CHAPTER 4

114 7 0
                                    

Perjalan pulang terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Baik Kavela maupun Sagara sama-sama diam, sibuk dengan isi kepala masing-masing yang sama-sama berisik.

Kavela tak berhenti memaki diri sendiri, merasa gagal dengan semua perjuangannya selama enam tahun. Perasaan yang seharusnya tak boleh ada, tiba-tiba saja kembali menghampirinya.

Kavela tau ini salah, namun ia tak berdaya. Tak berdaya dengan segala rasa sakit yang kembali mampir ke relung hatinya.

Katakan ia bodoh, masih diposisi yang sama setelah disakiti dengan sebegitunya. Kavela resah, tak siap dengan segala hal yang akan ia hadapi setelah ini.

Perasaanya, perasaan teman-temannya. Entah harus bagaimana ia menghadapinya.

Mungkin Argana benar, pertemuan ini tak seharusnya ada. Kisahnya memang sepatutnya berakhir tepat enam tahun lalu ketika lelaki bernama Sagara memilih untuk menyerah dan meninggalkannya.

Kepalanya yang batu, sikapnya yang acuh, perasaanya yang seolah tak takut apapun pada akhirnya kalah. Kalah dan salah.

Samuel benar, cinta tak akan selamanya indah.

Sandra benar, tak ada kesempatan kedua dalam cinta. Karna pada dasarnya cinta hanya datang satu kali, selebihnya hanya rasa sakit.

Arga benar, aku bodoh. Bodoh dalam hal apapun, bodoh karna tak pernah mau mengerti, tak mau mencoba mendengarkan orang lain, dan bodoh karna selalu merasa mampu dan benar.

Mama benar, aku hanya seorang anak kecil yang tak pernah siap dengan segala rasa sakit yang bisa kapan saja menghampiriku.

Sagara, aku berjanji akan membencimu setelah ini. Membenci segala hal yang bersangkutan denganmu. Aku janji, malam ini adalah malam terakhir aku menangis karnamu.

Tuhan, tolong aku. Tolong umatmu.

Sagara memberhentikan mobilnya tepat di depan pagar rumah Kavela, "jangan lupa cuci tangan cuci kaki sebelum tidur, jangan lupa doa. Kalau bisa langsung tidur ya, takutnya besok kamu nggak bisa bangun pagi" Kavela mengangguk patuh seraya melepas seatbeltnya.

Tak ada yang bisa ia ucapkan sebagai balasan atas apa yang baru saja diucapkan Sagara padanya.

Deja vu, karna Sagara selalu mengucapkan ini setiap kali mengantarnya pulang.

"Nggak usah ikut turun, kamu langsung pulang aja. Udah malem" ucap Kavela setelah lama diam.

Sagara mengangguk, tau bahwa itu adalah salah satu cara Kavela memintanya segera pergi.

Kavela menyempatkan untuk mengucapkan terimakasih sebelum akhirnya memilih untuk turun dari mobil Sagara.

Kavela tak langsung masuk ke dalam, ia memilih menunggu Sagara mengemudikan mobilnya lebih dulu. Setelahnya barulah ia masuk kedalam.

Rumahnya sepi, tak ada mama tak ada papa. Kedua orang tuanya tengah di Jogja, menjenguk neneknya yang tengah sakit. Di rumah hanya ada dirinya dan kakaknya, namun sayangnya sang kakak belum pulang.

Kavela merebahkan tubuhnya diatas ranjang dengan keadaan tubuh terlentang menghadap langit-langit kamar.

Hatinya tak tenang, dadanya terasa sesak seolah tertimpa batu besar. Air matanya perlahan mulai turun, pertahanannya pada akhirnya runtuh begitu saja.

Kavela menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menangis sesegukan. Berusaha meluapkan semua kesedihannya sebelum kakaknya kembali pulang.

Isakan demi isakan perlahan mulai memenuhi isi kamar bernuansa biru mudah itu. Tangan kirinya mengepal, memukul dadanya berberapa kali dengan harapan rasa sesak itu akan pergi. Namun sayangnya tindakannya tidak menghasilkan apapun; nihil.

3 0 9 1 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang