Fais hanya merenung di dalam kamarnya, memandang kosong pintu yang beberapa jam lalu ditutup oleh Tama, papanya. Ah tidak, itu adalah ayah tirinya.
Dengan rasa frustasi Fais melirik jam yang telah sangat malam. Ia memasang raut wajah sedih sambil menghela napas berulang kali.
"Sudah jam satu pagi, apa waktu berjalan secepat itu." Fais bergumam, semakin mencengkram dadanya yang terasa sakit.
Fais tidak tahu lagi harus apa setelah ini. Pergi sekarang? Kemana Fais harus pergi? Ia tidak punya tempat yang pasti.
Tidak terasa air mata Fais jatuh kembali, ia berusaha tegar tapi hatinya sangat rapuh. Pikirannya kacau hingga Fais mendengar suara ketukan pintu.
"Siapa?" Fais berusaha terdengar senormal mungkin. Berjalan mendekati pintu sambil mengusap air matanya berulang kali.
Rasa gemetarnya berusaha Fais hilangkan, mengatakan kepada dirinya sendiri kalau ia anak yang kuat.
Namun, baru saja sedikit yang bisa dibuka, orang diluar langsung mendoronya kasar, Fais belum sempat bereaksi karena dia telah dipojokkan ke tembok dengan cekikan kuat dilehernya.
Fais tidak bisa bersuara, jalur napasnya diputus begitu saja. Dengan keadaan linglung Fais berusaha melepaskan tangan orang yang mencekiknya kuat, Fais merasakan sakit yang amat dalam dan berpikir lehernya akan patah waktu itu juga.
Kamar Fais yang dalam keadaan terang benderang, membuat Fais bisa melihat apa yang orang itu akan lakukan. Pisau tajam orang itu keluarkan, menyebabkan Fais dalam keadaan yang benar-benar menyedihkan.
"Selamat malam, dan selamat menikmati kematianmu. Ini tidak sakit," bisik orang itu yang langsung mengayunkan pisaunya menusuk perut Fais.
Fais hanya memejamkan matanya erat, rasa sakit langsung menyerang sekujur tubuhnya. Darah mengucur deras setelah pisau dicabut bersamaan dengan napas Fais yang melemah.
Seakan tidak ada tenaga, Fais tergolek jatuh setelah orang itu melepaskan cekikan Fais di lehernya. Tahu kalau Fais tidak akan selamat dengan mudah, karena pisau itu telah dilapisi racun.
"Kamu hanya korban, korban kepicikan orang-orang pendendam dan egois," orang itu berkata sebelum pada akhirnya berjalan menuju jendela.
Ia sempat melihat Fais lagi untuk terakhir kalinya. Bagaimana pemuda itu mengais harapan hidup dengan pilu ditengah derasnya arus takdir yang harus membuatnya terus ingin mati.
Tepat setelah Fais orang itu berhasil kabur dari rumah megah itu, Asya yang sedang merasa setengah mengatuk tapi haus.
Melihat pintu kamar kakaknya terbuka Asya seketika kepo, karena Asya tidak pernah mengizinkannya masuk ke dalam kamar. Siapa sangka hal yang mengenaskan akan Asya lihat.
"Kakak!" teriak Asya kencang, membamgunkan semua orang yang ada di dalama rumah. "Kak Asya terluka, semua tolong ke sini!" Pita suara Asya rasanya sampai putus berteriak sekencang itu.
Karena tahu pertolongan pertama yang harus dilakukan, Asya mengambil pakaian apa saja yang bisa digunakan menutupi lukanya. Sementara Glen, Tama, dan Ama sudah tiba.
"Tolong pegangi Pa, Glen cepat siapkan mobil, dan Mama bantu Asya," arahkan Asya sebelum mendekati Fais yang kesadarannya semakin menipis.
Asya dengan gemetar menyetuh luka Fais, menekannya cukup keras agar pendarahannya berhenti dengan cepat. Tapi mungkin karena Fais kesakitan, Kakaknya melawan dengan menepis tangan Asya.
"Kak bertahan," ucap Asya yang akhirnya menangis keras.
"Percuma, pisau itu ada racunnya," lirih Fais, napasnya tersendat-sendat dan matanya memejam kuat.
Tama menggeleng, ia memeluk Fais ke dalam dekapannya. Rasanya hatinya benar-benar remuk detik itu juga. Tama menyessl, sangat, sangat menyesal telah menyakiti Fais.
"Kamu akan selamat, Papa di sini." Tama membantu Asya menekan luka Fais. Tanpa aba-aba langsung berdiri mengedong Fais menuju mobil yang telah disiapkan.
Mereka semua langsung masuk ke dalam mobil, Fais dipangku oleh Asya dan Tama, dengan posisi Asya menekan luka Fais, sementara Tama terus mendoakan sang anak sambil mengelus kepalanya.
"Papa," lirih Fais sambil mencengkram kuat tangan Tama.
Tama hanya bisa mengangguk, mengusap air mata Fais yang sepertinya sangat kesakitan.
"Fais kesakitan, Fais ingin pergi. Rasanya sakit, di sini sakit," racau Fais menekan dadanya.
Tama jelas paham apa yang dimaksud Fais, jadi dia langsung menangis. Ia memang seorang papa yang harus kuat, tapi disini dia yang paling terpukul akan keadaan sang anak.
"Kamu bisa sembuh, Papa janji tebus semuanya," balas Tama, berusaha membuat Fais semangat bertahan lebih lama.
Namun, Fais malah mengalami kejang, menyebabkan satu mobil semakin panik dan merasa sangat terpukul.
Tama yang tidak tahu harus apa langsung memeluk erat anaknya. Jangan sampai napas anaknya melemah, jangan sampai Fais pergi dalam kepedihan yang Tama ciptakam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tengah
Teen FictionFais hanya ingin sehebat kakaknya dan tidak dikalahkan oleh adiknya. Tugasnya sebagai anak tengah harus diam, tapi berhasil unggul tanpa apresiasi berarti.