HAEVAN | 14

224 33 2
                                    

Aku terbangun dan mendapati diriku dipeluk oleh lengan yang berurat.  Jared tertidur lelap dan memelukku di dadanya seperti anak kecil memeluk boneka beruang. Aku mencoba bergerak sesedikit mungkin agar tidak membangunkannya sambil tetap berusaha melepaskan diri dari genggamannya.

Tuhan tahu versi Jared yang mana yang akan kudapatkan hari ini.

"Mau ke mana?" tanya Jared dengan suaranya yang serak di pagi hari. Aku menatap wajahnya dan dia bahkan belum membuka matanya.

"Aku lapar," kataku padanya. Dia mengeratkan pelukannya sebelum menatapku.

Dia tersenyum mengantuk, "selamat pagi, mia bella."

"Selamat pagi Jared," jawabku, "sekarang bisakah kau melepaskanku?"

"Kurasa begitu," katanya sebelum melepaskanku.

Aku tidak berbohong saat mengatakan padanya bahwa aku lapar. Namun, itu juga bukan alasan utama aku ingin dia melepaskanku. Aku masih tidak tahu apa yang ingin dia capai di sini bersamaku. Dan berbaring bersama di tempat tidur terasa terlalu nyaman.

Aku langsung menuju kamar mandi dan menyalakan pancuran. Saat kamar mandi dipenuhi uap, aku menuju lemari tempat Maria membantu aku menggantungkan semua barang kemarin malam.

Aku mengambil sweater berwarna putih yang dimintanya untuk kukenakan dan beberapa pakaian dalam sebelum kembali ke kamar mandi. Aku menggunakan semua perlengkapan mandi mewahnya dan meluangkan waktu untuk bercukur. Aku membungkus tubuhku dengan handuk lembut dan mengoleskan pelembap sebelum berpakaian. Aku menata rambutku.

Aku kembali ke kamar dan Jared masih di tempat yang sama saat aku meninggalkannya. Dia berdiri dengan sikunya saat mendengar aku masuk kembali.

Sama seperti saat pertama kali bertemu dengannya, tatapannya yang tajam membuatku merasa telanjang. Aku berjalan melewati ranjang dan kembali ke lemari tempat aku menaruh pakaian kotorku ke dalam keranjang.

"Aku sedang kepikiran tentang pancake buat sarapan," renungnya saat muncul di sampingku.

"Kedengarannya bagus," jawabku sambil melangkah melewatinya. Namun, dia dengan lembut meraih lengan bawahku dan menghentikanku.

"Ada apa?" tanyanya sambil matanya mengamati wajahku dengan panik.

"Tidak ada," aku menggeleng.

Jujur saja, dia agak membuatku takut sekarang. Cara dia bersikap kemarin, baik di depan umum maupun belakang, menunjukkan padaku mengapa orang-orang takut padanya.

Aku memahaminya sampai batas tertentu. Rumahnya diserang. Itu saja sudah membuat stres. Namun, merencanakan perang dari negara lain juga pasti membuatnya gila.

Jared seperti mafia yang lain, dia suka mengendalikan. Dan dia tidak bisa mengendalikan apa yang akan dilakukan Rusia.

Namun kemampuannya untuk menunjukkan kemarahan yang tabah sungguh mengerikan.

"Apakah ini tentang kemarin?" tanyanya. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Jared mengeluh dalam sebelum melepaskan lenganku, "Maafkan aku karena harus melihatmu seperti itu. Kuharap aku tidak bersikap terlalu kasar padamu. Aku menerima banyak berita buruk kemarin." 

"Apa yang terjadi?" desakku. Dia berhenti sejenak dan tampak mempertimbangkan kata-katanya dengan hati-hati.

"Ada seekor tikus yang sekarang harus aku urus," katanya, "dan hampir $70 juta telah dicuri"

"Astaga," desahku. Itu uang yang banyak sekali.

"Jangan khawatir tentang urusan bisnisku," katanya padaku, "itu tidak penting. Aku akan tetap menjagamu tetap aman."

"Aku kira aku bisa khawatir ketika aku hampir diledakkan dan kemudian dibawa ke negara asing," kata ku sambil menyilangkan tangan. Ini memang gila!

"Aku tahu kamu pernah ke Italia sebelumnya," dia terkekeh.

"Jared!" seruku dengan frustrasi. Orang lagi serius, dia malah begini.

"Kau tampak menakjubkan," katanya sambil menatapku dari atas sampai bawah.

"Jared," kataku lagi.

"Kau tidak dalam bahaya selama kau bersamaku," ungkapnya.

Aku mengerjapkan mata padanya beberapa kali. Dia tidak salah. Memang setiap saat Jared pasti menjagaku. Ya...walaupun terkadang dia bersikap posesif.

Kalau saja aku masih di rumah, kalau saja Harl tidak menjual aku, aku pasti masih bekerja di bar kumuh itu dan aku pasti masih dijadikan sasaran tinju manusia.

Bersama Jared, aku selalu dijaga dan digiring ke mana-mana. Apa pun yang aku butuhkan atau inginkan, aku mendapatkanny tanpa ragu. Tak seorang pun dari anak buahnya yang mencoba mendekati, kecuali Marco tentu saja. Namun, aku rasa dia dan aku berhasil mengatasinya.

Aku benar-benar merasa aman saat bersamanya.

"Jam berapa kita berangkat untuk pembaptisan?" tanyaku. 

Bibirnya terangkat membentuk senyum, "jam sepuluh."

Aku meraih tangannya dan memutarnya sehingga aku bisa melihat arlojinya, "lebih baik kita sarapan saja."

"Silakan saja tanpa aku," katanya, masih tersenyum, "Aku perlu mandi dan bersiap-siap."

Aku mengangguk dan mengambil sepasang sepatu. Aku memakainya untuk melengkapi pakaianku dan melihat diriku di cermin. Dia benar, aku memang terlihat luar biasa.  
Jared menuju kamar mandi saat aku pamit. Saat aku berjalan melewati kerumunan pria bersenjata yang tak terhitung banyaknya, aku melihat wajah yang tak asing.

"Leo!" seruku. Kepalanya menoleh ke arahku dan dia meminta izin untuk meninggalkan para pria itu.

"Selamat pagi," dia tersenyum.

"Tempat ini seperti labirin," kataku padanya.

Dia tertawa, "ikuti aku."

Aku mengikuti Leo melewati lorong-lorong. Ia membawaku ke sebuah ruangan kecil dan sederhana. Ada sebuah meja untuk enam orang di satu dinding dan dua kursi berlengan di seberang ruangan. Namun, dinding-dindingnya dipenuhi gambar anak-anak, yang sama sekali berbeda dari bagian kastil lainnya.

Cassian dan Maria sudah berada di meja makan dengan Evara di pangkuan Cassian. Mereka berdua tersenyum lebar saat Leo dan aku bergabung dengan mereka di meja makan.

"Di mana Rosa?" tanya Leo sambil memberikanku secangkir kopi.

"Dia menemui kita di gereja," kata Maria.

"Mana Jared?" tanya Cassian. Ketiganya menoleh ke arahku.

"Dia sedang mandi," aku memberitahunya dengan pipi merah.

"Selamat pagi, kawan," sapa Marco sambil mendekat.

"Marco!" tegur Maria sambil menunjuk bayi itu.

"Ups," Marco mengangkat bahu tetapi masih tersenyum saat ia duduk di samping Cassian.

"Kau harus memakai dasi," kata Cassian kepadanya.

"Aku tidak memerlukannya," kata Marco.

Kedua bersaudara itu memulai hal mengerikan yang tampaknya selalu mereka lakukan, yaitu berbicara dalam kecepatan yang tidak masuk akal sambil berganti-ganti bahasa.

Aku menatap Leo yang tengah memperhatikan mereka seakan-akan sedang menonton pertandingan tenis.

Dia menatapku sambil menyeringai, "Aku suka sekali kalau Marco seperti ini."

"Kalian berdua diam saja," seru Maria akhirnya.

Hal itu membuat kedua pria dewasa itu terdiam. Namun, hal itu juga membuat Evara kecil menangis. Maria mengusap wajahnya dan aku tahu bahwa dia butuh istirahat, dia terlihat sangat lelah.

"Apa kamu keberatan?" tanyaku sambil berdiri, menunjuk ke arah anak yang sedang menangis itu.

"Kumohon," desah Maria.

Aku mengitari meja dan mengangkat Evara dari pangkuan ayahnya. Aku menggendongnya sambil mondar-mandir di ruangan. Tangisannya berhenti dengan cepat, tetapi aku terus berjalan sambil berharap bisa menenangkannya.

"Gambar ini dibuat oleh Marco," kataku sambil menunjuk salah satu gambar yang ditandatangani. 

"Yang ini dibuat oleh ayahmu," aku menunjuk gambar lain di dinding.

"Jared, pamanmu yang membuat ini," kataku padanya.

"Haevan," panggil Jared.

Aku berbalik dan menatapnya. Bagaimana dia bisa terlihat begitu tampan? Baju kemeja putih dengan logo Polo pada dada kirinya, seluar slack berwarna krim, begitu cocok dengan tubuhnya yang atletis. 

"Ayo sarapan. Kita tidak punya banyak waktu," katanya.

Aku menatap Evara yang kini tersenyum dan mengoceh. Aku kembali ke meja dan menyerahkannya kembali kepada ayahnya.

"Kau terlihat seperti orang suci," keluh Cassian.

Aku mengambil tempat duduk aku yang biasa, di sebelah kiri Jared, dan dengan sabar menunggu piring-piring berisi makanan diedarkan.

Tanpa aku katakan atau lakukan apa pun, Jared menukar kopi dan piring kami. Ia mengulurkan tangan, menyesap secangkir kopi dari cangkirku, dan mengambil sepotong buah dari piringku.

Ini dia. Inilah yang membuat semuanya jadi membingungkan. Ini adalah jenis hal yang membuat tembok pertahananku runtuh.

Inilah yang membuatnya terasa seperti ini bukan permainan. Rasanya seperti, dia benar-benar ingin menjagaku.

Inilah yang mengingatkan aku bahwa ada seorang pria di balik monster itu. 



********


BERSAMBUNG...


[ Maaf ya karna udah lama gak up. Soalnya aku lagi sibuk. Jadi, gimana? Bagus gak? ]

[ Jangan lupa komen & vote ya. ] 

[ Aku bakal hiatus untuk waktu yang panjang. Tapi jangan khawatir, aku bakal kembali kok. Byee. ]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HIS BEAUTIFUL ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang