Aku hampir tidak bisa melihat apa-apa karena asap dan debu. Paru-paruku rasanya seperti terbakar setelah aku berusaha keras menarik napas. Tiba-tiba, ada lengan kuat merangkul pinggangku, menyeret aku keluar dari rumah besar itu.
Aku diserang rasa panik, ku tendang dan berteriak, hinggalah aku sadar ternyata Jared yang memegang aku dari tadi. Dia membantu aku masuk ke dalam mobil SUV hitam, dan belum sempat aku memasang sabuk pengaman, dia langsung tancap gas.
Jared langsung ngebut keluar dari kompleks perumahan, makin jauh ke utara, jauh dari kota. Sambil nyetir menggunakan satu tangan, tangan satunya lagi memegang pistol. Jantungku berdebar kencang, dan sekarang aku malah punya lebih banyak pertanyaan daripada sebelumnya.
"Jared?" panggilku perlahan setelah lebih dari sejam ngebut di jalanan sepi.
"Kita bicara di pesawat," jawabnya, akhirnya melirik ke arahku. "Aku memerlukan waktu buat berfikir sekarang. Kita lagi diserang."
Aku hanya mengangguk, terlalu takut buat menentang apa kemahuannya. Meskipun dia tidak menyakiti aku, aku tidak lah bodoh. Aku tau apa yang dia bisa lakukan, dan aku juga tau tentang emosinya. Jangan hanya karena aku belum pernah melihatnya dia marah, bukan berarti itu tidak bakal terjadi nanti.
Sebaik apa pun Jared memperlakukan aku, pasti akan ada batasannya.
Kami berdua akhirnya sampai di bandara terpencil dan memakirkan mobil di landasan. Ada dua SUV hitam lain di sana, bolong-bolong penuh peluru. Leo dan Marco lagi saling berbicara serius sambil menyandar pada salah satu mobil itu.
Jared keluar dari mobil dan terburu-buru membukakan pintu untuk aku, menawarkan bantuan. Aku menerima bantuannya, bersyukur karena kehadirannya yang bisa membuat aku tenang, sementara kakiku gemeter karena ketakutan. Tangannya masih melekat indah pada pinggang rampingku, menuntun aku naik ke sebuah jet besar. Dia menunggu di tangga, mundur sedikit buat bicara dengan pilot.
Pesawat itu keren banget. Kursi-kursinya berwarna cream, dan ada meja-meja kayu berjajar di sepanjang pesawat. Aku duduk di salah satu sofa dan langsung memejamkan mata.
Jika aku memejamkan mata, aku bisa pura-pura tidak ada di sini. Aku bisa mendengar langkah kaki berat orang-orang yang masuk ke pesawat, tapi aku tetep memejamkan mata.
"Kamu baik-baik aja?" Suara Jared langsung membuatkan aku membuka mata. Dia berdiri kurang dari satu langkah dariku, dan kali ini aku bisa melihat dia dengan jelas.
Penampilannya yang biasanya rapi, sekarang berantakan. Rambutnya acak-acakan, dasinya miring-miring dan longgar. Jasnya kotor dan kusut, bahkan sepatu kulit Italia-nya juga kena imbas.
"Apa yang baru aja terjadi?" tanyaku, berharap kali ini dia bakal menjawab semua pertanyaanku dengan jelas.
"Orang Rusia," keluhnya sambil duduk di sebelahku.
Dia meraih tanganku dan menyatukan jari-jari kami. Aku meliat dia menyandar pada dinding dan memejamkan matanya.
"Sialan, selalu aja orang Rusia," gumamnya pelan.
"Kita mau ke mana?" tanyaku, sambil memutar posisi biar menghadap Jared sepenuhnya.
Dia membuka matanya dan melihat ke arahku, "Italia."
Tiba-tiba pengeras suara di atas kepala menyala, pilot memberikan briefing singkat. Aku tidak terlalu memperhatikan itu, kerana sudah terbiasa naik pesawat.
"...dan pastikan barang-barang kecil aman saat lepas landas." Suara itu berakhir.
"Sudah merasa sedikit aman?" tanya Jared padaku dengan nada jahil, kilatan nakal terlihat di matanya.
"Aku tidak apa-apa," gerutuku sambil nyilangkan tangan di dada.
"Aku harap begitu," renungnya, senyum tipis menghiasi wajahnya.
Gila emang ini orang. Dekatnya saja, bisa membunuh ku dalam waktu lima detik. Andai saja tadi ledakkan itu mengenai aku, pasti sudah menjadi ubi.
Gara-gara berada di sisi pria ini, hidupku bahkan terancam. Ya Tuhan, bagaimana caranya keluar daripada kehidupan monster ini?
********
BERSAMBUNG...
[ Maaf ya kalau singkat, soalnya lagi kehabisan ide. Btw, bagaimana menurut kalian? Bagus gak? Jangan lupa vote & komen ya. ]
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS BEAUTIFUL ANGEL
FanfikceJeno X Haechan Jared El Lucius terkenal dengan sifatnya yang kejam. Sebagai pemimpin Mafia di Italia, dia juga dikenal dengan sikapnya yang dingin dan tidak berperasaan. Haevan Everett, anak yang selalu mendapat kekerasan daripada ayahnya. Kerana ke...