Bab 4: Saudara Ipar yang Sinis

514 28 0
                                    

Suasana di rumah itu selalu terasa berat bagi Lila—sekarang hidup dalam tubuh Rania. Bukan hanya karena tatapan dingin ibu mertuanya, tapi juga karena kehadiran Siska, saudara ipar yang selalu bersikap sinis dan licik, seperti sedang menunggu momen yang tepat untuk menyerang. Di mata Siska, Rania tidak pernah lebih dari sekadar penyusup, orang luar yang mencuri tempatnya di keluarga konglomerat ini.

Hari itu, Lila berusaha bersikap lebih tenang. Di tengah taman belakang yang luas, dia duduk di kursi rotan putih yang dikelilingi oleh bunga-bunga mawar merah muda yang mekar sempurna. Aesthetic banget, tapi sayangnya nggak menenangkan hati.

Sebelum Lila bisa menikmati suasana, terdengar suara langkah cepat mendekat. Dan ya, siapa lagi kalau bukan Siska dengan senyum sinis yang menghiasi wajahnya.

"Rania, kamu beneran sudah bangun pagi?" Siska tertawa kecil, seolah itu adalah hal yang mengejutkan. "Tumben banget, biasanya kamu tidur sampai siang."

Lila mencoba tersenyum meski sedikit tegang, "Ya, Siska. Cuma lagi pengen jalan-jalan pagi aja. It's good for the soul, you know?"

Siska melipat tangan di dada, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak percaya. "Good for the soul, huh? Dengar-dengar dari Mbok Minah, kamu katanya berubah? Wow, luar biasa. Apa yang membuat kamu tiba-tiba jadi spiritual begini?"

Nada bicaranya penuh sindiran, seperti sedang menunggu jawaban yang bisa dia jadikan bahan ejekan. Lila harus hati-hati.

"Maybe I just realized a few things about life," Lila menjawab pelan, mencoba tetap kalem. "Mungkin gue dulu terlalu fokus sama hal-hal yang nggak penting. Sekarang gue mau memperbaiki semuanya."

Siska mendengus pelan, jelas nggak terkesan. "Rania yang gue tahu nggak mungkin berubah. Kamu cuma tahu cara bikin masalah. Apa ini cuma fase 'baik-baikan' sementara supaya kamu bisa dapet lebih banyak harta dari keluarga ini?"

Lila menghela napas. Of course, Siska wouldn't believe her. Bagi Siska, Rania adalah sosok yang hanya peduli pada uang dan kekuasaan. Dan mungkin, dulu itu benar. Tapi bukan sekarang. Not anymore.

"Siska, I'm serious," Lila berusaha terdengar tulus, meski hatinya masih sedikit bergetar. "Aku beneran mau berubah. I just want peace, that's all."

Siska menatapnya tajam, bibirnya menyunggingkan senyum kecil. "Peace? Kamu tahu apa soal peace, Rania? Dulu, waktu kamu masuk ke keluarga ini, kamu menghancurkan semua kedamaian yang kita punya."

Nada bicaranya semakin tajam, seperti pisau yang menusuk perlahan tapi pasti. Lila menatapnya, berusaha mencari cara untuk meredakan situasi ini. Tapi Siska terus berbicara.

"Kamu datang ke sini, menikahi Arga tanpa cinta, cuma buat harta, dan sekarang kamu bilang kamu berubah? Kamu pikir kita semua bodoh?" Siska menyipitkan matanya, tatapannya penuh rasa curiga. "Arga mungkin bisa tertipu dengan wajah cantikmu, tapi gue enggak. Gue tahu kamu masih licik, Rania."

Lila menelan ludah. This is harder than she thought. Bagaimana dia bisa membuktikan kalau dia benar-benar berubah? Bukan cuma ke Arga, tapi ke seluruh keluarganya, terutama Siska yang sepertinya nggak akan pernah mempercayainya.

"Kamu tahu," Lila mulai, suaranya lebih tegas kali ini, "gue nggak akan marah sama kamu. Gue ngerti kenapa kamu ngerasa kayak gitu. Tapi jujur, Siska, gue udah bosen sama semua drama ini. I just want to live a peaceful life."

Siska tertawa kecil, sinis. "Peaceful? Dengan cara apa? Bikin kami semua percaya sama omong kosongmu, terus kamu ambil alih semuanya?"

Lila menghela napas panjang, berusaha sabar. Dia tahu, Siska tidak akan percaya begitu saja. But she can't give up.

"Gue nggak punya rencana jahat atau apa pun yang kamu pikirin, Siska. If anything, gue cuma mau fokus sama hidup gue sendiri sekarang. Gue nggak akan gangguin siapa-siapa lagi, apalagi rebut harta atau apapun dari kalian."

Siska terdiam sejenak, tapi senyum sinisnya tidak hilang. "Kita lihat saja, Rania. Let's see how long you can keep this act up."

Lila merasa lelah dengan semua itu. Selalu ada tekanan dari setiap arah—dari Arga, dari Ny. Arini, dan sekarang dari Siska. Tapi dia tahu, kalau dia ingin benar-benar berubah dan memperbaiki semuanya, dia harus tahan menghadapi situasi seperti ini.

"Ya, kita lihat saja," jawab Lila, suaranya pelan tapi penuh tekad.

Siska, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, berbalik dan pergi, meninggalkan Lila sendirian di taman itu.

Lila menghembuskan napas yang terasa berat. Satu tantangan lagi dihadapi, dan masih banyak yang harus dia lakukan.

"Rania yang lama mungkin udah selesai," gumam Lila pada dirinya sendiri, "tapi yang baru? I'm just getting started."

Transmigrasi Menantu KonglomeratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang