09. We Are Not Strangers, Aren't We?

58 13 1
                                    

Cora menunggu Vion selesai merapikan barang - barang di loker nya. Hari ini dia berniat menonton penampilan band Vion yang akan manggung di salah satu festival kota. Sudah dua hari berlalu semenjak dia mengiyakan ajakan dari Kian dan sudah hari juga Kian menghilang, sama sekali tidak memberi kabar Cora lewat pesan. Bukan Cora menginginkan Kian untuk terus mengabarinya tapi dia butuh kepastian soal ajakan laki - laki itu. Setelah mengobrol dengan Grace semalam, dia jadi memikirkan perihal apa benar dia perlahan sudah menaruh rasa harap pada laki - laki yang baru dia temui beberapa kali secara tidak sengaja itu?

Selama dua hari belakangan, setiap Cora bangun dari tidur nya, di pagi hari dia selalu menepis pikiran soal perasaan nya yang berlabuh di Kian menurut Grace. Dia berkali - kali bilang ke diri nya kalau ini semua hanya ketergantungan sementara. Rasa sakit nya yang abu itu memang perlu warna baru tapi bukan Kian, menurutnya.

“Nyusul gak nanti, Flo?” Tanya Cora, teman nya itu sedang bersiap diri untuk menjalankan tugas nya hari ini.

“Gak bisa kayaknya, gue ada part time lagi habis kelar dari sini.”

Vion datang dengan ransel warna hijau tua dihiasi dengan beberapa printilan kecil yang menempel guna memperindah bentukan ransel yang biasa saja itu, “Gak ada capek nya ya lu?”

Flo tertawa sambil mengikat tali sepatu nya, kemudian berdiri di depan kaca memastikan penampilan nya sudah rapi, “Kalo kenal capek mah gue gak bisa makan besok.” 

Cora dan Vion tertawa mendengar jawabannya Flo. Baru saja mereka mau melangkahkan kaki keluar dari area karyawan, laki - laki tinggi, berkulit putih layak nya salju, dan hidung mancung berdiri di hadapan Vion yang memang berdiri di depan Cora dan Flo.

“Flo? bisa ngobrol sebentar?” Tanya si laki - laki. Cora menatap Flo bingung. Dia memang mendengar kisah cinta Flo dan atasan Marigold yang berakhir kandas karena perbedaan gaya hidup yang dijalani. Flo awalnya terlihat ragu, beberapa kali bertatapan dengan Vion seakan menanyakan dengan mata dia harus bagaimana dengan situasi ini.

“Gak bisa, shift gue baru aja mulai,” Jawab Flo. Sangat terlihat Flo menahan diri untuk terlihat ramah.

“Sebentar aja.”

Vion menepuk pundak laki - laki tersebut sambil tersenyum, lalu membukakan jalan untuk Flo dan Cora lewat, “Lu denger jawabannya kan bro?”

Setelah melewati situasi canggung di Cafe, akhirnya Cora dan Vion sampai di Area 78 tempat dimana festival diadakan. Dengan modal kalung member VIP Cora tidak usah bersusah diri mengantri untuk masuk ke area. Banyak tenda makanan dari jadul hingga masa kini berdiri disana dan beberapa penyanyi sudah mulai mengeluarkan suara nya di atas panggung. Cora diberi tahu oleh Vion kalau penampilan teman nya itu akan mulai di jam 6 makanya yang sekarang Cora lakukan adalah berkeliling sambil menatap tenda makanan satu - satu. Meskipun selera makan nya tidak besar tapi gurita bakar yang terpajang menarik indera penciuman Cora sejak tadi.

“Cora?” Panggil seseorang dari belakang Cora.

Cora menoleh dan mendapati Kian berdiri disana dengan setelangan kemeja dan celana warna hitam, laki - laki yang baru saja Cora cek room chat nya juga memakai kalung VIP. Untuk kesekian kali nya, jantung Cora berdetak tidak normal.

“Lu lagi, lu lagi,” Sahut Cora, dia memberikan uang ke penjual gurita bakar tanpa menengok ke Kian untuk memastikan laki - laki itu nyata atau hanya sekedar bayangan di otak Cora.

Kian jalan mengikuti Cora ke arah panggung, “Kok lu gak suka banget ketemu sama gue?”

“Bosen,” Jawab Cora, seadanya.

“Yakin?”

Cora berhenti jalan kemudian menatap Kian sebel, “Mau nya apasih?!”

“Apa?” Tanya Kian, bingung karena Cora tiba - tiba menaikan suaranya.

“Apa?”

Si perempuan tidak menjawab dan langsung melengos lanjut berjalan menuju panggung, “Jangan ikutin gue!”

Kian menatap Cora semakin heran, “Gate keluar di sebelah area panggung.”

Mata Cora melihat ke arah kanan yang masih terbilang sepi karena orang gila mana yang keluar dari acara festival di saat matahari masih bersinar di langit. Tanpa berbicara satu kata lagi Kian berjalan mendahului Cora menuju Gate keluar. Cora menatap punggung Kian bingung. Dia tidak berniat meninggikan suara nya apalagi marah pada laki - laki itu tapi begitu melihat Kian berdiri di belakang nya dan bersikap seolah mereka baru aja ketemu memancing emosi nya. Kian bahkan tidak membicara acara yang akan mereka hadiri tiga hari lagi. Salah, ini salah. Cora benar - benar melewati batas sebagai orang asing di kehidupan Kian.

“Halo teman - teman…” Suara Vion di atas panggung menginterupsi pikiran Cora. Dia membiarkan Kian lepas dari pandangan nya dan fokus menyaksikan Vion dan tiga teman nya yang asik menyanyikan lagu cinta di atas panggung. Hari ini dan seterusnya Cora menjadi salah satu fans dari band Vion.

“Tadi gue liat lu ngobrol sama orang Ra, siapa?” Tanya Vion, usai beres dengan penampilannya dia memutuskan untuk makan bersama Cora di salah satu mie dekat dengan area Cafe Marigold. Vion melahap mie rebus lengkap dengan cabe dan telur nya itu, kemudian kembali menatap Cora, “Gue gak sempet liat wajah nya soalnya.”

“Cowo yang ketemu sama gue di acara blind date itu,” Jelas Cora, mulutnya sibuk mengunyah pancong dengan lumeran nutella di atasnya.

“Ohh?” Sahut Vion, “Gue kira lu akrab sama dia.”

Cora menepuk - nepuk pelan bibir nya dengan tisu, membersihkan sisa makanan yang menempel, “Kenapa?”

“Ya enggak, lu cerita kemarin kan katanya sempat ketemu dia lagi. Gue kira udah yang nempel banget, belom ya?”

“Gue juga heran,” Kata Cora, “Gue merasa sama dia tuh bukan yang orang asing banget tapi tadi kaya baru kenal sehari,” Jelas Cora, kemudian menyeruput es teh manis miliknya, “Apa gue kepedean ya? tapi tadi bahkan dia gak basa - basi tanya soal next plan.”

“Emang brengsek aja kali aslinya.” Sahut Vion, asal. Mengundang senyum Cora.

“Btw tadi yang di cafe, dia yang punya?”

Vion menggelengkan kepalanya, mulutnya masih penuh dengan mie yang dia makan, “Lu inget cerita yang Flo sempet deket sama anak Marigold tapi bukan owner dan pegawai kan?”

Cora mengangguk. Jelas Cora ingat sekaki gosip hangat yang muncul saat dia baru pertama kali masuk kerja di Marigold.

“Ya itu tadi cowo nya.”

“Ohh gue kira owner. Gue penasaran deh sama ownernya.”

Vion dan Cora kompak berdiri sebab makanan milik mereka sudah dengan nyaman berada di dalam perut, “Gak usah ditungguin, kaya gak peduli sama cafe owner nya mah.”

Setelah beres dengan segala kegiatannya hari ini, Cora memutuskan langsung pulang begitu berpisah dengan Vion di depan Andomart tempat Cora memarkirkan mobilnya. Karena hari ini dia berada di lingkungan yang penuh dengan banyak orang, rasanya energi Cora terkuras habis. Dia tidak lagi memikirkan kejelasan perasaan ke Kian atau memikirkan sikap dingin Kian tadi sore. Yang Cora tau hanyalah dia ingin bergegas menyelesaikan kegiatan skincare nya dan melempar badan nya ke kasur.

Baru lima menit Cora memejamkan matanya, dia sudah diganggu dengan suara nyaring Bell yang tidak berhenti. Siapapun yang ada di depan pintu Cora saat ini pasti menekan Bell setiap satu detik sekali. Dengan berat hati Cora bangun kembali dan berjalan membukakan pintu untung sang tamu, “Kian?”

Laki - laki yang sudah mengganti baju nya menjadi kaos polo putih dan celana pendek hitam itu berjalan masuk ke dalam apartemen milik Cora tanpa permisi. Dia berjalan ke dapur Cora dan mengambil segelas air putih untuk di tenggak.

“Silahkan masuk, silahkan minum,” Ucap Cora, sarkas. dia berdiri tepat di hadapan Kian, menyaksikan laki - laki yang seperti habis di kejar zombie itu berusaha mengatur emosi nya, “Kian, what's wrong?”

Kian menarik nafasnya, menatap mata Cora tanpa jeda, “Mau nikah sama gue gak, Ra?”

•••••

Invisible StringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang