08.Mirza?

8 2 0
                                    

Samar-samar terdengar suara ayam berkokok. Kesadaranku mulai terbentuk meski masih mengantuk. Detak jarum jam semakin terdengar jelas seakan menarik perhatian telingaku. Kegelapan di kamar membuat malas bangun untuk cerita baru. Pikiran mulai bekerja, banyak kata-kata kemarin tentang jalan hidup seolah terputar kembali untuk menggugah semangat hari ini.

Dalam kemalasan aku mencoba mendudukkan diri. Sambil menutup mata, aku mencoba menenangkan diri dan menunggu-seolah mengumpulkan seluruh nyawa yang melayang-sampai aku siap dengan cerita baru hari ini yang menunggu membawa kejutan untuk ku. Melihat jarum jam di angka lima dengan hembusan napas panjang aku keluarkan. Sebelum beranjak, memberikan afirmasi positif ke diri sendiri sesuai kebiasaan, setelah itu meregangkan otot-otot tubuh.

Beberapa menit aku gunakan untuk membersihkan diri dan memakai pakaian sekolah sesuai jadwal hari ini dengan rapi. Lengkap sudah setelah aku mendapat pesan dari Iin yang akan menjemputku ke rumah.

Aku berjalan menuju ruang tamu. Ternyata, ibu sudah menyiapkan makanan untuk kami. Aku menyapa ibu pagi ini, lalu setelah mendapatkan respon aku dipersilahkan untuk makan. Memang kami makan tidak bersamaan seperti orang kaya ataupun di cerita-cerita novel, kegiatan itu hanya ada di makan malam karena pagi hari kami sibuk dengan rutinitas masing-masing. Terkadang, menjadi kaya memang menyenangkan tapi menjadi sederhana juga mendapatkan keharmonisan yang tidak bisa terlupakan.

"Ibu! Aku berangkat dulu. Iin sudah menjemput ku," pergi dengan Iin setelah pamit pada ketua, dan tak lupa setelah mendapatkan uang saku.

Dengan hari-hari seperti biasanya, hampa hidup terasa, aku melangkah berat. Apa yang akan terjadi jika aku memulai jalan baru? Bisakah aku mendapatkan apa yang aku suka? Itu semua akan terjadi jika memang memiliki tekad kuat. Sedangkan aku, aku merasa, hari-hari yang aku lakukan ini hanya sebatas kesenangan dan kegiatan. Saat terik matahari redup, di ganti dengan mendung menyelimuti langit, emosi yang ada di dalam tubuh memberikan semua pertanyaan yang tak mampu ku jawab. Kekhawatiran akan masa depan.

Tentang sekolah, aku adalah anak rata-rata yang di anggap ada saat diminta. Setelah itu, di pandang sebelah mata seperti meremehkan lawan saingannya. Bergerak menawan sedikit, kritikan keras langsung tertata di mulut mereka. Puh. Rasanya sama saja saat waktu sekolah dasar dulu. Mengingat itu, enam tahun aku jalani, suka duka aku lewati hingga lulus. Tuhan memang adil. Bangku sekolah menengah pertama, aku mendapat teman yang mengerti dan saling berbagi pertolongan. Naasnya, sekarang aku sendiri lagi.

"Lofi!!"

Aku tersadar mendapatkan tepukan di bahu, "Kamu kenapa bengong, sih?" wajahnya sedikit menahan kesal. Iin menarikku masuk ke gedung, melewati gerbang utama sekolah. Langkah kaki kami sejajar melewati koridor, udara hangat lebih terasa ketika masih sedikit murid yang datang. Wajah cantik penuh senyum Iin menoleh padaku, mengulang lagi pertanyaan yang tadi belum terjawab. Hanya menggelengkan kepalaku membuatnya mengangguk, sampai kami akhirnya berpisah ke masing-masing kelas.

Mengingat aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Iin itu hal biasa bagi kami. Karena saat aku melamun dan Iin bertanya selalu aku jawab sama. Terkadang, aku terpaksa berbohong menyembunyikan rasa gelisah yang aku juga tidak tahu kenapa. "Hal random melintas di pikiran, itu tidaklah penting." Jawaban sama saat melamun ketika di tanya. Siapapun itu, aku merasa percuma jika cerita sebenarnya. Karena cukup waktu SD menggores hati kecilku, menyembunyikan rasa itu ke laut dalam, terpendam pulau.

Karena aku masih sendiri di kelas, aku bangkit dari kursi menuju meja guru berniat merapikan dan membersihkan meja. Dokumen, berbagai mapel buku dan surat izin juga masih banyak di meja. Setelah kegiatan itu, aku beralih menggosok papan tulis dan cek kondisi spidol.

Kelas semakin ramai dengan kedatangan teman-teman sekelas. Suara langkah kaki dan tawa riang mengisi udara, menandakan pelajaran akan segera dimulai setelah bel berbunyi. Tak lama, suara bel berbunyi keras, dan suasana kelas pun berubah menjadi lebih tenang saat guru masuk. Waktu berlalu cepat, dan begitu pergantian jam pelajaran tiba, kami menunggu guru berikutnya. Namun, menit demi menit berlalu tanpa ada tanda-tanda kedatangan guru yang baru. Tiba-tiba, suasana kelas yang semula tenang mulai riuh, ada beberapa teman yang berbicara dengan suara tinggi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang