia. Dia dingin dan penuh perhitungan, kekejaman, semua orang tahu itu. Jadi, apa pun yang dia lakukan padaku, pasti ada rencana besar di sebaliknya.  

"Bagus kok," kataku sambil melipat sweater itu, "terima kasih."

Senyum lebar muncul di wajahnya dan itu membuat aku merasa hangat.

"Pakai baju itu dan temui aku di ruang makan," katanya sebelum pergi.

Aku langsung masuk kamar mandi untuk membersihkan diri dari kotoran akibat penculikan. Sejak pria besar itu menghajar aku, rasanya aku sangat kotor. Aku berendam di air panas selama mungkin sebelum membalut tubuhku dengan handuk.

Dengan agak ragu, aku ganti pakaian dalam dan pakai sweater yang dibawain jared, lalu melemparkan baju lamaku ke atas lemari. Aku pakai sikat gigi baru sebelum ngerapihin rambutku.

Baru saja aku membuka pintu kamar, ada seorang pria berdiri di sana membawa senapang mesin. Dia melirik ke arahku waktu pintu terbuka.Tidak mengatakan apa-apa, baik dia maupun aku. 

HIS BEAUTIFUL ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang