Samudra Ini Terlalu Besar, (1)

96 23 18
                                    

"Nah! Benar juga! Kau pernah menuduhku mencuri!" seru Boboiboy saat mengingat dosa-dosa Fang padanya di masa lalu.

Dipikir lagi, pertemuan pertama itu sangat  buruk. "A-aku hanya menebak!" ucap Fang, gelagapan. "Kau juga pasti berpikiran hal yang sama kalau melihat orang lusuh memegang uang bernominal besar!" Fang lalu memilih untuk berkilah.

"Membela diri?" tanya Boboiboy menyindir. Dagunya sedikit naik, begitu juga sebelah alisnya. Tangannya terlipat di depan dada. Boboiboy sepertinya masih menyimpan dendam pada Fang.

Fang menunduk, membuang mukanya. "Ma-maaf ..." ujarnya sangat lirih, seperti kata maaf sangat melukai dirinya.

Boboiboy mendengus halus, menerima permintaan maaf itu. Untunglah dia tidak meminta Fang bersujud meminta maaf. Dia lalu mendekati Fang dan menepuk pundaknya pelan.

"Minggu depan, datanglah pagi-pagi. Bukan hanya aku yang harus kau mintai maaf."

.

.

.

Malam ini, bintang-bintangnya ramai menemani bulan. Langitnya cerah tak berawan. Udaranya lembut mengelus kulit. Ini adalah malam yang cantik untuk dinikmati.

Sepasang mata lain warna ---sebelah biru sebelah hijau--- menatap ke arah langit yang begitu syahdu. Matanya lalu terpejam menikmati angin, sebelum kemudian pandangannya berganti lurus untuk menatap jejeran pegunungan di depannya. Tinggi menjulang, besar dan berbaris rapi. Itu adalah pagar kokoh yang sama, yang pernah mengurungnya lebih dari seabad, dia Schrödinger.

"Pegunungan yang indah, ya 'kan?" Kalimat sinis diucapkan olehnya. Tentu saja dia tidak benar-benar mengagumi pegunungan itu. Seluruh jiwa dan raganya sepakat membenci pagar tersebut.

Schrödinger lalu melanjutkan kata-katanya. "Sang Naga Bumi sendiri yang membuatnya, sungguh luar biasa," pandangannya lantas beralih ke bawah, pada seseorang yang duduk terbelenggu rantai besi.

Pria heterocromia itu tersenyum miring. "Aryabhata Butala."

Gempa menatap nyalang Schrödinger. "Dosamu besar, Schrödinger. Mencuri Catatan Jiwa dan menyalahgunakannya seperti ini, seberapa besar karmamu?" katanya dengan nada rendah penuh dendam dan amarah.

Schrödinger tertawa renyah, cukup terhibur mendengar kalimat retoris Gempa yang diniatkan untuk menghinanya. "Cuih, kau berbicara soal karma? Seakan kau orang suci saja, Gempa."

Pertempuran yang panjang telah selesai. Schrödinger menang, dia berhasil mendapatkan Erlupi. Entahlah bagaimana dengan Hutan Besar Barat, Schrödinger puas dengan misinya yang sukses. Jatuhnya Erlupi ke tangannya akan membuat rencana panjangnya berjalan mulus. Schrödinger sudah bertekad sejak lama kalau kali kedua ini dia harus berhasil.

Negeri bawah tanah yang indah itu, sekarang milik Schrödinger. Para dwarf dan dark elf yang merupakan ahli pandai besi, sekarang ada di bawah perintahnya. Perang di kemudian hari akan lebih mudah dimenangkan karena bantuan pasokan senjata yang dibuat oleh para ahli terampil.

Dan melihat wajah Gempa yang terus menatapnya nyalang penuh kebencian, Schrödinger merasa sangat puas. Sangat sangat sangat sangat puas. Senyumannya menjadi semakin lebar. "Berbahagialah karena Tanah Hitam sudah hangus, kau tidak dikurung di sana seperti ku." ejeknya pada Gempa.

Gempa mengepalkan tangannya kuat sampai pembuluh-pembuluh darahnya timbul. Schrödinger semakin terhibur, reaksi Gempa sangat mirip dengan Ais. Naga Es itu Schrödinger amankan di sebuah ruang rahasia yang hanya dia yang tahu. Dan, Schrödinger juga baru ingat, Tanah Hitam habis dibakar.

Mengangkat bahunya tidak peduli, Schrödinger kembali berujar. "Ah~ benar juga, Ais rekanmu itu 'kan masih ku kurung, apa dia mati?"

Gempa yang mendengarnya langsung mengerutkan dahinya. "Apa maksudmu?!" teriak Gempa keras-keras. Gempa tidak percaya, juga tidak sudi percaya. Ais bergelar Naga Pelindung Samudera dan Kutub bukan tanpa alasan, dia cukup kuat untuk menerima gelar itu. Tidak mungkin Ais sudah mati.

Schrödinger mendekatkan wajahnya pada Gempa, lalu berbisik untuk menghina Naga Bumi itu. "Coba kau tanyakan sendiri saja pada salah satu temanmu."

Menarik kembali wajahnya, Schrödinger lalu melangkah mendekati pagar gunung di depan sana. Dia merentangkan tangannya, dan bersuara lantang mempermainkan Gempa.  "Sang Naga Penjaga Pegunungan, Penjaga Tanah Hitam, Naga Api Yang Perkasa,"

Gempa yang terus mendengarkan kata demi kata yang keluar dari mulut Schrödinger semakin melemas tidak yakin. Tanpa sadar, mulutnya bergumam menebak seseorang. Seseorang yang sangat mungkin bisa membunuh orang seperti Ais. Keyakinan kalau Ais sebenarnya masih hidup semakin memudar dari pikiran Gempa.

"Blaze?"

Lalu Schrödinger yang masih bisa jelas mendengarnya tersenyum miring. Dia sangat puas dan menikmati ekspresi putus asa dari Gempa.




















Psstt, Nanas mau bilang...

Psstt, Nanas mau bilang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hehe.

Son of DragonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang