HAEVAN | 07

182 35 0
                                    

Jared memperkenalkan aku kepada Jelio dan Leo, dua orang penasihatnya yang sepertinya akan menjagaku.

Aku tidak yakin mengapa aku harus dijaga. Mungkin Jared takut aku bakal kabur kali ya. Walaupun ide itu menggoda, dan aku masih kesal karena diculik, sepertinya aku tidak bakal benar-benar mencoba untuk kabur.

Rasanya aku lebih kesal pada diriku sendiri daripada siapa pun. Aku sudah membiarkan ketampanan Jared dan perlakuannya yang membuatkan aku terbuai. Dia itu monster, sesederhana itu. Dan aku tidak boleh lupa, meskipun dia sudah menunjukkan kebaikannya kepada aku. 

Aku pasti, Jared sedang merancang sesuatu, aku harus ingat itu. Dia pasti punya tujuan dari cara dia memperlakukan aku, dan aku perlu cari tahu apa itu.

Tidak ada pria yang bersikap baik tanpa alasan.

Aku duduk di salah satu sofa di perpustakaan, bolak-balik halaman buku. Jelio berdiri di ambang pintu, jarinya dari tadi menekan layar ponsel miliknya. Leo selonjoran di sofa seberangku dengan mata tertutup, dan kalau saja dia tidak memainkan pisaunya, aku mungkin bakal menyangka dia sedang tertidur. 

Jelio agak tinggi dibandingkan dengan pria lain di sekitar rumah ini, dan tubunya yang kekar, menunjukkan otot pada lengannya. Rambut hitamnya disisir ke belakang rapi, dan matanya yang cokelat melotot tajam. Memang tampan.

Leo punya rambut ikal pirang yang berantakan, kayaknya susah banget dijinakin. Badannya besar dan kekar, seperti kebanyakan orang di sini. Hampir seluruh kulitnya ketutup tato, kecuali wajahnya. Mereka berdua memakai setelan hitam standar, lengkap sama senjata di pinggul mereka.

"Perlu apa-apa?" tanya Jelio tiba-tiba. Aku memandang kearahnya, dan ternyata dia berbicara kepada ku.

"Apa? Tidak, aku baik-baik aja," jawabku sambil memutar badan. Aku melirik ke arah Leo dengan alis berkerut, dan satu matanya kebuka, mengintip Jelio dengan penasaran. Ponsel Jelio bergetar.

"Kalau kamu sakit, kami punya banyak pilihan obat pereda nyeri, dari yang dijual bebas sampai yang resep dokter," kata Jelio.

"Aku baik-baik aja," jawabku tanpa menatap kearahnya. Kapan emangnya aku sakit? Ponselnya bergetar lagi.

"Kamu mau makan siang?" tanyanya.

"Aku baru aja sarapan," jawabku, mulai kesal dengan pertanyaannya yang beruntun. Ponselnya bergetar lagi.

"Jared bilang—" dia mulai berbicara, tapi aku langsung menutup buku dan berbalik menatap ke arah dia.

"Kalau Jared mau mengatakan sesuatu kepada aku, biar dia sendiri saja yang mengatakannya," kataku sambil jaga nada untuk tetap tenang.

Setelah aku balik badan, Leo sudah duduk tegak, sikunya di atas lututnya. Matanya menyipit sambil menatap aku dari atas ke bawah. Terus dia ketawa. Ketawa ngakak.

"Oh mio Dio, questo è davvero un ragazzo simpatico!" seru Leo. (Ya ampun, ini cowok keren banget!)

"La sua bocca è piuttosto affilata, questo è certo," gerutu Jelio. (Mulutnya cukup tajam, itu sudah pasti.)

"Cazzo," gumamku pelan. Tapi kayaknya aku tidak mengatakannya cukup perlahan, karena Leo mulai ketawa ngakak lagi. (Sial.)

"Dia bisa bahasa Italia!" seru Leo sambil ketawa. 

