03.Hujan Sore

18 5 5
                                    

Janlup vote! Kalo ga mau ya komen kek, kalo komen males ya di share cerita ini ke teman/sodara yg hobinya baca.

Btw ini terakhir, nama akun LARA MOLU di ganti jadi RAZUOO28 ya ges.
Jangan jadi pembaca gelap. Semoga esok hari banyak kebahagiaan datang ke kalian.
Selamat membaca!

***

Akhir hari belajar setelah mendengar bel pulang. Hari ini bukannya aku pulang bersantai tapi harus tetap di sekolah melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler fotografer. Menghela napas, aku menuju kelas Iin. Melihat langit mendung, seperti akan turun hujan. Jika cuaca seperti ini, aku pikir mengambil beberapa gambar sekolah akan indah, apalagi saat hujan akan terlihat sejuk.

"Halo, Fi!" Iin melambai tangan ke arahku. Aku mendekat dan salam sahabat. Kami menuju ke kelas dua belas akutansi, ruang kumpul ekstrakulikuler fotografer. Untung saja ruangan itu letaknya tidak di atas, aku juga malas melewati tangga. Itu melelahkan. "Bagaimana harimu?" Aku bertanya, sepertinya hari Iin benar-benar sempurna kali ini. Dari tadi pagi, aura kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Sangat baik. Bagaimana dengan mu?" menyusun kata untuk menjawab, tersenyum tipis dan aku berkata, "Alhamdulillah memumetkan pikiran."

Iin tertawa tidak lupa memukul salah satu lenganku. Benar sekali jika hari ini kepalaku pusing karena kebanyakan mikir. "Apa yang membuat harimu sangat baik?" Aku menatap Iin. Kenapa dia senyum-senyum sendiri? Apakah hari ini ada yang mengungkapkan perasaan pada Iin dan dia menerimanya, atau mungkin hari ini Iin uang sakunya dinaikkan. Lihatlah, dia masih senyum-senyum tidak jelas. Aku menyenggol pelan lengan nya dan memasang wajah seakan bertanya-tanya. "Keberuntungan menghampiri ku dan dari kemarin Fadil mendekati ku." Jawab Iin dari sekian lamanya senyum-senyum. Nah kan, ini sih ada yang berusaha mengejar hati Iin. Sepertinya Fadil berhasil meluluhkan hatinya. Iin kan anaknya bodo amat yang penting tidak ada yang memalukan dirinya.

Eh, Fadil? Orang yang bernama Fadil banyak, aku pikir ini teman kelasku. "Fadil siapa, In?" Aku bertanya untuk memastikan tebakanku benar. Melangkah masuk ke ruangan, beberapa sudah datang. Kami dapat sambutan tawa yang menggelegar, entah menertawakan apa. "Itu lho, teman kelasmu." Iin tersenyum malu, matanya berusaha menghindari tatapan ku. Setelah mendapatkan duduk aku berdehem dan pura-pura batuk, "Cie-cie, bentar lagi PJ cair nih." Wajahnya menatapku kesal dengan rona merah lalu terdengar tawa kecil Iin. "Apa sih, seperti nya tidak ada deh, Fi." Aku menggeleng kepala, memang benar jika cinta itu membuat kebahagiaan yang tak terhingga. Tapi hei, aku sering membaca novel katanya cinta memang indah sekaligus mematikan. Benar tidak nya aku tidak pernah merasakan itu. Aku hanya pernah merasakan sakitnya mencintai dalam diam. Setelah menunggu yang lain dan menunggu kakak pembimbing, kini pembukaan di mulai. Terhitung yang mengikuti ekstrakulikuler fotografer ada dua puluh dua siswi dan dua puluh empat siswa. Jumlah keseluruhan ada empat puluh enam peserta kelas sepuluh juga sebelas.
"Oke guys, sekarang langsung praktek. Ambil beberapa foto yang bagus ya!" seru kakak pembimbing. "Banyak juga boleh. Sangat boleh malah," sambungnya.

Di sore yang mendung, suasana di sekolah terasa sejuk dan tenang. Awan kelabu menggantung rendah, seolah menambahkan nuansa misterius pada lapangan yang biasa ramai anak OSIS dan beberapa ekstra lain hari ini. Termasuk basket, mereka setiap hari latihan agar unggul dalam lomba mendatang. Aku dengan kamera di tangan, berjalan perlahan di antara pepohonan, menangkap momen-momen kecil yang sering terlewatkan. Cahaya lembut yang temaram memantulkan keindahan dunia sekitar, sementara desiran daun gugur seakan mengalun lembut, mengiringi langkahku. Setiap jepretan menciptakan cerita, mengabadikan keindahan yang hanya bisa dirasakan di sore mendung yang damai ini.

Mataku tertuju pada sosok yang selalu mencuri perhatian. Inisiatif aku mengambil foto Iyan. Mengarahkan kepada nya saat melakukan shooting. Saat bola berhasil masuk terlihat tawa segar terdengar dari indra pendengaran. Saat hujan mulai turun, tetesan air membasahi tanah, menciptakan suasana yang magis. Namun, aku tak ingin melewatkan momen ini. Dengan kamera di tangan, aku mengatur fokus, menangkap setiap gerakan, setiap tawa yang terdengar di antara suara dribbling bola.

Hujan yang turun semakin deras, tetapi aku tidak peduli, dan mengambil beberapa foto asal. Aku melihat bagaimana air menetes dari rambut, "Kamu tampak lebih menawan, Fi!" teriak Iin di sudut lapangan. Dia juga tidak memperdulikan hujan, mengarahkan kameranya ke seseorang. Ah, Fadil salah tingkah saat dirinya di sorot kamera. Setiap jepretan yang aku ambil mengabadikan bukan hanya permainan, tetapi juga keindahan sederhana dari kebersamaan dan keceriaan di lapangan. Dalam hati, aku berharap momen ini akan selalu tersimpan, sebagai kenangan yang tak terlupakan di antara rintik hujan yang menari.

"Puas sekali ya, Fi. Aku rasa ini puncak kebahagiaan ku." Iin dengan senyum mengembang masih setia di tangannya membawa benda pipih, layar yang tercetak jelas gambar Fadil. "Hus, itu bukan puncak kebahagiaan, tapi ini hadiah dari tuhan." Tutur ku pada Iin. Dia bilang seperti itu seakan besok akan ada masalah kembali, aku meralat kalimat Iin tadi. Hujan tiba-tiba tanpa memberitahuku. Untung saja aku tadi tidak ganti baju, masih menggunakan baju olahraga, dan aku mengganti abu-pitih setelah puas hujan-hujanan. Kami keluar gerbang dan menyebrang. Rintik hujan masih menetes lembut, tidak sederas tadi. Sekarang tujuan jalan kaki kami ke halte.

Setiap langkah ada cerita, saat cerita ada tawa. Bahagia itu sederhana. Kami tertawa saat menceritakan pengalaman lucu masing-masing. Momen ini mengingatku pada sahabat baik ku, Ista dan Arfani. Aku sangat rindu pada mereka, sudah lama saat pindah ke Surabaya aku tidak pernah ikut Ayah dan Ibu ke kampung. Benar saja, setiap pertemuan akan ada perpisahan. Setelah perpisahan entah Tuhan akan mempertemukan kembali atau tidak di masa depan. Aku berharap, aku dan dua sahabatku itu bertemu di masa depan dengan kesuksesan masing-masing dalam bidang keahlian, Tuhan. Semoga, semoga saja. Karena kalau ingin bahagia itu harus menerima kesedihan nya. Ibarat roda berputar, seperti kebahagiaan dan kesedihan.

Entah kenapa meskipun Iin hanya sekedar teman biasa namun seperti sahabat. Iin selalu terbuka denganku. Tanpa diminta pun, Iin sudah aku anggap sebagai sahabat. Kami tertawa lagi ketika ada dua anak kecil laki-laki membawa satu tusuk cilok di masing-masing tangan. Aku dan Iin dudul di bangku halte sesekali melanjutkan cerita pengalaman lucu. "Orang tuanya tega sekali membiarkan anak-anak kecil nya keluyuran sore begini, hujan lagi." Komentar Iin gemas. Pipi tembem dan bentuk mata yang indah, mereka kembar. "Iya, ini sudah sore menjelang malam lho." Menjawab komentar Iin dengan rasa khawatir. Apa orang tuanya tidak tahu atau mungkin memang mereka diperbolehkan? Takutnya terjadi hal yang tidak di inginkan. Tapi semoga tidak.

Dua anak kecil itu berjalan mengarah ke halte. Kami menahan tawa sebisanya saat satu cilok dari satu anak kembar itu jatuh ketika akan masuk mulutnya. Kejadian yang harus di foto, tapi itu berlalu cepat. Melihat wajah kesal dari pemilik cilok jatuh, kami saling memencet hidung agar tidak kelepasan tertawa. "Coba tebak, mereka kelas berapa, Fi?" Aku menoleh ke Iin, sedikit berpikir, "Aku yakin nya kelas satu." Sambung Iin. Menurut dari tubuh kecilnya dan wajahnya yang tampan, eh maksudnya wajahnya yang sudah mengerti aku menjawab, "Sepertinya kelas dua, In."

"Dek-dek! Kelas berapa kalian?" melihat gerakan Iin berdiri dan segera bertanya ke dua anak laki-laki saat melewati halte. Si anak cilok jatuh memasang wajah jutek. "Kami kelas empat kak." Aku tersentak samar. Iin mengalihkan pandangan padaku, mulutnya menganga. "Ini deh lima ribu buat kamu." Iin memberikan uang ke anak di depannya, "Uang lima ribu kamu, Fi, mana."

"Lah kok ...." Iin nyengir, mengarahkan tangannya ke hadapanku. Menghela napas, aku mengeluarkan uang lima ribu dan memberikan ke salah satu anak kembar yang belum kebagian uang. Mereka berterimakasih, wajah yang tadi kesal kini hilang. Apalagi si anak cilok jatuh, sepertinya seribu persen hilang kekesalannya. Aku kembali duduk di bangku halte. "Huft, aku kangen teman SMP dulu deh, Fi." Ujar Iin setelah menduduki bangku. Aku melihat jalanan, "Kita sama. Eh, Ibu kamu lama juga ya jemputnya." Masih melihat jalanan, rintik hujan masih ada menghiasi udara.

"Iya, kok lama ...." Jawaban Iin. Aku nebeng pulang bersama Iin, menunggu jemputan Ibunya. Kebetulan atau tidak, rumah kami searah, bedanya rumahku di perumahan 2z BlauraZa. Aku mengalihkan pembicaraan, agar sore ini penuh dengan canda gurau. Melupakan semua kesedihan. Iin mulai bercerita tentang kehidupan lucu yang pernah dialami nya, tidak bohong jika cerita itu memang lucu. Tawa kami bergema dalam keheningan sore. Berbagi cerita, menghidupkan suasana dengan candaan yang mengalir bebas. Perhatianku tertarik pada dua motor Ale dan Agra yang melintas. Keadaan mereka basah kuyup. Rambut berantakan dan seragam abu-putih yang lusuh. Tatapanku bertemu dengan Ale, dan dalam sekejap, ada keheningan yang menegangkan. Sorot mata Ale menyiratkan perasaan yang mendalam, sulit untuk dijelaskan, seolah ada sebuah cerita hanya aku dan Ale yang bisa merasakannya.

***

Kata-kata hari ini ...
Tetap sadar diri tapi gak boleh iri.
👍😂🌱

Hujan MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang