⚜️ W.R.G.M (2)

14 3 2
                                    

"Aku menawarkan kepadamu enam bulan tinggal dan bersandiwara sebagai istriku, namun setelah itu kau bebas. Aku akan membuat surat cerai dan kau bisa menandatanganinya. Bagaimana? Sepakat?"

Deolina memalingkan wajahnya lalu berdecih, "Menjijikkan..."

"Apa kau bilang!" Solomon menarik lengan Deolina agar perempuan itu menatapnya. "Aku bilang penawaranmu sangat menjijikkan? Bersandiwara? Aku tidak mau." Sinis Deolina.

Solomon mengernyitkan dahinya membuat kedua alisnya hampir menyambung satu dengan yang lainnya, "Apa kau sudah gila? Ini menguntungkan kita berdua."

"Ini sama sekali tidak menguntungkan untuk kita, hanya kau saja yang diuntungkan oleh kesepakatan itu." Sentak Deolina sambil menunjuk-tunjuk dada Solomon dengan kasar.

"Kau hanya mementingkan dirimu sendiri, kau egois Solomon! Kau egois!"

"Kalau kau sudah mengetahui betapa egois dan arogannya diriku, mengapa kau menerima perjodohan itu! Mengapa kau tidak menolaknya? Mengapa? Mengapa?!" Kini Solomon bertanya kepada Deolina dengan nada sengak.

"Karena aku tidak ingin mengecewakan ayahku.. Aku adalah harapan satu-satunya, beliau ingin melakukan hal terbaik sepanjang hidupnya untukku, menolak perjodohan itu mentah-mentah hanya akan membuatnya murung." Ucap Deolina dengan nada pelan. Gadis itu mengepalkan tangan kanannya, menahan getaran yang menjalar perlahan di sekujur tubuhnya.

Solomon memperhatikan tubuh Deolina yang bergetar, ia tahu jika perempuan itu sedang mencampur semua emosi yang ada dalam dirinya untuk berusaha tegar. Namun, Solomon tetaplah Solomon. Sebanyak apapun orang bersikap empati, ia tidak akan terpengaruh. Hatinya seolah mati. Ia tidak peduli tentang nasib seseorang akan menjadi lebih buruk ataupun lebih baik.

Deolina yang sudah tidak dapat menahan amarahnya lebih lama lagi, melayangkan kepalan tangannya ke arah wajah Solomon. Beruntung pria itu memiliki refleks cepat, sehingga mampu menahan serangan Deolina.

"Hah~ Lihat sekarang kau marah padaku dengan keputusan yang kau ambil secara impulsif?" Heran Solomon melihat Deolina tiba-tiba menyerangnya. Deolina kemudian mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk, mata hitamnya menyalang bagai seekor elang melihat mangsanya dari kejauhan.

"Ya memang benar aku marah padamu, tapi bukan karena keputusan yang kuambil secara impulsif dapat membuatku sangat marah padamu. Akan tetapi, caramu menganggap enteng suatu pernikahan. Kesepakatanmu yang menjijikkan itu telah menodai arti suci dari ikatan pernikahan, apa kau pernah memikirkannya sedikit saja ha?!"

"JANGAN PERNAH MENGAJARIKU TENTANG KESUCIAN, DEOLINA!!" Bentak Solomon dengan kasar, pria itu kini mencengkeram leher perempuan itu dengan penuh kemurkaan. Mata birunya seolah menyambarkan sebuah kilat yang mampu membakar sesuatu hingga hangus tak bersisa.

"Jangan pernah... Aku sudah bertoleransi dengan sikap aroganmu selama ini. Namun tidak kali ini, Deolina.. Tidak.." Solomon menggelengkan kepalanya didepan Deolina. Cengkeramannya semakin kuat, membuat perempuan itu sedikit kesulitan untuk bernafas. Satu-satunya cara yang bisa Deolina lakukan adalah mencengkeram erat pergelangan tangan Solomon yang tengah mencekiknya, ia menanamkan kukunya guna melukai tangan Solomon. Bertujuan agar Solomon sadar jika ia bisa saja membunuh seseorang saat itu juga.

Solomon melonggarkan cekikannya pada leher Deolina, perempuan itu seketika memegangi dadanya dan menghirup udara dengan rakus. Solomon kemudian pergi dari kamar Deolina tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Deolina terduduk di lantai dengan tubuh lemas, ia tidak pernah tahu nyawanya akan sebegitu terancam ketika berani membuat Solomon naik pitam.

"Hampir saja dia membunuhku, sedikit saja aku membuatnya kesal habis sudah nyawaku ditangannya."

*******

When Rivals Get MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang