We Always Together. [Gyumin&Hyunsik]

83 10 10
                                    


— Best Friend —







Gyumin dan Hyunsik sudah bersahabat sejak mereka masih di bangku SMP, dan kini, meski kehidupan kuliah mulai menuntut lebih banyak perhatian mereka, persahabatan mereka tetap tak tergoyahkan. Di kampus, mereka selalu terlihat bersama—Hyunsik yang lebih tenang dan analitis, selalu menjadi tempat curhat Gyumin yang penuh semangat dan ceria. Meski terlihat seperti kebalikan, persahabatan mereka justru saling melengkapi.

Pagi itu, suasana kampus seperti biasanya ramai dengan mahasiswa yang sibuk menuju kelas. Hyunsik menunggu di depan gerbang kampus, sesekali menatap layar ponselnya, memeriksa pesan yang tidak kunjung masuk dari Gyumin. Padahal biasanya, Gyumin akan mengirimkan pesan iseng atau emoticon lucu untuk mengabarkan kalau dia sudah dekat. Tapi pagi itu, tidak ada satu pun pesan.

Tak lama kemudian, sosok yang ditunggunya akhirnya muncul. Gyumin datang dengan langkah cepat, hoodie oversized kebanggaannya menutupi sebagian wajahnya. Wajah yang biasanya ceria kini tampak sedikit lesu. “Sorry gue telat, Hyun. Dosennya kelamaan beres tadi,” katanya dengan suara yang terdengar lebih lemah dari biasanya.

Hyunsik mengamati sahabatnya itu dengan seksama. Sesuatu dalam ekspresi Gyumin terasa berbeda. “Nggak masalah, Gyu,” balas Hyunsik sambil menatap langsung ke matanya. “Tapi lo kelihatan capek akhir-akhir ini. Lo baik-baik aja?”

Gyumin berusaha tersenyum. “Gue? Ah, nggak, nggak ada apa-apa. Cuma lelah aja, mungkin karena tugas yang numpuk,” jawabnya seolah-olah itu hal kecil. Tapi Hyunsik bisa melihat lebih dari itu.

“Lo nggak bisa bohong sama gue,” Hyunsik menegaskan. Mereka sudah bersahabat cukup lama untuk tahu bahwa ada sesuatu yang Gyumin sembunyikan. Hyunsik tahu bahwa di balik senyum itu, ada beban yang sedang dipikul sahabatnya.

Gyumin tertawa kecil, namun tidak ada kehangatan dalam tawanya. “Hyunsik, lo selalu aja tau kalau ada yang nggak beres.” Dia menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Kadang gue ngerasa, gue selalu harus jadi orang yang bikin semua orang senang, tahu nggak? Dan itu… capek juga ternyata. Orang ngira gue nggak punya masalah, cuma karena gue selalu senyum.”

Hyunsik mengangguk, mendengarkan dengan seksama. Dia menunggu Gyumin mengeluarkan semua yang dia rasakan, tidak menyela sedikit pun. Dia tahu ini adalah cara Gyumin untuk merasa lebih baik—dengan berbicara, mengeluarkan apa yang ada di pikirannya.

“Kadang gue ngerasa nggak cukup baik,” Gyumin akhirnya mengaku. “Semua orang ngelihat gue sebagai orang yang selalu ceria, dan kalau gue sedih atau lelah, kayaknya mereka bakal kecewa. Gue takut mereka nggak suka sama gue kalau gue nggak jadi diri yang ceria ini.”

Hyunsik merasa sakit mendengar itu. Gyumin, yang selalu ada untuk membuat orang lain tertawa, ternyata menyimpan beban yang besar. “Gyumin, lo nggak harus selalu ceria. Lo nggak harus selalu jadi orang yang menyenangkan buat semua orang. Lo boleh lelah, lo boleh sedih. Dan kalau lo butuh tempat buat istirahat, lo bisa ngandalin gue.”

Gyumin menunduk sejenak, berusaha menahan air matanya. Hyunsik jarang melihatnya seperti ini—rentan dan rapuh. Biasanya Gyumin adalah orang yang penuh tawa dan keceriaan, tapi saat ini dia adalah manusia biasa yang juga punya batas.

“Gue takut orang-orang bakal ninggalin gue kalau gue nggak jadi diri gue yang biasa mereka lihat,” Gyumin akhirnya mengungkapkan ketakutannya.

Hyunsik meletakkan tangan di bahu Gyumin, menatapnya dengan penuh keyakinan. “Orang yang bener-bener peduli sama lo, nggak bakal ninggalin lo cuma karena lo lagi nggak ceria. Gue ada di sini bukan cuma buat tertawa bareng lo, Min. Gue ada buat lo, apa pun yang terjadi. Kita udah sahabatan bertahun-tahun, dan gue nggak bakal ninggalin lo.”

ONESHOOT LEXHYUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang