18. Pelakunya

43 11 4
                                    

Fais datang menghampiri papanya yang sedang membereskan pekerjaan di ruang tengah. Fais langsung berdiri di hadapan Tama tanpa rasa takut lagi, ia harus membiasakan diri agar papanya tidak terlalu merasa bersalah, atas masa lalu.

Fais mungkin merasakan luka, tapi jika tidak berdamai kapan ia bisa sembuh? Lukanya harus dijahit walaupun sedikit berbekas.

"Papa, Fais sudah boleh pergi?"

Tama mendongak, memandang Fais yang telah berdandan rapi menggunakan baju bagus. Hari ini Fais akan bermain ke rumah dua sahabatnya.

Fais memang tidak diizinkan sekolah umum, dengan alasan agar jangkauan belajar Fais terbatas hingga anak itu juga bebas menjalani hobinya. Fais diberikan kebebasan mengikuti lomba, bermain piano di mana saja, mengikuti les seberapa banyak yang ia mau. Sebagai ganti sekolah umumnya dicabut. Itu juga karena Tama selalu was-was akan keselamatan Fais.

Sialnya Fais juga harus bersikap manja meniru adiknya jika ingin keluar. Jarak yang jauh perlahan luntur, tapi terkadang Fais masih merasa malu jika harus mengeluarkan rayuan.

"Dua jam?" Tama memberikan waktu yang cukup singkat, tapi Fais tidak bisa menolak karena kalau ia protes, izinnya akan langsung dicabut.

"Biasanya juga sampe malem, Om," celetuk Algi, yang datang untuk menjemput Fais.

Tama langsung melirik, tapi ia langsung menghela napas panjang. "Nanti kalau terlalu lama Glen akan mencarinya seperti orang gila," alasan Fais.

Pada nyatanya satu keluarga memang belum percaya jika Fais bisa dibebaskan keluar rumah tanpa pengawasan satupun keluarganya. Semua orang sedang sibuk kebetulan.

"Ini masih pagi Om, Asya saja rencananya pergi satu hari full sama temennya," tawar Algi, yang memang berani sekali berdebat dengan ayah Fais.

Karena debatnya akan memakan waktu panjang, Fais berusaha melerai. Namun, sebelum itu Ama sudah pulang dari supermarket. "Sampai jam tiga sore, ya. Makan malam di rumah," putuskan Ama.

Tama tidak setuju dan ingin menentang, tapi langsung ditatap tajam oleh sang istri. Memberi isyarat agar Fais dibebaskan jarang-jarang, lagi pula anak itu belum terbiasa dikekang, tapi sekalinya dikekang malah sangat ketat sekali.

Fais tersenyum senang, ia langsung memeluk Ama dan berpamitan pergi kepada sang papa. Masih terlihat wajahnya yang tidak ada rasa ikhlas sama sekali.


***
Fais sedang duduk di taman belakang keluarga si kembar, tapi keduanya malah tertidur begitu saja diteras, dan Fais ditinggalkan sendiri yang tidak sehebat Elgo dan Algi masalah tidur di mana saja.

Dengan bosan Algi berjalan masuk meninggalkan kedua sahabatnya tanpa belas kasihan.

Kebetulan di ruang tamu ada ayah si kembar, Fais bisanya memanggil dengan nama Om Anto, seorang pengusaha kaya.

"Duduklah, Om ingin bicara denganmu sebentar," ucap Anto, yang Fais tahu ayah si kembar tudak terlalu suka dengannya.

Setiap kali berkunjung tatapan Anto selalu menyiratkan hal berbeda, tatapannya tajam seperti ada dendam yang terselubung di dalamnya.

Untungnya ibu Elgo dan Algi tidak sama, karena selain penuh kasih sayang, tante Lia sangat menyayangi Fais seperti anaknya sendiri.

Dengan takut-takut Fais duduk di sofa panjang. Sementara laki-laki duduk di sofa tunggal. Namun, baru saja Fais mengambil tempat nyaman, Anto malah langsung berdiri, membungkuk di hadapan Fais.

"O-om," kaget Fais, ia langsung berdiri dan menahan badan Anto.

"Maafkan Om," ucapnya dengan tulus.

Fais yang bingung langsung menahan tubuh Anto agar tegak kembali. "Untuk apa Om minta maaf, Om tidak ada salah," ujar Fais dengan perasaan tidak enak.

Anto memandang Fais dengan tatapan sedih, wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang amat besar sekali.

Fais bisa merasakan laki-laki itu seperti sedang mengakui kesalahan yang tidak bisa dianggap sepele.

"Malam kejadian itu, pelakunya adalah om."

"Apa?"



Si TengahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang