Samudra ini Terlalu Besar, (2)

63 16 4
                                    

Perang ini memuakkan. Hujan panah setiap hari, banjir darah setiap saat. Semakin lama peperangan ini berlangsung, semua bukan lagi siapa yang kuat atau yang lemah. Mereka yang mentalnya lebih kuat akan diuntungkan kedepannya. Namun, anggap saja musuhnya gila dan tidak punya akal sehat, terkurung di Tanah Hitam sangat cukup untuk membuat otak mereka rusak. Taufan sendiri tidak yakin mampu menjaga mental semua orang agar tetap stabil.

Pelindung yang Solar pasang hanya bisa bertahan 5 hari. Blaze di luar pelindung juga tidak bisa berbuat banyak untuk menahan para Pengacau itu. Namun yang paling membuat sesak Taufan adalah suasana di balai utama Hutan Besar Barat, pusat logistik dan pengobatan luka perang. Ada begitu banyak orang yang terbaring, atmosfernya berat.

Terlebih kali ini, Taufan di sini bukan untuk sekedar mengintip, namun menjenguk. Edi terluka cukup lebar di bagian bahu kirinya. Ada orang gila yang membawa belati perak dan menyerang Edi. Jika saja Edi bukan seorang vampir, luka tersebut seharusnya tidak terlalu fatal.

Lukanya melepuh, membakar kulit hingga membuat kulit di sekitar luka hangus menghitam. Cukup mengerikan. Duri saja sampai turun tangan langsung untuk mengobati luka itu. Penanganannya cukup rumit, diperlukan bantuan sihir khusus selain hanya membungkus lukanya dengan perban.

Taufan menatap wajah kesakitan itu dengan tatapan iba. Luka sayatan perak bagi para vampir itu sama saja dengan luka sayatan beracun yang bisa mematikan. "Edi, kalau tidak kuat, kau bisa meminum darahku." tawar Taufan. Meminum darah bisa meredakan dan membantu menyembuhkan sakit.

Namun, Edi menolaknya mentah-mentah. "Lebih baik aku mati daripada meminumnya." ujarnya. Meminum darah memang baik untuk pemulihan lukanya, tapi darah naga memiliki efek samping yang tidak ingin Edi rasakan.

"Kalau kau mau, kau bisa meminum satu kantong darah nanti, akan aku izinkan." Kini berganti Duri yang menawarkan.

Namun lagi-lagi orang itu menolaknya. Dia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum seakan mengatakan kalau dia baik-baik saja tanpa meminum darah. "Tak perlu." ucapnya.

Duri mengerti maksud vampir itu. Tidak ada yang tahu perang ini akan berlangsung sampai kapan, dan Edi pasti keberatan karena merasa masih ada banyak orang yang membutuhkan stok darah itu dibandingkan untuk dia minum.

Suasana kembali diam. Edi hanya memejamkan matanya menahan sakit, sembari Duri perlahan merawat luka miliknya. Kesadarannya terasa menurun, tapi dia tetap berusaha untuk sadar, dia takut dirinya akan tertidur terlalu lama.

Dalam keadaan seperti ini, bayangan seseorang yang sangat dia rindukan datang. Wanita yang sayangnya mati terlalu cepat karena perbedaan umur mereka. Edi rindu dielus rambutnya, rindu pelukan hangatnya, rindu dimanjakan olehnya. Dia merindukan hal-hal yang sudah tidak mungkin terjadi lagi.

"... Aku rindu Amber..." ucapnya dengan suara yang parau.

Taufan yang mengenal nama itu hanya bisa tersenyum perih, prihatin dengan temannya. Padahal selama ini orang itu selalu bercakap bahwa dia sudah melupakan kesedihannya. Tentu saja Taufan tahu kalau itu hanyalah sebuah omongan belaka, kesedihan sungkar menghilang tanpa meninggalkan sisanya.

Edi kembali membuka matanya, lalu dia menatap lurus Taufan. "Apa tidak masalah kau mundur dari baris depan?" tanyanya.

"Masih ada Blaze, Solar, Malam, bahkan Maripos." jawab Taufan.

Edi terkekeh, lalu tersenyum. Dia paham dengan apa yang sebenarnya Taufan maksud. Dengan sisa-sisa tenaganya, vampir itu menepuk lengan Taufan pelan. "Kembalilah, aku ini abadi."

Mendengar kata-kata itu, Taufan menurut dan beranjak dari balai utama. Dia akan kembali ke garis depan sesuai permintaan temannya. Walaupun, perasaannya masih tidak karuan sampai sekarang. Perang ini benar-benar sudah membuat Taufan muak.

Son of DragonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang