Fais sampai di rumah Anggara, ia melihat orang yang telah dianggap omnya itu sedang duduk di ruang tengah.
Fais mendekat, dia berdiri tepat di hadapan Anggara. Tidak ada wajah ramah, yang terlukis hanya kemarahan saja. "Jadi benar Om bukan orang baik?" Fais kecewa melihat fakta bahwa Anggara bukanlah panutan seperti harapannya.
Di bawah sinar lampu yang terang benderang, Anggara tersenyum miring. Ia berdiri, badannya yang tinggi melampui Fais. "Lalu, di mana kamu bisa menemukan orang baik?" Anggara bertanya balik.
Benar, tidak ada orang baik yang murni baik. Tapi orang jahat seperti Anggara, benar-benar sempurna tercetak jahat.
Fais marah, ia memandang dengan tatapan tajam. "Om, di mana adik saya. Kalau Om ingin orang tua saya berpisah, itu tidak akan pernah terwujud. Karena cita papa dan mama Fais itu abadi."
Bukannya tersadar mendengar fakta itu, Anggara malah tertawa mengecek. Ia memandang Fais yang begitu polosnya di mata Anggara.
"Yang Om inginkan itu kamu. Sejak kamu lahir Om hanya ingin mengakat kamu sebagai anak. Tidak apa-apa kalah saya tidak dapat Ama, yang terpenting orang yang paling mirip dengan wanita yang saya cintai akhirnya menjadi anak saya." Anggara melangkah maju, ingin meraih pucuk kepala Fais, tapi anak itu segera menepis.
Anggara marah, dia menarik leher Fais, hingga anak itu merasa sedikit tecekik.
"Om gila!" teriak Fais sambil berusaha melepaskan tangan Anggara di lehernya.
Tapi menyeramkan Anggara segera terbit, dia memasang wajah serigala yang sesungguhnya, pemangsa yang agresip. "Kamu benar, saya gila," akui Anggara.
Ia menarik Fais lebih dekat, mendorong Fais hingga tersungkur ke sofa. "Jadi lebih baik kamu patuh, atau kegilaan saya akan membuatmu menderita."
Anggara berbalik memunggungi Fais, ia memanggil bawahannya untuk membawa Asya yang dalam keadaan lemas dan terikat erat. Mulutnya sudah ditutup rapat-rapat agar tidak menganggu negosiasi.
Tujuan Fais ke sini adalah untuk adiknya, ia takut mamanya akan sangat sedih mengetahui sang bungus terluka. Mau bagaimanapun, Asya adalah kesayangan di keluarganya.
Dengan sisa tenaga Fais mencoba berdiri, tapi Anggara segara berbalik lagi, dan menekan dada Fais di sofa.
"Ayo ikut Om ke Amerika, kita hidup di sana. Kamu adalah anak Om, jadi panggil Ayah mulai sekarang." Anggara berkata penuh harap, memperhatikan Fais yang terlihat gelisah akan kondisi adiknya.
"Om Gila," balas Fais pada akhirnya.
Anggara marah, dia berhenti menekan dada Fais, menyuruh salah satu dari tiga orang yang memegangi Fais untuk mengancam.
Sebuah pisau tajam diarahkan ke leher Asya, benda itu benar-benar ditempelkan sehingga Fais berubah panik.
"Ja-jangan, Om." Fais ingin mendekati Asya lagi setelah berhasil berdiri, tapi Anggara kembali menahannya.
Anggara tersenyum miring, ia merasa akan mudah negosiasi setelah ini.
"Hanya dengan satu cara kamu bisa membebaskan adikmu. Ikut saya pergi sekarang!" perintah mutlak Anggara.
Ia melepaskan pegangan pada tangan Fais, karena tahu pemuda itu tidak akan berani maju lagi setelah melihat pengawal mengancam akan memutuskan leher Asya.
Fais binggung, ia berdiri dengan langkah goyah.
"Om akan jadi ayah kamu. Jangan pernah mengira karena Om gila, ini semua gara-gara ayah kamu. Andai saja dia tidak bodoh, membiarkan Om mengawasi kamu hingga perasaan menjadi seorang ayah untuk pertam kalinya muncul," cerita Anggara.
Fais akhirnya juga menatap lawan bicara. Melihat mata Anggara yang penuh kekosongan muncul.
"Om hanya kesepian, masih banyak anak lain yang bisa Om adopsi. Om juga terluka di masa kecil, merasa tertekan sampai punya jalan buntu. Om hanya gagal sekali dalam percintaan lalu efeknya besar, padahal Om bisa memulai dengan wanita yang lebih dari mama." Fais mulai mengerti perasaan Anggara yang dihancurkan waktu.
Fais juga pernah merasakan ditekan, tapi beberapa saat merenung Fais juga sadar ada banyak orang yang merasakan hal sama. Sampai keluarganya berubah, ia akhirnya memiliki obat
Tapi beda halnya dengan Anggara, manusia yang dianggap licik sudah rapuh yang ditutupi jubah besi kebencian dan rasa ingin mempertahankan diri.
Anggara melihat diri Fais sebagai remaja yang satu-satunya bisa menjadi tempat menghilangkan. Bisa dikatakan obsesinya kepada Ama membawa Anggara sejauh itu.
"Ayo hidup sama-sama, Om. Tidak perlu pergi jauh, lingkungan Fais bisa menjadi keluarga yang lebih ramai untuk, Om."
Anggara bergeming, sekarang gilirannya yang hanya berdiri mematung penuh ragu, ia meraih tangan Fais lalu memaksa Fais untuk menatap adiknya.
"Ayo pergi dengan Om, temani Om yang sepi, dan tinggalkan orang-orang yang pernah menyakiti kamu. Kita berdua butuh sembuh," keras kepala Anggara.
"Om tidak punya waktu, ayo pergi!" teriak Anggara yang emosinya berubah naik. "Atau pisau itu merobek nadi di leher adik kamu!"
Fais menggeleng, dia menahan Anggara yang ingin memerintahkan anak buahnya.
"Iya, Om. Ayo pergi, tapi biarkan Asya bebas."
Anggara tersenyum menang, ia segera menyeret Fais untuk segera pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tengah
Teen FictionFais hanya ingin sehebat kakaknya dan tidak dikalahkan oleh adiknya. Tugasnya sebagai anak tengah harus diam, tapi berhasil unggul tanpa apresiasi berarti.