Bab 13: Rencana Bisnis Pribadi

256 12 0
                                    

Pagi itu, hujan rintik-rintik jatuh lembut di atas kaca jendela besar kamar Lila. Udara terasa sejuk, segar, seolah semesta ingin memberikan sedikit ketenangan di tengah pikirannya yang penuh. Setelah pertemuannya dengan Tari, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Keberanian. Sebuah kata yang mulai tumbuh pelan-pelan di hatinya. Keberanian untuk berdiri sendiri, untuk menunjukkan bahwa dia bisa—tidak lagi terjebak dalam bayang-bayang Rania yang dulu, ataupun ekspektasi berat dari keluarga Arga.

Lila mengambil laptop dari meja, duduk bersila di ranjang. Pandangannya tertuju pada layar yang masih kosong, tapi di benaknya, ada ribuan ide yang berputar. Kafe kecil, ide itu selalu hadir di kepalanya. Tempat yang sederhana, nyaman, di mana orang-orang bisa datang, menikmati kopi yang enak, dan merasa seperti di rumah. Sesuatu yang dia rindukan, sesuatu yang bisa dia bangun dengan tangan sendiri, tanpa harus bergantung pada siapa pun.

Pintu kamar terbuka pelan. Arga masuk, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Wajahnya masih tenang seperti biasa, tapi Lila bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam cara dia memandangnya belakangan ini—lebih lembut, lebih perhatian.

"Kamu sibuk?" tanya Arga, berjalan mendekati tempat tidur.

Lila menutup laptopnya, tersenyum tipis. "Enggak, cuma lagi mikir."

"Mikir apa?" Arga duduk di tepi ranjang, tatapannya tertuju padanya. Ada rasa ingin tahu yang tulus di matanya.

Lila menggigit bibirnya sebentar, mencoba merangkai kata-kata. "Aku mikir soal bisnis sendiri."

Alis Arga terangkat, jelas terkejut. "Bisnis sendiri?"

Lila mengangguk, merasa sedikit gugup. "Iya. Aku tahu selama ini aku nggak pernah cocok sama bisnis keluarga besar kamu. Kayaknya aku lebih pengen mulai sesuatu yang kecil, yang aku bisa bangun sendiri."

Arga terdiam sejenak, jelas masih mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Apa yang kamu pikirin?"

Lila menghela napas, memandang jendela yang dihiasi butiran hujan. "Aku pengen buka kafe kecil. Tempat yang sederhana, tapi nyaman. Di mana orang bisa datang, kerja, atau sekadar nongkrong sambil minum kopi."

Arga menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kafe? Kamu yakin?"

Lila mengangguk, kali ini lebih tegas. "Iya, aku yakin. Ini bukan sesuatu yang besar atau glamor, tapi aku selalu suka suasana kafe. Dan aku pengen bangun sesuatu yang bener-bener aku kontrol sendiri."

"Dan kenapa tiba-tiba kepikiran ini?" tanya Arga, nadanya tidak menghakimi, hanya penuh rasa penasaran.

"Karena aku sadar, Arga," Lila memandangnya dalam-dalam, "aku nggak bisa terus-terusan mencoba cocok di dunia kalian. Aku harus punya sesuatu yang aku bisa pegang sendiri. Kalau aku terus memaksa masuk ke dunia bisnis besar yang nggak pernah aku pahami, aku cuma akan terus gagal."

Arga tersenyum tipis, sedikit menunduk. "Kamu tahu kalau keluarga besar nggak akan melihat ini sebagai sesuatu yang serius, kan?"

Lila tertawa kecil, mengerti betul maksud Arga. "Iya, aku tahu. Mereka pasti bakal anggap remeh, ngerasa ini cuma proyek main-main. Tapi aku nggak peduli. Aku pengen buktiin kalau aku bisa."

Sejenak keheningan menyelimuti mereka berdua. Lila tahu bahwa keputusan ini bukanlah sesuatu yang akan dipuji oleh Ny. Arini, Siska, atau bahkan keluarga besar lainnya. Mereka semua terbiasa dengan bisnis besar, perusahaan konglomerat, dan kekuasaan. Tapi ini adalah sesuatu yang berbeda—sesuatu yang sangat dia butuhkan.

"Kalau itu yang kamu inginkan, aku akan dukung," suara Arga tiba-tiba terdengar, lembut tapi penuh kejujuran.

Lila menatapnya, tak percaya apa yang baru saja dia dengar. "Kamu... serius?"

Arga mengangguk. "Iya, Lila. Kalau ini yang bikin kamu bahagia, aku nggak akan menahanmu. Aku tahu rasanya mencoba memaksakan diri di tempat yang salah. Mungkin kamu memang butuh sesuatu yang kamu bisa bangun sendiri."

Hati Lila terasa hangat. Untuk pertama kalinya, Arga benar-benar mendukung mimpinya tanpa ada nada skeptis atau keraguan. "Terima kasih, Arga. Ini bener-bener berarti buat aku."

Arga tersenyum tipis, lalu berdiri dari tempat tidur. "Aku juga punya kenalan beberapa pemasok kopi kalau kamu butuh bantuan. Aku akan kasih tahu mereka buat hubungi kamu."

Lila tertawa pelan, merasa lebih ringan. "Iya, aku bakal butuh itu."

Setelah Arga keluar dari kamar, Lila kembali membuka laptopnya, jari-jarinya mulai mengetik ide-ide yang sudah lama ia simpan. Mulai dari konsep interior, suasana yang ingin ia ciptakan, hingga menu kopi yang sederhana tapi autentik. Satu langkah kecil menuju mimpinya sendiri.

Dia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, terutama dengan keluarga besar yang mungkin akan terus memandang rendah keputusannya. Tapi kali ini, Lila tidak lagi merasa takut. Dengan dukungan Arga dan keberanian yang mulai tumbuh di dalam dirinya, dia siap menghadapi apa pun.

Dan kali ini, dia tidak akan menyerah.

Transmigrasi Menantu KonglomeratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang