Bab 15: Keluarga Besar dan Dinamika Kekuasaan

274 14 1
                                    

Suasana di ruang keluarga rumah keluarga Arga sore itu terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun AC ruangan disetel pada suhu yang nyaman. Di bawah lampu gantung kristal, Lila duduk di salah satu sofa besar, memandangi pemandangan Jakarta dari balik jendela besar yang menjulang. Di seberangnya, Ny. Arini duduk anggun, memeriksa berkas-berkas di tangannya, sementara Siska dan beberapa sepupu Arga berkumpul di sekitar meja, sibuk berdiskusi tentang proyek-proyek bisnis keluarga.

Lila hanya mendengarkan dari kejauhan. Suaranya tak banyak di ruang ini, meskipun ia tahu sebagian besar mata diam-diam mengawasinya. Dinamika kekuasaan di keluarga ini terasa begitu nyata, terutama dengan kehadiran Siska yang selalu mendominasi pembicaraan, seolah ingin memastikan posisinya tetap yang terdepan. Siska, dengan tatapannya yang selalu penuh perhitungan, tak pernah melewatkan kesempatan untuk memperlihatkan bahwa dia adalah pewaris kekuatan keluarga yang sebenarnya.

"Aku pikir, divisi properti perlu dipikirkan lagi," ucap Siska dengan nada percaya diri, menatap salah satu sepupu Arga, Rayhan, yang tampak setuju dengan setiap kata yang keluar dari mulut Siska. "Kita harus lebih fokus pada proyek pembangunan apartemen di pusat kota. Kalau nggak, kita bakal tertinggal."

Rayhan, seorang pria muda dengan setelan jas rapi, mengangguk cepat. "Bener, Sis. Aku juga setuju soal itu. Proyek ini harus segera dijalankan sebelum kompetitor melangkah lebih jauh."

Lila memperhatikan cara mereka berbicara. Siska dan Rayhan selalu terlihat seperti dua orang yang sangat berambisi. Mereka selalu sepakat tentang hal-hal besar, terutama soal bisnis keluarga. Tidak ada ruang untuk keraguan, apalagi keberpihakan pada orang luar seperti dirinya. Di keluarga ini, kekuasaan berarti segalanya. Dan Lila, yang mencoba menempuh jalannya sendiri dengan kafe kecil yang ia impikan, jelas bukan bagian dari permainan ini.

Siska menatap Lila sekilas, senyum liciknya terbit. "Rania, kamu nggak ikut diskusi soal proyek ini? Biasanya kamu paling semangat kalau urusannya soal... bisnis keluarga."

Lila tersenyum tipis, mencoba tetap tenang. Dia tahu apa yang Siska coba lakukan—mempermalukannya di depan yang lain, membuatnya terlihat tak relevan. "Aku nggak terlalu banyak terlibat sekarang, Sis. Lagi fokus sama usaha kafe aku."

Rayhan tertawa kecil, seolah merasa komentar itu lucu. "Kafe, ya? Kamu yakin itu lebih penting daripada bisnis miliaran keluarga ini?"

Siska ikut tertawa pelan, matanya menyipit penuh cemooh. "Kamu bener-bener berubah, Rania. Dari yang selalu ikut campur urusan keluarga, sekarang cuma pengen buka kafe kecil?"

Lila menahan napas, tahu bahwa percakapan ini bukan tentang bisnis semata. Ini tentang kekuasaan, tentang bagaimana Siska dan Rayhan melihatnya sebagai ancaman yang dulu selalu mencoba mengambil bagian dari kue besar ini. Tapi sekarang, mereka merasa nyaman—seolah-olah dengan Lila yang 'mundur', mereka punya lebih banyak ruang untuk memainkan permainan mereka.

"Aku cuma pengen bangun sesuatu yang aku cintai, Sis," jawab Lila lembut, meski hatinya sedikit terluka. "Aku tahu, mungkin di mata kamu nggak penting, tapi buat aku, ini langkah besar."

Siska mengangkat bahu, seolah mengabaikan jawabannya. "Terserah. Tapi jangan heran kalau nanti kamu ketinggalan jauh dari kami."

Rayhan menimpali dengan senyum mengejek, "Bener, Sis. Kalau Rania nggak mau ikut ambil bagian, mungkin ini waktu yang tepat buat kita ambil alih lebih banyak keputusan. Arga juga pasti setuju."

Lila merasakan dadanya sedikit sesak, tapi dia tahu ini bukan saatnya untuk terpengaruh. Ia memutuskan untuk menatap ke luar jendela lagi, mencoba menjauhkan diri dari percakapan penuh racun itu. Di dalam hati, ia merasa sedih, tapi juga lebih yakin bahwa pilihannya sudah benar. Dunia kekuasaan dan ambisi ini bukanlah tempatnya. Dia ingin hidup dengan tenang, bukan tenggelam dalam permainan kekuatan yang hanya membawa ketegangan dan keraguan.

Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar mendekat. Arga masuk ke dalam ruangan dengan wajah serius, tetapi ada kilatan lembut di matanya saat melihat Lila. Dia tahu percakapan ini mungkin tidak nyaman untuk istrinya, dan dia berjalan mendekat, mengambil tempat di sampingnya.

"Diskusi apa hari ini?" tanya Arga, tatapannya pindah ke Siska dan Rayhan.

Siska tersenyum manis, seolah menyembunyikan sinis yang baru saja keluar dari bibirnya. "Kita cuma ngomongin soal proyek properti, Arga. Rania juga bilang dia nggak tertarik lagi, jadi mungkin kita bisa lebih banyak mengambil keputusan sendiri."

Arga menatap Lila sebentar, lalu mengangguk. "Kalau Lila memang lebih fokus ke bisnisnya sendiri, itu pilihan dia. Tapi jangan kira itu berarti kalian bisa semena-mena ambil keputusan tanpa persetujuan."

Siska tersenyum tipis, tapi ada kilatan tajam di baliknya. "Tentu, Arga. Kita semua di sini kan mau yang terbaik buat keluarga."

Lila merasakan genggaman tangan Arga yang perlahan menyentuh tangannya di bawah meja, memberikan rasa nyaman yang tak terlihat oleh yang lain. Tatapan Siska dan Rayhan kembali sibuk membahas proyek mereka, tapi Lila tahu permainan ini masih jauh dari selesai.

Ini bukan tentang siapa yang menang sekarang, pikirnya. Ini tentang bertahan dengan apa yang kamu percayai.

Dan untuk Lila, kemenangan bukanlah soal siapa yang punya kuasa lebih. Kemenangan adalah ketika dia bisa berdiri tegak dengan mimpinya sendiri, jauh dari permainan licik ini, dan tetap menjadi dirinya.

Transmigrasi Menantu KonglomeratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang