Bab 20: Sebuah Kemenangan Kecil

153 12 1
                                    

Matahari mulai terbenam, mewarnai langit Jakarta dengan semburat jingga dan ungu yang indah. Dari dalam kafe mungilnya, Lila memandang pemandangan itu dengan senyum kecil di wajahnya. Hari ini berbeda. Sejak pagi, ada sesuatu yang membuat hatinya terasa lebih ringan—mungkin karena percakapan dengan Arga kemarin, atau mungkin hanya karena ia merasa sedikit lebih percaya diri setelah segala tantangan yang ia hadapi.

Di sudut kafe, Dika terlihat sibuk merapikan meja-meja yang baru saja ditinggalkan pelanggan, sementara Lila duduk di belakang konter, menyusuri daftar pesanan hari itu. Hari ini lebih ramai dari biasanya—beberapa pelanggan baru datang dan tampaknya menikmati suasana cozy yang ia ciptakan di sini.

Tapi di antara semua pelanggan itu, ada satu yang membuat hari ini spesial. Bu Amelia, seorang food blogger lokal yang cukup dikenal di Jakarta, mengunjungi kafe kecilnya. Dari senyum ramahnya hingga cara dia dengan penuh perhatian mencicipi cappuccino buatan Lila, semuanya terasa seperti mimpi yang menjadi nyata.

"Lila, kamu tahu nggak kalau Bu Amelia itu biasanya picky banget soal tempat kopi?" bisik Dika dengan nada antusias saat mereka berdiri di belakang konter. "Kalau dia suka, itu berarti kamu bener-bener bikin sesuatu yang bagus!"

Lila hanya tersenyum tipis, meski di dalam hatinya ada rasa tegang yang tak bisa ia hilangkan. "Gue harap aja dia suka, Dika. Gue udah coba kasih yang terbaik."

Mereka berdua menunggu dengan harap-harap cemas saat Bu Amelia menyeruput cappuccino terakhirnya. Waktu terasa berjalan lambat ketika wanita itu akhirnya meletakkan cangkirnya dan tersenyum ke arah Lila.

"Kamu Lila, ya?" Suara Bu Amelia lembut, tapi ada kekuatan di balik setiap kata yang ia ucapkan. "Aku suka konsep kafe ini. Tempatnya nyaman, kopinya punya rasa yang autentik, dan ambience-nya pas banget buat kerja atau sekadar nongkrong santai."

Lila hampir tak percaya dengan pujian itu. Senyum kecil di wajahnya berkembang menjadi senyum lebar, dan matanya hampir berkaca-kaca. "Terima kasih banyak, Bu. Itu bener-bener berarti buat saya."

Bu Amelia mengangguk, lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya, membuka aplikasi Instagram, dan mulai mengambil beberapa foto kafe. "Aku akan review kafe kamu di akunku. Harus lebih banyak orang tahu kalau tempat ini ada, Lila. Kafe ini punya potential."

Dika yang berdiri di sampingnya menepuk bahu Lila dengan antusias. "Mbak, lo denger itu kan? Ini besar banget!"

Lila hanya bisa mengangguk, perasaannya seperti terombang-ambing antara kebahagiaan dan rasa tidak percaya. Setelah semua usaha yang ia lakukan, setelah malam-malam tanpa tidur memikirkan bagaimana cara menarik pelanggan, akhirnya ada seseorang yang memberikan pengakuan pada apa yang ia bangun. Ini mungkin cuma langkah kecil, tapi bagi Lila, ini adalah sebuah kemenangan.

Setelah Bu Amelia pergi, Lila dan Dika sibuk menyiapkan pesanan yang terus berdatangan dari pelanggan baru yang melihat Instagram story tentang kafe mereka. Lila hampir tak percaya bagaimana pengaruh satu ulasan bisa begitu besar. Hati kecilnya penuh rasa syukur—karena akhirnya, semua kerja kerasnya mulai membuahkan hasil.

Ketika malam semakin larut, pelanggan mulai berkurang, dan Lila akhirnya bisa duduk di salah satu meja dekat jendela. Ia menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di luar, merasa hangat di tengah dinginnya malam Jakarta. Dia menyesap kopi terakhirnya hari itu, membiarkan kehangatan menyelimuti tubuhnya, sementara hatinya masih dipenuhi rasa bahagia yang sederhana.

Dika mendekat, duduk di kursi di seberangnya, masih dengan senyum lebar di wajahnya. "Gila, ini kemenangan besar, Mbak. Kita pasti bakal dapet lebih banyak pelanggan."

Lila mengangguk, matanya masih terfokus pada pemandangan di luar jendela. "Iya, Dik. Ini beneran bikin gue semangat lagi."

Dika menatapnya dengan serius untuk pertama kalinya, wajahnya yang biasanya penuh canda sekarang terlihat lebih tenang. "Gue lihat gimana lo bertahan, Mbak. Lo layak dapet ini. Semua kerja keras lo kebayar."

Kata-kata itu membuat Lila tersentuh. Mungkin orang lain tidak melihat seberapa besar perjuangannya, tapi Dika, yang selalu ada di sampingnya selama kafe ini berjalan, tahu betul bagaimana ia meragukan dirinya sendiri, bagaimana ia hampir menyerah berkali-kali.

Lila mengangguk, berusaha menahan rasa haru yang tiba-tiba muncul. "Thank you, Dik. Gue bener-bener bersyukur lo ada di sini buat bantuin gue."

"Selalu, Mbak. Kita bisa bikin tempat ini jadi lebih besar lagi, percaya deh," kata Dika sambil menepuk pundaknya dengan semangat. "Sekarang waktunya buat kita bersinar."

Lila tersenyum, kali ini lebih lebar. "Iya, gue percaya."

Malam itu, ketika Lila mengunci pintu kafe setelah Dika pulang, dia menatap papan nama kecil yang menggantung di depan. "Kedai Rasa Lila", tertulis dengan huruf-huruf yang sederhana tapi penuh makna. Dan untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa namanya, dan mimpinya, akhirnya punya tempat di dunia ini.

Meski perjalanan masih panjang dan pasti akan ada banyak rintangan lain yang menunggu, Lila tahu bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan di dalam hati kecilnya, dia percaya bahwa dia bisa menghadapinya.

Transmigrasi Menantu KonglomeratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang