#5 : Tempat Pulang

38 22 4
                                    

"Ternyata, senyum paling ramah itu juga menyimpan banyak luka,"

-Rayna-

Konser musik telah usai, Bryan memutuskan untuk mampir pulang sebelum kembali ke kost-nya. Sebab, rumah Bryan juga tidak terlalu jauh dari tempat konser. Meskipun rumah dan tempatnya berkuliah dekat, Bryan sudah memutuskan untuk kost sejak menjadi maba karena suatu alasan tertentu. Terlebih, ada sedikit ketidakcocokan dengan keluarganya sendiri.

Ketika Bryan pulang, ia disambut hangat oleh adik kecilnya, Chico. Tawa Bryan terdengar dengan Chico hingga ke ruang makan. Adik kecilnya itu kembali berlari ke ruang tamu ketika ia turun dari gendongan Bryan. Kemudian, Bryan duduk di meja makan bersama kedua orang tuanya.

Ruangan makan itu terasa sunyi meski suara alat makan yang berbenturan dengan piring terdengar samar. Di depan Bryan, duduklah kedua orang tuanya, Gunawan Effendi dengan wajah yang tegas dan pandangan tajam. Di sebelahnya, Mama Bryan, Dahlia Prameswari, berusaha menjaga suasana tetap tenang dengan senyum tipis yang sesekali ia lontarkan, meski terlihat jelas ia menahan rasa tidak nyaman.

"Pa, Ma, Bryan pulang," ujar Bryan ketika sampai di ruang makan keluarga.

"Tumben?" sinis Gunawan.

"Iya, tadi habis nonton konser di GBK, Pa," jawab Bryan, ia mengambil tempat duduk di sana.

"Oh, iya, ini kali pertamamu pulang, Nak, setelah kamu mau berangkat KKN sebulan yang lalu, gimana lancar KKN-nya, Nak?" tanya Dahlia dengan nada lembutnya, mencoba mencairkan suasana tegang antara suaminya dan putranya.

"Lancar, kok, Ma," jawab Bryan.

"Gimana kuliahmu?" Gunawan memulai pertanyaan. Nada suaranya datar, begitu juga dengan raut wajahnya yang selalu saja tanpa ekspresi. Dibalik pertanyaan itu, pasti ada hal lain yang tersembunyi.

Bryan tampak menelan ludah, ia mencoba untuk tetap tenang dan menjawab, "Baik-baik aja, Pa. Nggak ada kendala sama sekali. Tinggal nyelesaiin tugas-tugas sama ujian akhir aja."

Gunawan tersenyum sinis, sebuah senyum yang sudah Bryan kenal sejak lama, senyum yang tidak pernah menjanjikan pujian. "Hmm... sastra, ya?" Ia menggeleng perlahan. "Apa kamu tidak pernah berpikir untuk memilih jurusan yang lebih menjanjikan? Bisnis, ekonomi, hukum, mungkin? Tapi, percuma juga, kamu udah semester akhir." Gunawan hanya menghela napas. Seolah itu menjadi bentuk kekesalannya.

Bryan tahu, ia sudah memprediksinya. Pertemuan dengan Papanya yang dibahas selalu jurusan pilihannya. Namun, seperti biasa, Bryan mencoba untuk tetap tenang.

"Ini pilihanku, Pa. Aku udah dewasa, aku punya hak untuk memilih apa yang menjadi passion-ku. Aku yakin, aku pasti bisa sukses di jurusan ini. Aku bakal buktiin ke Papa suatu saat nanti," jelas Bryan.

Gunawan mengangkat alisnya, meragukan apa yang diucapkan oleh putranya itu, "Apa? Passion? Masa depan menjanjikan seperti apa yang buat kamu seyakin itu? Puisi-puisimu itu? Novel karanganmu itu? Kamu itu harus realistis. Dunia ini keras!"

"Udahlah, Pa. Lagi pula pembahasan ini udah nggak dibahas lagi, Bryan udah semester akhir. Seharusnya udah nggak ada lagi yang diperdebatkan," sela Dahlia, mencoba melerai perdebatan antara suami dan putranya.

"Nggak bisa, Ma! Hal ini tetap akan dibahas, toh, Bryan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kesuksesan di jurusan pilihannya itu," ucap Gunawan tidak terima.

Can I Be Yours?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang