14. Penyesalan

70 9 6
                                    

"Apa yang kamu lakukan di sini, sialan!" Tama langsung mencengkram kerah baju Anggara yang baru saja tiba.

Anggara tidak bergerak ataupun melawan, takut jika nanti akan terjadi keributan jika ikut bertengkar. Sebaliknya dia dengan tenang menjawab.

"Anak buah saya mengatakan Fais terluka, maka dari itu saya langsung ke sini." Anggara mengontrol suaranya agar tetap pelan, tapi dapat didengar jelas oleh Tama. "Mungkin saja saya dibutuhkan sekarang sebagai seorang ayah."

"Sialan, kamu mengakui sekarang kalau Fais anakmu? Kenapa dulu kamu selalu mengelak dan mengatakan jika malam itu tidak terjadi apa-apa." Tama memojokkan Anggara, ingin melampiasksn rasa sesak di hatinya.

Dalam hati Tama terus berkata jika ini bukan salahnya, ia pantas melampiaskannya kepada Anggara. Tama tidak mau menyalahkan dirinya sendiri, sebaliknya menitik beratkan salahnya kepada Anggara.

Namun, Anggara sebaliknya tetap terus bersikap tidak gegabah, dia melepaskan cengkrama tangan Tama dari kerah bajunya.

"Saya tidak seburuk kamu. Kalau Fais bukan anak saya, saya punya tanggung jawab dan rasa empati besar untuk tidak menyakitinya," sarkas Anggara.

Tama yang mendengar itu tersulut emosi, dia ingin memukul Anggara, tapi Glen dengan cepat menghentikan.

Glen tampak kesal, dia menatap dua orang tua yang harusnya sudah bisa berpikir dewasa dalam situasi sekarang.

"Walaupun Glen tidak tahu masalah kalian, tapi Glen hanya butuh ketenangan. Kasihan Fais sedang berjuang di dalam ruang operasi."

Tama yang merasa salah langsung melepaskan Anggara begitu saja. Dia kembali fokus kepada ruang operasi menunggu Fais selesai berjuang di dalam.

Tidak lama seorang suster keluar, membuat empat orang lainnya ikut mendekati.

"Kamu butuh dua golongan darah AB, apa di antara kalian ada yang punya. Kebetulan stok darah sedang sangat sedikit, dan baru datang daru bank darah dua jam lagi." Suster itu memandang keluarga pasien dengan penuh harap.

Seketika Tama yang menyadari golongan darahnya sama dengam Fais tercengang. Ia memandang Anggara yang tidak bisa membantu karena golongan darahnya berbeda.

"Saya Suster, golongan daran saya sama." Glen dengan cepat mengajukan diri agar adiknya selamat.

"Saya juga, Suster," susul Tama yang tidak mau tenggelam dalam pikirannya sendiri.


***
Satu minggu sudah keadaan Fais tidak ada kemajuan. Dokter mengatakan racun berhasil dinetralkan dengan usaha yang panjang. Untuk saat ini Fais juga sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat biasa, tapi dokter belum bisa memastikan kapan Fais akan sadar kembali.

Tama juga tertampar fakta, perkataan Anggara jujur kalau keduanya tidak melakukan apa-apa, sebaliknya dirinya dijebak hingga tidak sadarkan diri di dalam pesta. Lali fitnah itu dibuat.

Rasa bersalahnya begitu besar, membuatnya ingin menebus ribuan kali atas rasa sakit yang disebabkan oleh dirinya sendiri yang bodoh.

Karena telah menjaga Fais berjam-jam di samping ranjangnya, Tama akhirnya bergeser dan membiarkan Glen mengantikannya. Terligat si sulung begitu rindu walaupun hanya meninggalkan Fais beberapa jam.

"Maafin Kak Glen yang cuek selama ini. Kakak tidak pernah sadar sakit kamu tumbuh di keluarga kita." Glen mengelua tangan Fais lembut.

Beberapa hari lalu Tama telah menjelaskan semuanya kepada anggora keluarganya, hingga semuanya sadar kalau hidup bahagia mereka tidak pernah Fais rasakan juga.

Semuanya salah, terlalu acuh tidak acuh sebagai saudara, sampai Fais ingin menyerah karena rasa sakit batinnya.

"Kakak jarang peduli, bahkan kamar kamu kecil seperti kamar pembantu saja Kakak tetap diam." Glen ingin menangis tersedu-sedu, tapi terlalu malu untuknya menunjukkan rapuhnya.

"Ouh iya, Kakak juga sudah bereskan masalah kamu di sekolah. Kakak janji tidak akan ada yang berani mempermalukan kamu lagi," ujarnya yang tidak henti.

Seperti kata dokter, Fais harus sering diajak komunikasi, dan Glen tidak akan pernah memutus rasa ramai yang mungkin bisa Fais dengar.

"Izinkan Kakak menjadi Kakak terbaik buat kamu, ya. Beri Kakak kesempatan sekali lagi," pintanya dengan tulus.

"Asya juga, Asya pengen terus sama Kakak Fais yang keren banget. Selain bisa kejar mimpi Kakak juga kuat di bawah tekanan." Asya yang baru datang langsung memeluk badan Asya yang terbaring lemas di atas ranjang pesakitan.

Tama yang  duduk di sofa mendongak sebentar, menghalangi air matanya yang jatuh karena merasa tersindir seorang diri.

Dari dua saudara Fais, Tamalah sebagai ayah yang paling brengsek. Menyakiti hati anaknya sendiri tanpa ampun.

Si TengahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang