01. Tuntutan

122 11 8
                                    

Faisan Nagra Atama adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Anak pertama bernama Glen Bamasya Atama, yang biasa dipanggil Glen, sudah berumur dua puluh satu tahun dan menjadi atlet basket. Sementara adik bungsunya bernama Antasya Atama yang biasa dipanggil Asya. Adiknya ini baru kelas tiga SMP.

Fais sendiri masih berumur enam belas tahun, bulan depan dia akan merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas. Dirinya sendiri baru kelas dua SMA, sebagai anak tengah yang selalu mengikuti arus yang keluarganya arahkan.

Hari ini sebelum berangkat sekolah, mereka satu keluarga sarapan bersama. Papanya sendiri adalah seorang pengusaha, yang cukup memiliki kekayaan tinggi. Sementara mamanya memiliki toko bunga yang selalu buka dua puluh empat jam.

Nama kedua orang tuanya adalah Tama dan Ama. Mereka tinggal di rumah megah yang terdiri dua lantai, semua kamar keluarga ada di lantai dua, kecuali Fais yang kamarnya ada di sebelah kamar pembantu, lantai satu. Sehingga pada saat Fais menunggu untuk sarapan, ia menunggu keluarganya satu-persatu turun dari tangga.

Fais tersenyum hangat, melihat orang tua dan kakaknya Glen akhirnya datang bersama. Mata Fais memancarkan kehangatan, yang selalu dia berikan kepada orang terdekatnya. Walaupun respon orang tuanya biasa saja, dengan Glen yang mengelus rambutnya singkat.

"Adek mana?" tanya Glen, yang dimaksud adalah Asya.

Asya sering terlambat jika sudah waktunya sarapan, anak pintar nan cerdas alami itu sering sekali begadang main game.

"Tunggu sebentar dulu, nanti juga turun," balas Ama.

Semua orang mengangguk, mulai mengobrol ringan untuk membunuh waktu.

"Bulan ini kamu ulangan, kan?" tanya Tama, memandang si tengah.

Fais hanya mengangguk dan tersenyum kecil. "Iya, Papa."

"Kamu harus dapat juara umum. Jangan mau kalah sama Asya. Kamu masih ingat, kan, harus menjadi penerus Papa. Glen dan Asya sudah punya cita-citanya sendiri. Glen jadi atlet bakset, dan Asya ingin jadi dokter."

Tidak ada penolakan, apa perkataan papanya adalah perintah mutlak yang harus diikuti. Walaupun dalam hati sudah marasa amat sangat lelah, ia ingin teriak dan mengatakan cita-citanya juga. Tapi Fais bisa apa, hanya diam dan patuh.

"Tahun ini kamu jangan minta hadiah kalau berhasil juara umum, ya. Soalnya adik kamu minta ponsel keluaran terbaru kalo juara umum, sementara Glen harus ganti mobil supaya mobilnya terus baru. Pengeluaran Papa lagi banyak."

"Tahun lalu juga gitu," balas Fais dalam hati.

Karena pada akhirnya Fais adalah anak yang patuh dan selalu mengikuti arahan.

Sampai pembicaraan yang terkesan menghimpit Fais itu berakhir, dengan kehadiran si bungsu kesayangan satu keluarga, yaitu Asya.

Ama langsung menyambutnya senang, menyuruhnya duduk dan menyajikan makan. Sang papa juga berbicara santai, tidak seperti kepada Fais tadi yang penuh tuntutan.

Rasanya Fais ingin marah, tapi dia harus marah dengan cara apa? Karena Fais hanya selalu diam dan patuh.


***
Setelah semua anaknya pergi melakukan aktivitasnya masing-masing, termasuk Glen yang ada latihan pagi, Tama dan Ama berbincang lagi di meja makan.

"Kamu yakin?" tanya Ama tidak percaya dengan keputusan suaminya.

"Soal Fais yang akan menjadi pewaris?" Tama mengakat sebelah alisnya, memandang sang istri yang terlihat gelisah dengan keputusannya.

Ia tahu ini di luar rencana, tapi lebih baik seperti dulu sampai semuanya terkendali dan aman. Tama tidak mau  Glen dalam lingkaran bahaya.

"Glen akan pensiun di umur tiga puluhan, sementara waktu jadikan Fais umpan. Ikan-ikan itu sedang mencari mangsanya sekarang, mereka ingin merobohkan bisnis yang masih berkembang."

Ama meremat kedua tangannya yang ada di atas meja. Dia ingin menangis tapi ditahan, karena apapun yang terjadi, semua sesuai arahan sang suami.

Dengan lembut Tama meraih tangan sang istri yang ada di atas meja. "Kamu tenang saja, Fais pasti berguna sampai kapanpun. Selama dia mampu, kita bisa memanfaatkannya."

"Apa kamu tidak kasihan dengan Fais?" tanya Ama pada akhirnya, dia menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca.

Tama membuang pandangannya, dia juga melepaskan elusan tangannya dari tangan sang istri.

"Kasihan?" Tama bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. "Di mana letak kasihan yang harus dia taruh?"




Si TengahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang