Bab 18: Masalah dengan Ibu Mertua

183 10 1
                                    

Langit Jakarta sore itu tampak kelabu, seolah menyerap semua sinar matahari yang tersisa. Di dalam ruang keluarga rumah Arga, suasana juga terasa lebih dingin dari biasanya, meski tidak ada hujan yang turun. Lila duduk di salah satu sofa besar berlapis beludru, menatap Ny. Arini yang duduk di seberangnya dengan ekspresi serius. Di tangannya, Ny. Arini memegang secarik kertas—rencana bisnis awal kafe Lila yang tak sengaja dia temukan di ruang kerja Arga.

"Jadi, kamu memilih untuk jalan sendiri?" Suara Ny. Arini terdengar tegas, meski ada nada halus yang tertahan di ujungnya—perasaan tersinggung yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan. Matanya yang tajam menatap Lila, seolah mencoba membaca niat tersembunyi dari menantunya.

Lila menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang terasa lebih cepat. "Iya, Bu. Aku pikir ini yang terbaik buat aku. Aku pengen coba bangun usaha kecil yang bisa aku kelola sendiri."

Ny. Arini menghela napas pelan, tapi pandangannya tidak beralih. Ada sesuatu di dalam tatapannya yang membuat Lila merasa semakin tidak nyaman. "Lila, kamu tahu kalau keluarga ini punya banyak pengalaman dalam membangun bisnis. Kalau kamu mau, kamu bisa dapatkan semua nasihat dan bantuan dari aku. Tapi kenapa kamu malah memilih untuk... mengabaikan semua itu?"

Lila menundukkan kepala sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Dia tidak ingin menyakiti perasaan ibu mertuanya, tapi dia juga tahu, ini adalah saat yang tepat untuk berdiri di atas prinsipnya. "Bukan aku nggak menghargai bantuan Ibu," jawab Lila akhirnya, dengan nada lembut tapi tegas. "Aku cuma... pengen membuktikan ke diri sendiri kalau aku bisa melakukannya. Kafe ini adalah sesuatu yang aku bangun dari awal, dengan visi aku sendiri. Aku ingin lihat sejauh apa aku bisa tanpa bergantung pada orang lain."

Ny. Arini memiringkan kepala sedikit, bibirnya mengerut tipis. "Kamu pikir aku tidak bisa membantu mewujudkan visi kamu? Aku tahu kamu punya ide-ide yang bagus, tapi kamu harus mengerti, Lila. Bisnis itu bukan cuma soal mimpi, tapi juga soal pengalaman, strategi, dan kerja keras. Kamu perlu bimbingan."

Lila tersenyum kecil, tapi di balik senyum itu ada ketegasan yang baru. "Aku paham, Bu. Dan aku sangat menghargai semua pengalaman Ibu. Tapi mungkin, kali ini aku ingin belajar dari kesalahan dan keberhasilanku sendiri. Aku nggak pengen hanya diingat sebagai menantu yang ikut di balik nama besar keluarga. Aku pengen punya sesuatu yang bisa aku sebut sebagai usahaku sendiri."

Ny. Arini terdiam sejenak, menatap Lila dengan sorot mata yang penuh perhitungan. Lila tahu, di balik keangkuhan dan wibawanya, Ny. Arini merasa terluka—seolah keinginannya untuk membantu dianggap remeh. Tapi Lila tidak bisa mundur sekarang. Ini adalah mimpinya, dan dia tahu dia harus memperjuangkannya meski itu berarti mengecewakan orang-orang yang mengharapkan dirinya mengikuti arus yang ada.

"Aku mengerti," akhirnya Ny. Arini berkata, tapi suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya. "Tapi jangan berharap aku akan selalu mendukung keputusanmu yang sembrono ini, Lila. Aku tidak akan membantu ketika kamu akhirnya jatuh."

Kata-kata itu terasa seperti pisau tajam yang menusuk perlahan di hati Lila, tapi dia mencoba tetap teguh. Dia tahu, jalan yang dipilihnya bukanlah jalan yang mudah. Tapi dia lebih baik jatuh karena kesalahannya sendiri daripada harus hidup dengan penyesalan karena tidak pernah mencoba.

"Terima kasih, Bu, atas pengertiannya," Lila berkata pelan, meski suaranya sedikit bergetar. "Aku menghargai nasihat Ibu. Tapi, untuk kali ini, izinkan aku memilih jalan ini sendiri."

Ny. Arini bangkit dari kursinya, merapikan ujung bajunya yang elegan. "Kita lihat nanti, Lila. Jalan ini tidak mudah, dan kamu mungkin akan menyesali keputusanmu. Tapi aku tidak akan memaksa kamu untuk berubah pikiran."

Sebelum pergi meninggalkan ruang tamu, Ny. Arini menatap Lila untuk terakhir kalinya, sorot matanya tajam seperti ingin mengingatkan bahwa ia masih memegang kendali dalam keluarga ini. Lila hanya bisa menatap balik dengan tenang, meski hatinya terasa berat.

Ketika Ny. Arini menghilang di balik pintu, Lila menyandarkan tubuhnya di sofa, menarik napas panjang. Dia tahu bahwa keputusan ini membuat hubungan mereka semakin renggang, dan itu membuat dadanya terasa sesak. Tapi di sisi lain, dia juga merasakan beban yang sedikit terangkat. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar memilih jalannya sendiri tanpa merasa perlu memenuhi ekspektasi siapa pun.

Lila meraih laptopnya, menatap kembali rencana-rencana untuk kafe yang ia tulis dengan penuh harapan. Dia tahu, dia harus siap menghadapi segala risikonya. Tapi kali ini, dia tidak akan membiarkan rasa takut menghentikannya.

Di luar sana, hujan mulai turun dengan deras, membasahi jalanan Jakarta yang sibuk. Tapi di dalam hati Lila, ada secercah harapan yang tetap menyala, meski tertutup oleh awan ketidakpastian.

Dan dia tahu, tak peduli seberapa dingin sambutan dari Ny. Arini, dia akan terus berjalan. Karena mimpinya lebih besar daripada rasa takutnya.

Transmigrasi Menantu KonglomeratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang