007🐇

241 30 0
                                    

Selena berjalan santai menyusuri halaman belakang rumah yang memang disulap layaknya perkebunan buah sejak pertama kali rumah itu di bangun. Selena pada awalnya tidak perduli, ia hanya sibuk berdiam diri di dalam rumah, tidak terlalu nyaman dengan kehadiran orang-orang yang berkeliaran di sekitar rumah dengan didominasi para laki-laki.

Menginjak hampir satu bulan tinggal di rumah itu, Selena mulai membiasakan dirinya. Menyusuri jalan setapak melihat pemandangan menyegarkan kala buah warna warni menghidupkan suasana. Dengan secangkir teh di satu tangannya, dan satu tangan lagi memegang ponsel yang menampilkan wajah sosok wanita cantik lain.

"Enak tidak menjadi pengangguran?"

"Enak. Lihat saja aku, bahagia begini. Tapi balik lagi ke pribadi masing-masing. Ada yang tidak betah sama sekali tidak ada kegiatan seperti aku." Selena kembali menyesap tehnya sebelum meletakkan gelas yang masih tersisa setengah di atas kayu penyangga. Tangannya menggapai buah berwarna merah identik dengan rambut yang mengelilingi setiap inci kulitnya.

"Apa aku kelolah saja restoran yang diberikan oleh ayah, ya?"

"Itu salah satu bagian mu kan, Ge?"

"Hum."

"Coba saja. Walaupun misalkan kamu berpisah dengan Jevian tidak akan menjadi gelandangan, tetap saja kamu harus terbiasa dengan mengelolanya agar tidak gulung tikar."

Topik mereka bukan hanya asal, itu semua buntut dari kecurigaan tentang pelanggan tetap hotel. Bertanya enggan, akhirnya hanya menduga-duga.

"Benar juga." Geya mengetuk meja yang terdengar cukup nyaring oleh Selena. "Kamu keliling begitu memangnya orang-orang Kalingga tidak ada di halaman rumah?" Geya sejak tadi salah fokus dengan pakaian yang Selena kenakan.

"Hng?" Selena menunduk memperhatikan pakaian yang dikenakannya. "Oh!" Matanya mengerjab seperkian detik menyadari kelakuannya. "Kenapa baru bilang sih, Ge?! Mau ditaruh kemana wajahku?!" Teriak Selena frustasi. Matanya awas memperhatikan sekeliling takut-takut ada laki-laki disekitar sana.

"Aku kira kamu sadar."

"Matamu!" Teriak Selena panik.

"Telpon bibi saja sana, minta ambilkan bathrobe atau apa kek."

Selena dengan raut panik mematikan sambungan telpon dengan Geya begitu saja. Ia mendial telpon rumah yang tersambung ke bagian dapur, tadi ketika dia tinggal bibi ada di dapur. Sampai dering itu terputus dan mengulangi lagi hasilnya tetap sama, tidak ada yang mengangkat telpon tersebut. Merasa sia-sia Selena mencari nomor sang bibi, hasilnya sama. Selena menghentak-hentakkan kakinya kesal.

"Mending telanjang di depan Jeno dengan suka rela dari pada merasa telanjang di tempat terbuka begini." Dumal Selena nelangsa.

Ia merutuki dirinya sendiri yang tak sadar jika keluar rumah hanya berbalutkan kain yang bahkan hanya mampu menutupi bokongnya, sedangkan bagian atas hanya seutas tali kecil dengan belahan dada yang menyorot terlalu ke bawah. Sebagai pelengkap lagi, kain itu tipis nerawang, sangat apik memamerkan kulit mulusnya. Menggigiti kuku-kuku cantiknya Selena menimang untuk pura-pura tidak tahu melangkah menuju rumah tanpa peduli jika bertemu orang-orang, atau meneror Jeno dan menyuruhnya pulang?

Opsi kedua sepertinya agak berbahaya. Yang ada Jeno memarahinya seperti api menyala-nyala di atas kepalanya. Atau otak mesumnya bekerja lebih dominan dan berakhir menyusahkannya. Mendengar ada langkah kaki seseorang yang entah mau ke arah mana, nyali Selena menciut, ia bergerak gelisah memperhatikan sekitar mungkin saja ada tempat untuk menyembunyikan tubuhnya.

"Mati aku!" Rutuknya untuk yang kesekian kalinya.

Tepat pada persimpangan di mana Selena berada, tampak sosok tegas dengan sebuah benda ditangannya seperti tengah memperhatikan sesuatu yang tengah dicarinya. Ketika benda itu menunjukkan siluet wanita yang dicarinya, ia mengangkat pandangannya, menatap datar wanita yang berdiri kaku di sana.

Posesif or Obsesi ^ GSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang