CHAPTER 7

36 3 0
                                    

Kavela POV :

Dan pada akhirnya semua akan berakhir, berakhir sebagaimana mestinya. Tuhan akan selalu punya caranya sendiri untuk memisahkan apa yang tak seharusnya bersama. Dan kali ini, aku; Kavela yang menjadi korbannya.

Aku tau, tak ada yang bisa disalahkan selain diriku sendiri. Namun akupun tau, semua tak akan terjadi jika tanpa persetujuan darinya. Dan di sinilah aku sekarang, duduk sendiri menunggu prosesi pernikahan pria yang lima tahun ini kupertahankan posisinya di dalam hatiku.

Entah aku yang bodoh, atau takdir yang kejam. Aku sendiripun tak tau atau lebih tepatnya tak mau tau; tak peduli. Karna bagiku semuanya sama, sama-sama tak membantu untuk memulihkan diriku.

Lonceng dibunyikan, pertanda Misa akan segera dilaksanakan.

Liturgi Pernikahan dimulai dengan kedua mempelai yang diapit oleh dua orang saksi, sedangkan orang tua atau wali berdiri di pintu Gereja.

Mempelai wanita berdiri di sebelah kanan mempelai pria; Sagara dan setelahnya para orang tua atau wali mengambil posisi di sebelah para mempelai, sedang dua orang saksi yang sebelumnya mengambil posisi di samping orang tua mempelai.

Imam beserta putra-putri altar; Misdinar menyambut di depan pintu gereja. Dan cincin diberikan kepada para putra-putri altar.

Jantungku berdegup semakin cepat, peluh keringat sebiji jagung perlahan keluar di sekitar pelipisku. AC ruangan ini seakan tak bekerja dengan baik, padahal sebelumnya masih terasa sejuk.

Ku tundukkan kepalaku dengan perlahan seraya mengusap peluh keringat di pelipis dengan punggung tangan.

Baru saja akan ku dongakkan kepalaku, tiba-tiba sebuah sapu tangan tersodor di depanku.

Aku yang terkejut dengan spontan menoleh ke arah samping.

Seorang pria berkemeja batik bernuansa merah berdiri di sampingku dengan tangan yang masih setia menyodorkan sebuah sapu tangan didepan ku. Pria itu menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya 'apa?'.

Aku menggeleng, menolak sapu tangan itu. Namun pria di sampingku sepertinya tak paham dengan isyarat yang kuberikan.

Karna melihatku yang tak kunjung menerima sapu tangannya, sepertinya pria itu kesal. Karna tanpa sepatah kata apapun, tiba-tiba pria itu meletakan sapu tangannya ke tanganku.

Dan setelahnya pria itu kembali memfokuskan pandangannya pada Imam yang tengah memercikan air suci pada mempelai dan para rombongan seraya berkata. "Semoga rahmat Tuhan turun kepada saudara agar dengan hati yang suci menghadap kepadaNya dalam upacara yang kudus ini."

Setelahnya barulah perarakan menuju altar yang diiringi dengan nyanyian para koor; paduan suara gereja.

Setelah tiba di depan altar, semua menempatkan diri di tempat masing-masing. Dan setelahnya Imam memimpin membuat tanda salib.

"Dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus"

"Amin" balas umat serentak.

Imam memberikan pengantar singkat sebelum akhirnya masuk ke dalam upacara tobat, do'a pembuka, liturgi sabda, dan homili; homili di berikan oleh Imam dan para umat dipersilahkan untuk duduk. Karna sebelumnya adalah pembacaan injil yang dimana pembacaan injil itu dilakukan  oleh Imam dan para umat berdiri.

Setelah Imam memberi homili barulah semua diminta untuk berdiri dengan saksi yang diminta untuk berdiri di samping kanan dan kiri para mempelai.

Kesediaan; dilakukan sembari berjabat tangan.

Perasaan tenang yang dengan susah payah kudapatkan perlahan melenyap seiring berjalannya waktu yang semakin dekat dengan upacara pernikahan.

Kutautkan kedua tanganku guna kembali memohon kepada yang maha kuasa agar berkenan mengabulkan do'a yang telah ku panjatkan sebelumnya.

"Bersediakah saudara mengasihi dan menghormati istri saudara sepanjang hidup?"

Kepala yang awalnya tertunduduk lemas perlahan mulai ku dongakkan, ku biarkan  kedua mataku menyaksikan dengan jelas bagaimana pria di depan sana membalas pertanyaan Imam.

"Ya, saya bersedia"

Dadaku terasa sesak, ada perasaan tak rela di sana. Namun aku tau tak ada kata mundur saat ini. Karna tepat ketika aku memutuskan untuk tetap mengikuti egoku dengan datang ke acara ini, maka mau tak mau aku harus siap dengan segala kemungkinan rasa sakit terburuk yang akan terjadi siang ini.

"Bersediakah saudara menjadi bapak yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saudara, dan mendidik mereka menjadi orang Katolik yang setia?" Imam kembali bertanya, dan hal bodoh pun terjadi; mempelai pria itu malah diam seperti orang bisu dengan mata yang menatapku dengan tatapan sendu.

"Bodoh, jika memang tak menginginkan pernikahan ini terjadi mengapa menyetujuinya?" dongkol ku dalam hati.

Hal pertama yang ku saksikan adalah wajah Sagara yang sudah masam sejak pertama kali menginjakkan gereja. Namun aku sendiri tak tau apa penyebabnya.

Entah karna kedatanganku yang sepertinya hanya diberi undangan untuk formalitas semata atau hal yang lain aku sendiri pun tak tau. Namun yang jelas ekspresi Sagara tak dapat berbohong. Atau malah aku sok tau?-- Entahlah, persetan dengan Sagara, mengurus perasaanku sendiri saja aku tak becus.

"Ya, saya bersedia"

Ku palingkan wajahku ke arah samping, berusaha menghindari tatapan matanya yang tak kunjung berhenti.

Pria di sampingku nampaknya mulai geram dengan banyaknya tingkahku yang tak bisa tenang. "You okay?" tanya lelaki itu yang dengan segera kubalas dengan anggukkan kepala.

"You look so pale, are you really okay?"

"Hm, i'm okay" balas ku dengan kedua sudut bibir yang ku paksakan naik ke atas membentuk sebuah lengkungan berusaha meyakinkannya bahwa aku memang baik-baik saja.

"Bersediakah saudari mengasihi dan menghormati suami saudari sepanjang hidup?" pertanyaan dari Imam kembali menyadarkan ku bahwa prosesi pernikahan masih berlangsung.

"Ya, saya bersedia" tak ada keraguan dari balasan mempelai wanita di depan. Wanita itu nampak sangat bahagia, sangat berbanding terbalik dengan Sagara yang nampak seperti orang tipes; lemas.

Kepalaku tiba-tiba terasa pening, mungkin efek karna tak makan dulu sebelum berangkat. Namun nasi sudah menjadi bubur, sangat tak masuk akal jika tiba-tiba aku keluar dari ruangan ini hanya untuk makan.

Aku memejamkan mata kuat-kuat, berusaha menghalau rasa pening yang semakin menjadi. "Sialan, setidaknya biarkan aku mengikuti acara ini sampai selesai" kesal ku dalam hati.

Dapat kurasakan sebuah tangan yang tiba-tiba merangkul pundakku dengan erat tepat sebelum tubuhku oleng.

Demi apapun, aku amat sangat merasa bersyukur karna jika tidak ditahan oleh tangan itu. Mungkin aku sudah terjatuh.

Pria di sampingku memintaku agar duduk, namun dengan keras kepala ku tolak permintaannya. "Gue nggak pa-pa"

"Lo kenapa-napa!"

"Gue bilang gue nggak pa-pa!" balasku ikut kesal.

"Dasar batu" gerutunya sebelum akhirnya melepaskan tangannya dari pundakku.

Jangankan pria itu. Arga, Sandra, dan Samuel saja tak pernah ku dengarkan.

Setelah berdebatan kecil itu, kamipun sama-sama menghadap ke depan. Kembali menyaksikan prosesi pernikahan yang masih berlanjut.

Dan hal yang paling menyebalkan adalah fakta bahwa kepalaku masih terasa sangat pusing. "Sialan, tidak tepat waktu sekali!"

"Lain kali akan aku usahakan makan sebelum bepergian, peduli setan dengan kata terlambat. Kesehatanku lebih penting"

"Kampret!"

3 0 9 1 (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang