Fais yang tidak rela untuk menjual piano tersebut akhirnya memutuskan untuk meminta tolong kepada Anggara, menitipkan pianonya di rumah Anggara lebih dulu. Rencananya Fais akan mengambilnya saat nanti sudah lulus SMA, karena Fais telah menabung uang agar bisa ngontrak rumah.
Kepada papanya Fais mengaku telah menjual pianonya, tapi sebenarnya yang mengambil piano adalah anak buah Anggara. Fais ikut mengantarkan piano itu itu sampai tujuan.
Ternyata rumah Anggara tidak terlalu besar, hanya saja desainnya begitu elegan dan mewah walaupun hanya terdiri dari satu lantai. Cukup nyaman dan asri berisi taman hijau di halaman rumahnya.
Setelah Fais puas melihat halaman, ia memutuskan masuk yang telah disambut bahagia oleh Anggara. Tampak orang yang Fais kenal satu bulan itu sangat baik hati, memberikan Fais kenyamanan yang sulit diutarakan. Seperti Fais memiliki keluarga baru.
"Om nggak bisa datang ke acara ulang tahun kamu, jadi Om nyusul ya kasih hadiahnya." Anggara menyerahkan kado kecil kepada Fais.
"Yang datang juga tidak bawa kado kok Om. Jadi Om tidak perlu kasih hadiah," tolak Fais, ingin mengembalikan hadiahnya tapi Anggara segera menahan.
Senyum Anggara yang tidak pernah luntur membujuk dengan sedikit susah payah.
"Kamu harus menerimanya. Ulang tahun kali ini Om ingin sekali memberi hadiah, tahun lalu Om belum bisa karena kita tidak saling kenal." Anggara berucap dengan nada agak sedih.
"Om mau kasih hadiah dari lama?" heran Fais, tapi Anggara malah langsung mengangguk untuk membenarkan ucapan Fais.
Karena penasaran dengan hadiah yang akan diberikan Anggara kepadanya, Fais membuka kado itu di hadapan Anggara langsung, lagi pula sang pemberi juga seperti tidak ada rasa keberatan.
Namun, saat melihat isinya adalah kunci motor, Fais kembali ingin mengembalikannya. Tapi Anggara dengan cepat menarik tangan Fais untuk keluar rumah.
Fais yang bingung sekaligus kesusahan mengikuti langkah Anggara yang bersemangat tidak bisa berpikir apapun, sampai mereka di garasi mobil Anggara, terpakir motor sport keluaran terbaru dengan pita kecil menghiasi. Warnanya krem yang terlihat bagus dan Fais tidak pernah mampu memimpikan motor seperti itu akan dimiliki dalam hidupnya.
"Kamu suka?" tanya Anggara yang matanya juga ikut berbinar melihat Fais mematung tidak percaya dengan hadiahnya.
Anggara mengelus rambut Fais dengan lembut. "Jangan ditolak, ya. Bilang aja hasil jual pianonya buat beli motor ini. Lagian nanti kamu mau bilang dibawa ke mana uang hasil jual pianonya?"
"Om, ini berlebihan," ucap Fais tidak enak.
Namun, Anggara langsung menggeleng tidak setuju. "Setiap hadiah adalah hak pemberinya, dan kamu harus menerima agar yang memberi merasa dihargai." Anggara menggunakan kalimat pura-pura merasa sedih jika hadiahnya ditolak. Sementara Fais yang memang tidak pernah bisa menang jika berdebat dengan Anggara bisa apa?
Mereka berdua kembali masuk ke dalam rumah, membiarkan Anggara masuk ke dalam dapur untuk membuatkan minuman, membiarkan Fais di ruang tengah bersama pianonya.
Sebelum pergi meninggalkan hadiah pertama papanya, yang bagi Fais sangat berharga melebihi apapun. Karena ini adalah hadiah pertama yang menurut Fais sangat spesial, diberikan langsung oleh Tama walaupun hanya untuk formalitas saja.
Saat Fais ingin menyentuh pianonya, ia melihat lemari kaca di samping tempat menyimpan piano berisi sebuah piala yang Fais sangat kenali.
Perhatian Fais teralihkan, dia mendekat ke lemari kaca dan mulai membaca nominasi piala itu, dan ternyata benar-benar seperti piala Fais yang papanya buang satu bulan lalu.
"Kenapa pialanya bisa ada di rumah Om Anggara?" bingung Fais.
"Ayo minuman sama makannya di ambil Fais," panggil Anggara sambil menyuruh pelayan menaruh minuman dan makannya di meja.
Fais segera menoleh, memandang Anggara dengan senyuman canggung. Karena ia merasa kurang sopan telah melihat barang milik Anggara. Walaupun dalam hati dia masih bertanya-tanya, kenapa ada pialanya di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tengah
Teen FictionFais hanya ingin sehebat kakaknya dan tidak dikalahkan oleh adiknya. Tugasnya sebagai anak tengah harus diam, tapi berhasil unggul tanpa apresiasi berarti.