Apa? Mereka pikir aku tidak bisa berbahasa Italia? Ini Haevan Everett. Ya pastilah aku bisa. Jadi cowok itu harus serba bisa! Tapi, satu saja yang aku tidak bisa. Iaitu...melarikan diri dari monster itu. 

"Oh merda," (Oh sial) kata Jelio dari ambang pintu sambil merapikan jasnya, "bangun." 

Leo langsung berdiri dan ikut merapikan jasnya. Tidak sampai setengah menit, Jared sudah muncul di ambang pintu dengan alis berkerut. Badanku langsung tegang melihat jelas wajah frustrasi dan marahnya.

"Hai, bos," kata mereka berdua. 

"Ambil makan siang untuk kita cepat," perintah Jared sambil masuk ke ruangan. Dia bahkan tidak repot-repot menatap mereka, tatapannya sepenuhnya tertuju kepada ku. Aku tetap duduk di sofa, berharap kemarahannya bukan untuk aku.

Jared duduk di meja kopi di depanku dan mengulurkan salah satu tangannya pada wajahku. Tangannya menyentuh pipi kanan ku dengan lembut dan menatap ku. Wajah yang tadi penuh kemarahan dan frustasi, kini berubah total.

"Maaf karena Jelio harus bicara denganmu bagi pihak ku," bisiknya, "Aku khawatir denganmu, tapi aku tadi sedang rapat." 

"Rapat yang singkat, ya?" Aku memutarkan bola mataku dan wajahku. Tapi dia langsung meraih daguku dan menarik wajahku lebih dekat, cuma berjarak beberapa inci.

"Aku akhiri rapat lebih awal supaya aku bisa ke sini dan bertemu denganmu," katanya dengan santai, seolah-olah aku sudah tahu itu.

"Kenapa kau lakukan itu?" tanyaku sambil memandang matanya, mencari kebohongan yang mungkin saja dia sembunyikan.

"Sudah kubilang, aku khawatir," ujarnya lagi, seolah aku seharusnya sudah mengerti dengan jawabannya.

"Baiklah, aku baik-baik aja, jadi kamu bisa kembali kerja," kataku padanya. 

Mata Jared menyipit dan cengkeramannya di daguku semakin kencang, tapi tidak sampai membuat aku sakit. Dia menahanku di situ, terpaku dalam tatapannya, yang rasanya ada sesuatu. 

"Baiklah, kami bawa beberapa roti lapis!" seru Leo waktu dia masuk ke ruangan, diikuti sama Jelio.

Begitu mereka masuk, aku coba menjauh dari Jared, tapi dia malah menarik pinggulku dan menarikku ke pangkuannya. Satu lengannya melingkari kedua tanganku, memeluk erat di tubuhku. Aku menggeliat, mencoba lepas dari pelukannya, tapi bukannya lepas, Leo dan Jelio malah ketawa. 

"Kalau kamu terus bergerak seperti itu, aku tidak punya pilihan lain menahanmu di sofa ini, sayang," bisik Jared di telingaku, suaranya serak penuh nafsu.

Jantungku berdetak kencang, dan aku bisa merasakan sesuatu bergerak di antara pahaku setelah mendengar kata-katanya. Jangan bilang sama aku kalau monster ini sukanya yang berbatang oi!

Cengkeramannya semakin erat dan aku pun terdiam. Dengan punggungku menempel di dada Jared, Leo datang dengan santai sambil bawa piring-piring.

Sebelum Leo sempat menaruh piringnya, listrik tiba-tiba mati dan gedung jadi gelap. Jared langsung berdiri, tapi tangannya masih melingkar di pinggangku, seakan-akan dia tidak mahu kehilangan ku. Ketiga pria itu segera mengeluarkan senjata mereka dan mulai jalan ke arah pintu. Jared menarik aku ke belakangnya, membuat aku bersembunyi di balik tubuhnya.

Dan kemudian, ledakkan pun terjadi.



********

BERSAMBUNG...

[ Hai my readers...suka gak sama part ini? Aku sih harap kalian suka. Jangan lupa vote & komen ya. See ya on the next part. ]

HIS BEAUTIFUL ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang