HAEVAN | 01

396 50 1
                                    


Aku terbangun di tengah malam karena suara ribut dari lantai bawah. Aku menggulingkan tubuhku dan menarik bantal ke atas kepala, mencoba meredam suara ayahku yang mabuk. Aku bisa mendengar dia mengumpat sambil menjatuhkan gelas, sebelum langkah kakinya terdengar menuju ke atas.

Aku berbaring diam, berharap jika aku tidak bergerak, dia akan lupa untuk masuk ke kamarku. Dia akan berjalan melewati pintu kamarku, langsung ke kamarnya sendiri. Tapi seperti malam-malam sebelumnya, harapanku sia-sia. 

Pintu terbuka keras dan terbanting ke dinding di belakangnya. Sosok ayahku yang terhuyung-huyung muncul di ambang pintu. Aku segera duduk, memeluk bantal erat di depan tubuhku seolah-olah bisa menjadi pelindung. Dia berjalan mendekat, dan meski aku tahu aku seharusnya lari atau melawan, pada akhirnya dia akan menemukanku, dan aku tetap akan terluka. Jadi, aku hanya duduk diam, menunggunya semakin dekat.

Dia menjambak rambutku, menarikku dari tempat tidur, lalu melemparkanku ke lantai kayu yang keras. Tendangan-tendangan itu kembali terasa pada perutku.

"Rumah ini benar-benar berantakan," katanya di sela-sela tendangan. Aku bisa merasakan memar mulai terbentuk pada kulitku, tapi aku tahu, lebih baik jika aku tetap diam.

"Makanya tidak ada yang mau menikahimu," katanya sambil tertawa, mendekatkan wajahnya padaku. Aku tidak berkata apa-apa dan tidak menatapnya. Melakukan salah satu dari itu hanya akan membuatnya semakin marah.

"Kau tahu ini semua salahmu, kan?" tanyanya sambil menarikku berdiri, dengan menarik rambutku. Dia menyeringai sebelum melepaskannya.

"Aku seharusnya tidak melakukan ini," katanya, kemudian meninju rahangku.

"Tapi kamu tidak pernah mau mendengarkan," tambahnya sambil menampar pipiku. Aku bisa merasakan darah di mulutku, tapi lagi-lagi aku mencoba mengabaikannya.

Kedua tangannya mula mencekik leherku, menahanku pada dinding. Telapak kakiku hampir tidak menyentuh lantai, membuatku semakin sulit bernapas.

"Kenapa kau tidak pernah belajar dari kesalahanmu, bocah?" bisiknya sebelum melepaskanku. Aku jatuh terduduk, menarik napas dalam-dalam, berusaha mendapatkan kembali udara ke paru-paruku. Dia pergi dari kamar dengan kemarahan, dan aku memegang leherku yang sudah memar.

Beberapa menit kemudian, akhirnya aku mendengar dengkuran halus. Pelan-pelan aku berjalan ke kamar mandi, mengunci pintu di belakangku. Di depan cermin, aku memeriksa memar baru dan lama di tubuhku. Aku menatap pantulanku dengan tajam. Biasanya, aku bisa menutupinya dengan riasan, tapi memar di leherku kali ini terlalu parah.

Aku menghela napas panjang, kembali ke kamar, dan berbaring di tempat tidur. Tidak lama, tidur membawaku masuk ke alam mimpi yang jauh lebih tenang. 


********


BERSAMBUNG...


[ Lanjut nggak ya? menurut kalian gimana? ]

HIS BEAUTIFUL ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang