"Kak Fais sudah pulang?" tanya Asya, yang pulang lebih awal, karena tidak ada kegiatan untuk murid baru selain berkenalan dengan para guru.
Fais mengangguk, ia berjalan santai menuju kamarnya. Badannya lelah, dan kepalanya sakit memikirkan masalah. Sendari pagi ia benar-benar tidak fokus pada hal apapun.
Namun, baru saja membuka pintu, Asya kembali berbicara.
"Soal masalah Kakak, Asya sudah bicara dengan papa, dan papa mau membantu," ucap Asya yang seratus persen dengan niatan baik. Mau membantu kakaknya.
Tapi itu jelas bukan solusi, akan tetapi masalah yang lebih besar.
"Apa?" Fais berbalik badan dengan wajah frustasi, bagaimana sekarang dia harus menerima amukan papanya.
"Iya, sekarang Kak Fais disuruh ke ruangan Papa," ucap Asya, menunjuk ruang kerja Tama yang ada di lantai dua.
Jantung Fais ingin berhenti berdetak rasanya. Ia tidak mau kalau sampai Tama tahu, tapi Asya malah lebih dulu melalukan tindakan yang diluar prediksi.
Melihat wajah kakaknya memucat, Asya bertanya dengan rasa penasaran. "Kenapa Kakak seperti ketakutan begitu? Tenang saja, papa tidak akan marah," tenangkan Asya.
Sayangnya adiknya itu tidak tahu, masalah apa yang Fais harus hadapi di masa depan.
***
Setelah berganti baju dan mandi, Fais tidak kunjung pergi ke ruang kerja ayahnya, sebaliknya Fais masih diam menunggu keajaiban, bahwa yang dikatakan adiknya hanyalah bualan semata.Tapi semakin Fais mencoba berpikir naif, dirinya akan sadar jika apapun yang dilakukan masalah kedepannya dengan Anggara tidak akan pernah bisa disembunyikan.
Kalau bukan karena Asya yang mengadu, mungkin sang papa akan kena panggilan kepala sekolah. Itu jauh lebih mengerikan.
Karena melamun tanpa mau beranjak dalam waktu lama, tidak disangka Tama langsung yang datang ke kamarnya.
Fais buru-buru berdiri, ingin menghampiri sang papa, tapi hal yang pertama Fais dapatkan adalah sebuah tamparan.
Mungkin ini yang pertama. Namun, rasanya sangat-sangat menyakitkan, hingga menembus ke hati.
"Ini balasan kamu setelah saya merawatmu selama tujuh belas tahun? Kamu ingin kembali kepada ayah brengsekmu itu?!" marah Tama, yang membuat Fais binggung.
Sekarang antara rasa sakit dan mengerti ucapan papanya sulit Fais bagi.
"Maksud Papa?" Fais bertanya dengan rasa takut.
"Apa Anggara itu belum memberitahumu?" Tama malah balik bertanya, beliau mengusap wajahnya kasar.
Fais yang semakin kebingungan hanya menggeleng. Pikirannya mulai melayang jauh, tentang apa dugannya selama ini benar? Fais bukan anak ayahnya.
Tapi Tama kembali menyadarkan Fais. "Jauhi Anggara, saya tidak akan pernah sudi memberikan kamu kepada pria itu." Tama berkata dengan wajah keras.
"Maksud Papa apa? Fais tidak mengerti, apa Fais bukan anak Papa?" tanya Fais yang ikut emosi, tidak pernah mengerti pada sifat orang tuanya yang berlaku berbeda selama ini.
Fais kira hanya perasannya, hanya karena anak tengah memang selalu diabaikan dan tumbuh kuat seorang diri.
Tapi setelah papapnya memberinya kenyataan, Fais merasa seperti orang denail.
"Iya, dia adalah ayahmu. Orang yang telah menghamili mama saat mereka berdua sama-sama mabuk!" Tama menjawab dengan emosi menggebu-gebu.
Sementara Fais hanya bisa tertampar berulang kali dengan kenyataan yang menyakitkan itu.
"Kamu harusnya bersyukur saya kasih hidup, tidak saya suruh ama menggurgurkan sewaktu masih ada di dalam kandungan. Tapi bukannya berterima kasih kamu malah mau kembali ke ayah kamu yang bajingan itu!" Tama berteriak marah di depan Fais, membahas sakit hati terbesar dalam hidupnya.
Mungkin menumbuhkan Fais juga adalah duri besar yang selalu menusuknya, tapi diam merahasiakan semuanya jauh lebih menyakitkan.
Tama memandang Fais dengan napas naik turun cepat, ia benar-benar merasa tercekik sendiri. "Kamu hanya saya jadikan tameng selama ini, agar anak-anak saya aman dari musuh. Jadi seharusnya kamu terus seperti itu sampai mati karena sudah saya izinkan hidup!"
"Bukannya malah ingin pergi tanpa balas budi. Hidup kamu hanya untuk keluarga ini, bukan orang lain yang membuat kamu hadir dan mengusik kehidupan saya yang sudah bahagia. Harusnya kamu ...."
"Papa, Fais tidak kuat," potongnya dengan air mata yang berlinang.
Fais mendongak, menatap papanya sedih. Tama mungkin terluka dengan fakta hadirnya Fais selama ini, tapi Fais juga merasakan hal yang sama.
Kalau dihujani dengan duri seperti ini, Fais juga tidak kuat.
"Mungkin Fais adalah penderitaan bagi Papa, tapi Fais juga sakit selama ini, Pa," ungkapkan Fais dengan suaranya serak karena menangis.
"Fais juga bisa merasakan bagaimana perlakauan Papa beda, Fais juga capek karena ditekan terus-menerus, Fais lelah nunggu apresiasi seperti saudara-saudara Fais yang lain. Tapi setiap kali rasa sakit itu datang, Fais selalu berpikir kalau Fais sendiri yang terlalu pemikir."
Fais ingin menangis dan meraung di hadapan Tama, masih banyak hal yang hatinya ingin keluhkan, tapi hanya kata sederhana yang bisa Fais lanjutkan.
"Tapi walaupun ternyata Fais tahu kalau Fais sumber rasa sakit Papa, Fais tetap lebih sayang Papa dari pada Om Anggara. Karena Fais tahu siapa orang yang membuat Fais bisa tumbuh sebesar ini. Fais janji tidak akan pernah lupa balas budi dengan Papa."
Bukan hanya Fais yang menangis tersedu-sedu, air mata Tama juga akhirnya ikut tumpah.
Kenapa rasanya sakit, jauh lebih sakit saat tahu Fais hadir di dalam rahim istrinya. Luka Fais seolah ikut berbagi perih ke lubung hatinya.
Hanya beberapa lama Tama mampu melihat Fais kesakitan di dalam penderitaannya, setelahnya Tama langsung keluar dari kamar Fais, karena penderitaan Fais ikut menyeretnya sangat jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tengah
Teen FictionFais hanya ingin sehebat kakaknya dan tidak dikalahkan oleh adiknya. Tugasnya sebagai anak tengah harus diam, tapi berhasil unggul tanpa apresiasi berarti.