MAYIT

23 2 0
                                    

Sudah jam 8 pagi, Bu Utami belum datang ke warung. Bu Tina cukup kuwalahan di Dapur ditemani 1 rekan kerja nya saja. Karena Bu Utami termasuk orang yang ulet dalam bekerja. Warung hari ini ramai, normal. Pak Robi sudah sedikit bersantai di bagian kasir sambil melihat para pelanggannya makan dengan lahap.

Bu Tina menghampiri sang suami, menanyakan keberadaan Bu Utami, siapa tahu dia izin ke Pak Robi,
"Wis yahmene, Utami durung teko loh, Pak."

"Loh? Iyo, ta? Bapak kiro wis teko liwat mburi. Gak ijin neng Ibuk ta?"

Menggelengkan kepala,
"Oraa."

"Coba telpon wae, sopo ngerti tangine awan, Buk."

Bu Tina mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi nomor Bu Utami. Beberapa kali tidak tersambung,
"Opo sakit yo, Pak? Wingi awak e rodo lemes ambek panas."

"Rupane, Buk. Gak popo wis jarno. Mene kan melbu dek e."

Bu Tina berfikir seperti itu, kemungkinan dia tidak enak badan karena kecapekan kemarin benar-benar full pesanan, dirinya pun ikut merasakan kecapekan juga.

🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍

Hari ini Anya shif pagi, sehingga jam 4 sore sudah pulang. Dia sudah tidak menyibukkan diri untuk nongkrong ataupun bertemu teman-temannya. Namun, dia sudah disibukkan mengurus adiknya yang sudah 3 hari belum membaik. Keadaannya naik turun tidak pasti.

Bayu duduk bersandar di dinding kasur, badannya menggigil, mulut pucat dan mata memerah, seperti anak yang belum diberi makan seharian.

"Sampeyan mang wis maem a, Dek?"

"Wis mari, Mbak."

"Ngombe neh."

Anya memberikan segelas air putih, membantu untuk memegangi gelas,
"Wis?, penakan?,"

Bernafas panjang, melegakan diri sendiri sambil mengelus dada,
"Wis, Mbak."

Seperti ada ulat yang menggerogoti leher, beberapa kali Bayu menepuk dan menggaruk lehernya,
"Uhhukkk, uugghhh!!!"

Anya cemas sekaligus panik. Ingin mencari pertolongan namun sepi, kedua orang tua nya sibuk bekerja.

Batuknya semakin keras, hingga Bayu mengeluarkan banyak darah dari mulutnya. Lumuran darah berceceran di selimut dan lantai kamar. Kedua tangan Anya juga terkena muntahan darah Bayu.

Setelah memuntahkan darah, Bayu seketika pingsan. Tergeletak di kasur,
"Dek?, Adekkk!!!!,"

Anya mengambil hp di saku celana, menghubungi Pak Robi. Dengan suasana hati yang panik, Anya berharap sambungan telepon darinya diangkat.

"Kenopo, Nduk?,"

"Pakk!!, adek muntah getih, Pak. Saiki adek semaput. Iso balik sedhiluk nggak, Pak?,"

"Ohh, Iyo, Nak. Bapak mulih saiki."

Sambungan telepon dimatikan. Anya kembali fokus ke Bayu, mengambil air dan sapu tangan untuk membersihkan wajah Bayu yang berlumuran darah.

🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍

"Budhal o nang omah e Bu Utami, Nduk. Jumukne salep gatel, salep gatel e ibuk entek."

Anya bergegas keluar rumah menuju rumah Bu Utami. Sedangkan Bu Utami membersihkan seluruh badan Bayu dengan kompresan air hangat. Pak Robi membereskan Warung karena memutuskan untuk tutup lebih awal.

Sesampainya di rumah Bu Utami, Anya melihat disekitar, sudah tidak ada aktivitas. Lampu menyala, rumah berukuran 7x10 milik Bu Utami berwarna biru muda. Berjalan pelan, membuka pintu rumah, namun terkunci.

"Kulo nuwun, Buk. Buk Utami?," ucap Anya sambil mengetuk pintu rumah, tidak ada jawaban.

Mengetahui pintu depan dikunci, Anya mencoba masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang rumah.

"Buk Utami?,"

Ternyata pintu belakang rumah tidak terkunci, perlahan ia masuk ke dalam. Seluruh ruangan gelap, Anya mencoba mencari sakelar lampu disekitarnya. Ketemu, dan menyalakan lampu diseluruh ruangan. Sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah Bu Utami.

Membuka satu per satu ruangan, hingga membuka kamar utama. Betapa terkejutnya, ternyata Bu Utami sudah tewas bersimpah darah dengan kulit mengelupas. Selain itu, seluruh badannya terdapat cacing.

"Buk Utamiii!!!!,"

Anya syok melihat kondisi kamar Bu Utami sangat berantakan, ditambah dengan keadaan Bu Utami sendiri. Ia bergegas lari keluar rumah untuk memberitahu orang tuanya kalau Bu Utami sudah meninggal.

🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍

Setelah diberitahu Anya, Bu Tina mengajak para warga sekitar untuk membantu proses pemakaman Bu Utami. Namun jasad Bu Utami terpaksa dimakamkan keesokan harinya, karena hari ini sudah terlalu malam untuk melakukan proses pemakaman. Pak Robi tidak ikut karena harus menjaga Bayu yang masih belum sembuh.

Bu Tina melihat kondisi terakhir sahabatnya, sangat tragis. Ia tidak kuat menahan tangis karena kematian Bu Utami yang tidak wajar. Anya menghubungi keluarga dari Bu Utami, meski telat datang setidaknya mereka datang dan tahu.

"Nduk, cek en ning sebelah. Wis siap ngedusi mayit e hurung?,"

"Iyo, Buk."

Anya berjalan merunduk melewati beberapa orang yang melayat. Dilihatnya sudah siap 4 orang wanita berusia 50-60 tahunan untuk membantu proses pemandian jenazah.

"Iki ora usah di adusi piye, Bapak Ibu?. Jenazahe wis ora jangkep." Ucap salah satu bapak-bapak berpeci hitam di luar rumah.

Para wanita di bagian samping rumah hanya terdiam, tidak berani menjawab apa-apa.

Mendengar obrolan itu, Bu Tina keluar rumah,
"Seenggake jenazahe konco apikku iso kecipratan banyu rijik, Pak. Masio ora di adusi ora popo."

Bapak itu menganggukkan kepala, mengerti dengan maksud Bu Tina,
"Yowis, jenazah e digotong ning kene, diadusi titik-titik wae."

Para bapak-bapak berdiri dan membantu proses pemindahan jenazah. Meski dengan perasaan menahan mual, tapi mereka tetap baik membantu. Bagaimana tidak mual, jenazah Bu Utami sudah banyak yang habis termakan cacing.

Proses pemandian jenazah pun dimulai. Semua berjalan dengan lancar, tidak ada kendala.

🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍🐍

OMAH GETIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang