01.Hujan Malam

32 6 0
                                    

Ketika hujan turun lagi mengguyur kota Surabaya, aku beranjak berdiri di ambang jendela perpustakaan umum lantai dua. Sunyi nya malam ini. Angin menembus kaca seakan tak ada yang menghalanginya, suasana dingin seketika mengunci tubuhku. Menggeser separuh jendela di hadapanku. Rasa dingin terpaan angin ke wajah membuatku mengerjapkan mata menikmati. Leherku terasa dingin, aku mengurai rambut panjang ku untuk dijadikan penghangat. Hujan selalu menang membuatku merasakan kesendirian. Merenungi dan melamun melihat langit malam gelap tiada bulan dan bintang, sejenak aku memikirkan alur dalam kehidupan. Melihat ke bawah dari lantai dua terdapat dua orang yang sedang berpelukan, entah apa yang terjadi aku tidak mengerti. Mereka basah kuyup terkena tangisan alam yang semakin deras. Mungkin sekarang ada seseorang yang lagi kesepian dan hujan menemaninya. Perempuan tadi melepaskan pelukan dari lelaki dihadapannya dan aku bisa melihat samar jika mereka menangis. Itu membuatku mengingatkan sesuatu, seseorang yang aku cintai. Sepertinya dua manusia di bawah sana akan berpisah, atau mungkin sekian lama LDR dan mereka sekarang melepaskan semua kerinduannya?

Semilir angin malam menghilangkan kesadaran, menambah rinduku kepada seseorang yang berada jauh di sana. Aku begitu menikmati terpaan angin itu ke wajah, rambutku terbang tanpa arah saat ini. Semuanya terasa pahit ketika teringat bodohnya aku mencintai saudara sendiri anak dari Paman Car. Tapi itu dulu dan berjanji pada diriku sendiri tidak akan terulang lagi perasaan ini. Tidak mau lagi mempunyai rasa cinta ataupun suka pada siapapun lagi. Aku Lofianka, anak pertama dan memiliki satu adik laki-laki. Di umur enam belas tahun ini, aku tidak tahu ingin cerita mana yang akan menancap sempurna di ingatan sebagai kenangan. Aku hanya anak biasa dengan jalan hidup yang datar, tinggal di kota Surabaya masih beberapa bulan. Pada semester dua kelas sepuluh ini, aku akan merubah sikap apalagi aku harus berusaha mematikan perasaanku pada yang namanya percintaan. Sudah lelah selalu memendam sendiri perasaan suka-menyuka. Tapi nyatanya, aku tidak menepati janji sendiri. Hatiku seakan tertarik saat melihat senyuman nya, aku memiliki perasaan pada teman kelas. Namun berujung tersenyum miris, lagi-lagi hanya bisa memendam perasaan ini.

Alunan musik berganti, dengan judul "Rindu Tapi Malu". Bisa begitu yah, pas banget saat aku merindukan seseorang. Lagu terputar di lantai dua membuat ku teringat lagi, aku rindu karakter fiksi di salah satu novel favoritku. Aku juga sangat ingin bertemu idola, rindu sangat rindu dengan nya. Aku bukan sekedar mengidolakan, aku ingin selalu bersamanya. Jika memang tidak bisa, setidaknya kenal denganku saja membuat ku sedikit lega. Aku sadar, kekurangan fiksi itu tidak nyata dan kekurangan dia itu beda agama, tapi aku menolak sadar kekurangan mereka. Aku meminta maaf atas keegoisanku ini, tapi mungkin banyak juga seperti ku saat ini sekarang. Aduh, ini sudah melenceng ceritanya. Tak apalah mencintai seorang artis, daripada aku mencintai saudara sendiri, dan memang itu tidak boleh bersatu apalagi ada peraturan keluarga turun menurun; tidak boleh berpasangan dengan saudara kandung, meskipun juga anak dari paman atau bibi. Aku menghembuskan napas pelan, kembali ke meja salah satu yang aku tempati tadi, melanjutkan membaca resep kue tradisional. Sekarang adalah hari minggu dan besok senin ibu harus membuat kue nya, kue itu untuk saudaraku di kota Sidoarjo yang hari senin anaknya khitanan. Tidak enak jika tidak membawa sesuatu di hari H.

Sebenarnya, bisa saja aku mencari di internet dengan mengetik lalu keluar resep-resep kue itu, tapi aku tidak bisa melakukannya karena kuota handphone ku habis. Dalam keluargaku memiliki dua buah handphone saja, satu untuk ku dan satunya untuk ayah-ibuku. Kuota handphone Ayah-ibuku juga habis, aku tidak berani meminta uang untuk membeli itu. Aku hanyalah anak orang yang pas-pasan, aku harus menghemat jika ingin sesuatu maka aku akan menabung lalu membeli apa yang ku mau. Memiliki handphone sendiri meskipun uang orang tua itu sudah cukup untuk anak sekolah menengah kejuruan sepertiku. Tidak mengapa jika tidak ada kuota, di sekolah aku juga jarang bermain handphone meskipun ada WiFi gratis di sana.

Aku menutup buku yang ku pegang, lalu membuka lagi buku lain. Membuka bukunya kemudian melihat daftar isi di buku, banyak sekali daftar resep kue di buku ini, dua ratus resep yang harus aku baca satu-persatu. Nomer satu, resep kue lapis. Dua, resep kue mendut, hingga tepat di nomor tujuh belas, resep kue onde-onde pecah yang dari tadi di cari akhirnya kutemukan. Lalu aku menandai halaman agar dicari lagi lebih mudah di temukan. Aku menoleh ke jendela yang setengah terbuka lalu aku berdiri dan melangkah mendekati jendela. Menghembuskan napas pelan, merasakan terpaan angin itu semakin kencang kala hujan semakin deras. Aku melirik handphone dengan jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam lalu memandang kendaraan yang masih melintas di jalanan. Sial, teringat lagi dengan idola yang beda negara nan beda agama. Dulu mengidolakan satu negara ini saja tidak bisa bertemu, apalagi yang jauh di sebrang laut samudera sana. Aku sangat ingin bertemu tapi dengan cara apa aku berjuang ke sana menemuinya?

Hujan MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang