Bab 14: Ny. Arini Mulai Merasa Ada yang Berbeda

280 10 0
                                    

Matahari sore mulai meredup, memandikan ruang tamu keluarga Arga dalam semburat cahaya keemasan yang lembut. Lila duduk di sofa besar, laptop terbuka di pangkuannya, tangannya sibuk mengetik beberapa konsep untuk kafe yang ingin ia bangun. Pikiran Lila dipenuhi oleh detail-detail kecil yang membuat hatinya hangat—suasana hangat, kopi nikmat, dan tempat yang akan menjadi pelarian dari kesibukan kota.

Namun, suasana damai itu tiba-tiba terasa berubah ketika pintu terbuka. Ny. Arini masuk ke dalam ruangan dengan langkah-langkah anggun tapi tegas, seperti seorang ratu yang menginspeksi kerajaannya. Wajahnya tetap sekuat biasa, tapi tatapan matanya kali ini... berbeda. Ada sesuatu di balik sorotannya yang membuat Lila sedikit tegang.

"Lila," panggil Ny. Arini, nada suaranya halus namun penuh kekuatan.

Lila menoleh cepat, tersenyum meski ada sedikit ketegangan di dadanya. "Iya, Bu. Ada apa?"

Ny. Arini duduk di kursi berlapis sutra di depan Lila, melipat tangan di pangkuannya. Wajahnya tak berubah, namun ada kilatan di matanya yang penuh dengan pengamatan. "Akhir-akhir ini, saya melihat kamu... sibuk dengan sesuatu. Apa yang sedang kamu kerjakan?"

Lila menelan ludah. Pertanyaan sederhana, tapi diucapkan dengan nada yang membuatnya seperti sedang diinterogasi. "Aku lagi coba bikin konsep untuk kafe, Bu," jawab Lila pelan, sambil meletakkan laptop di meja. "Aku mau buka usaha kecil."

Ny. Arini mengangkat alisnya sedikit, ekspresi wajahnya tetap tenang, meskipun matanya memancarkan rasa ingin tahu yang lebih dalam. "Kafe?" ulangnya, dengan nada yang sulit diartikan. "Sejak kapan kamu tertarik untuk menjalankan usaha sendiri, Lila?"

Lila tersenyum tipis, meski di dalam hatinya ada sedikit keraguan. Dia tahu Ny. Arini bukan orang yang mudah diyakinkan. "Aku ngerasa nggak cocok sama dunia bisnis keluarga, Bu. Jadi, aku pikir, kenapa nggak coba sesuatu yang lebih sesuai sama passion aku. Aku selalu suka suasana kafe, jadi... kenapa nggak?"

Ny. Arini diam sejenak, memandang Lila dengan tatapan yang tajam, seolah sedang menilai setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Hmm, menarik," gumamnya. "Tapi, kamu yakin ini bukan sekadar... pelarian?"

Lila tersentak, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Pelarian?" ulangnya, bingung.

Ny. Arini menyandarkan tubuhnya, matanya tak lepas dari Lila. "Selama ini, kamu selalu terlihat ambisius dengan hal-hal yang berkaitan dengan keluarga besar. Kamu dulu begitu tertarik pada kekuasaan, posisi, dan uang. Tapi sekarang tiba-tiba kamu ingin buka kafe kecil?"

Lila menelan ludah lagi, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Aku tahu dulu aku mungkin terlalu fokus pada hal-hal yang nggak penting. Tapi aku beneran berubah, Bu. Aku nggak lagi peduli sama kekuasaan atau hal-hal besar itu. Aku cuma pengen bangun sesuatu yang lebih sederhana, sesuatu yang bisa aku banggakan dengan caraku sendiri."

Ny. Arini masih terdiam, tatapannya menusuk, seperti sedang mencari kebenaran di balik setiap kata Lila. Dia tak sepenuhnya yakin, tapi ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk langsung menghakimi. Apa ini hanya bagian dari rencana licik Rania? Atau benar dia sudah berubah?

"Aneh," gumam Ny. Arini pelan, tapi cukup jelas untuk didengar oleh Lila.

"Apa yang aneh, Bu?" Lila memberanikan diri bertanya.

Ny. Arini menghela napas pelan, tatapannya tidak lagi setajam tadi, tapi lebih penuh perhitungan. "Sejak kamu menikah dengan Arga, aku selalu melihatmu sebagai seseorang yang hanya memikirkan keuntungan pribadi. Kamu tak pernah benar-benar peduli pada apa yang penting untuk keluarga ini. Tapi sekarang..." Dia berhenti sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Ada sesuatu yang berbeda dari caramu berbicara. Tapi aku belum tahu apakah ini benar-benar perubahan yang tulus, atau hanya... strategi baru."

Lila merasa darahnya naik ke kepala. Strategi baru? Dia tahu, Ny. Arini punya banyak alasan untuk tidak percaya padanya. Tapi mendengar tuduhan terselubung itu tetap membuat hatinya sedikit teriris.

"Bu, aku tahu mungkin susah untuk percaya," Lila mulai dengan suara lembut tapi mantap, "tapi aku bukan Rania yang dulu lagi. Aku nggak punya strategi apapun. Aku cuma pengen menjalani hidup yang lebih baik, lebih sederhana, dan aku nggak mau lagi terlibat dalam konflik atau drama keluarga besar."

Ny. Arini menatap Lila dalam-dalam, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan. Tapi untuk pertama kalinya, dia tidak bisa menemukan alasan kuat untuk meragukan kata-kata menantunya. Ada sesuatu yang berbeda. Dan meskipun Ny. Arini belum sepenuhnya yakin, ada perasaan bahwa mungkin, hanya mungkin, Rania—atau siapa pun dia sekarang—benar-benar berubah.

"Aku harap apa yang kamu katakan itu benar," akhirnya Ny. Arini berkata, suaranya masih tegas tapi lebih lembut dari sebelumnya. "Karena keluarga ini tidak butuh lebih banyak masalah."

Lila mengangguk pelan. "Aku ngerti, Bu. Dan aku akan buktiin kalau aku serius."

Ny. Arini berdiri, memperbaiki lipatan gaunnya dengan anggun. "Kita lihat nanti," katanya sebelum berjalan keluar dari ruang tamu, meninggalkan Lila dengan hati yang sedikit lebih lega, tapi juga lebih sadar. Perubahan ini adalah sebuah perjalanan panjang, dan dia harus siap menghadapi semua keraguan yang datang.

Namun, satu hal yang pasti, Lila tidak akan mundur. Dia sudah terlalu jauh untuk menyerah.

Transmigrasi Menantu KonglomeratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang