HAEVAN | 09

148 34 1
                                    

Penerbangan sepuluh jam itu rasanya seperti terbang seumur hidup. Sementara anak buah Jared tidur-tiduran pada sofa yang disediakan didalam pesawat peribadi ini, Jared tetap duduk di sampingku. Mereka hanya berbicara soal bisnis bersama Jared, untuk mengalihkan perhatiannya.

Tapi dia hanya mengatakan, "Prioritasku sekarang dia."

Perjalanan panjang itu memberi aku waktu untuk berpikir. Kalau Jared mau menyakiti ku atau bahkan melihat aku mati, dia tidak akan membawa aku keluar dari rumah itu. Dia tidak akan mengacuhkan anak buahnya. Dia tidak akan duduk di sini, memegang tanganku berjam-jam, seolah mencari kenyamanan, baik buat aku atau buat dirinya sendiri. 

Sepertinya, dia memang tidak ingin menyakiti ku.

Mungkin itu yang dia ingin aku pikirkan. Mungkin dia ingin memberi rasa aman yang palsu untuk ku.

Tapi bagaimana jika Jared tidak main-main? Bagaimana jika dia bener ingin menjaga ku, sama seperti yang dia katakan?

Mungkin aku harus memberi dia sedikit kepercayaan. Mungkin aku bisa melihat lebih jauh dari sisi monster itu, dan mencari dia manusia seperti apa.

Pesawat itu mendarat, dan semua pria, kecuali Leo dan Marco, keluar. Mereka berdua menunggu Jared keluar terlebih dahulu. Aku tidak tahu apa memeluk erat pinggangku, adalah hobi Jared. 

Jared bersikap seolah-olah aku ini barang yang mudah pecah jika dilepaskan begitu saja. 

Landasan di mana pesawat ini mendarat, terdapat deretan mobil SUV sudah menunggu. Anak buahnyamengelilingi beberapa mobil itu. Salah satu dari mereka membuka pintu belakang salah satu kendaraan, dan Luca menuntun aku masuk. 

Sekali lagi, dia menggenggam tanganku setelah dia duduk di sebelahku. Ibu jarinya pelan-pelan mengusap punggung tanganku tanpa sadar.

"Kita mau ke mana?" tanyaku, setelah pemandangan di luar mobil berubah dari kota besar ke daerah yang lebih sepi.  

"Rumahku," kata Jared, "di Laglio, Como."

"Kamu mempunyai rumah di Italia?" tanyaku, benar-benar bingung. Aku tidak tahu jika dia mempunyai banyak rumah.

"Aku membesar di sana," Jared mengoreksi, "sekarang saudara laki-lakiku yang tinggal di sana."

"Aku tidak tahu kamu punya saudara laki-laki," jawabku.

"Aku punya dua. Kamu udah kenal saudaraku, Marco, si bodoh sialan," katanya sambil menyengir, "dan adik bungsuku namanya Cassian."

"Kalian dekat?" tanyaku. Entah mengapa aku penasaran. Di tengah kekacauan ini, Jared terlihat lebih manusiawi. 

"Marco masih hidup hanya karena dia saudaraku," jawabnya singkat.

"Kalau Cassian?" tanyaku lagi, lebih penasaran.

"Aku lebih percaya dia daripada siapa pun di dunia ini. Itulah mengapa dia di sini," katanya sambil menatapku, "dia yang menjaga bisnis di sini disaat aku lagi di New York."

"Apa aku akan bertemu dengannya?" tanyaku.

Senyum sinis muncul di bibir Jared. "Satu El Lucius tidak cukup untukmu, mia bella?"

Aku menjelingnya sebelum berbalik melihat ke arah jendela mobil.

"Iya, kamu bakal ketemu dia," jawabnya. Jared menarik tanganku perlahan untuk menarik perhatianku. Saat pandangan ku teralih kepadanya, dia menyengir lebar. 

"Kita akan sampai dalam beberapa menit," kata pria yang dari tadi hanya menyetir.

"Grazie," kata Luca sebelum dia kembali menatapku. (Terima kasih)

HIS BEAUTIFUL ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang