Bab 22: Dukungan dari Teman

61 10 1
                                    

Malam itu, Jakarta terasa lebih dingin dari biasanya. Di dalam kafe kecilnya yang sudah tutup, Lila duduk sendirian di meja dekat jendela, hanya ditemani oleh suara hujan yang menari di atas atap. Cangkir kopi yang mulai dingin ada di depannya, tapi pikirannya melayang jauh, kembali ke percakapan yang ia alami dengan Ny. Arini dan seluruh keluarga besar Arga tadi malam. Tawaran mereka untuk kembali terlibat di bisnis keluarga masih terngiang-ngiang di telinganya, seperti gema yang tak mau hilang.

Apa gue benar-benar harus kembali?

Di satu sisi, dia tahu masalah yang dihadapi keluarga ini serius. Tapi di sisi lain, dia tak ingin mengorbankan mimpinya sendiri. Dia merasa lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Seperti beban yang semakin menumpuk di dadanya tanpa ada tempat untuk dilepaskan.

Pintu kafe tiba-tiba terbuka, membunyikan lonceng kecil yang menggantung di atasnya. Lila menoleh cepat, sedikit terkejut, dan melihat sosok Tari berdiri di sana dengan payung basah di tangannya. Senyuman hangat teman lamanya itu terasa seperti sinar kecil di tengah hujan deras.

"Tari?" Lila mencoba tersenyum meski jelas terlihat lelah. "Kamu kok bisa ke sini malam-malam gini? Gue bahkan belum nyalain lampu lagi."

Tari hanya mengangkat bahu sambil menutup payungnya. "Gue lewat sini tadi, liat lampu kafe kamu masih nyala dari luar. Kayaknya ada yang butuh temen ngobrol, deh." Dia tersenyum simpul, lalu mendekat dan duduk di seberang Lila. "So, what's up, Lil?"

Lila tertawa kecil, meski tawanya terdengar getir. "You know... keluarga besar lagi ada masalah besar. Mereka tiba-tiba minta gue buat balik lagi ke bisnis keluarga. Tapi gue... I don't know, gue ngerasa kayak gue udah lelah banget."

Tari mengangguk, mendengarkan dengan seksama, seperti biasa. Tari selalu tahu kapan harus mendengarkan tanpa menghakimi. "Terus, apa yang sebenarnya lo rasain, Lil? Lo pengen balik ke mereka, atau tetep jalan di kafe ini?"

Lila menggigit bibirnya, menatap keluar jendela yang dipenuhi tetesan hujan. "Gue pengen bantu mereka, gue tahu mereka butuh. Tapi gue juga ngerasa... kalau gue balik lagi, semua usaha gue di sini bakal sia-sia. Kayak... gue balik ke posisi awal, yang selalu ngikutin mereka tanpa punya suara."

Tari tersenyum tipis, lalu menyentuh tangan Lila di atas meja. "Lil, kamu tau nggak kenapa gue selalu salut sama kamu?"

Lila menatap Tari dengan bingung, mencoba menebak arah pembicaraan temannya. "Kenapa?"

"Karena kamu punya keberanian buat ninggalin comfort zone kamu dan coba sesuatu yang baru. Sesuatu yang mungkin nggak besar di mata orang lain, tapi berarti banget buat kamu," Tari menjelaskan dengan lembut, matanya penuh ketulusan. "Dan gue tahu, apapun yang lo pilih sekarang, pasti ada alasan kuat di baliknya. Tapi gue cuma mau lo inget, jangan sampai lo ngehianatin diri sendiri cuma karena merasa terpaksa."

Kata-kata itu menampar lembut hati Lila, membuat matanya terasa panas. "Kadang gue ngerasa egois, Tar. Gue cuma mikirin kafe ini, sementara mereka lagi kesulitan. Apa gue salah?"

Tari menggeleng pelan. "Lo nggak salah, Lil. Setiap orang punya hak untuk memilih jalannya sendiri. Kalau lo mau bantu, itu bagus. Tapi kalau lo cuma ngelakuin itu karena terpaksa, karena takut dianggap nggak peduli, itu bakal nyakitin lo sendiri. Dan yang paling penting, lo udah nunjukin kalau lo bisa berdiri di atas kaki sendiri. Itu nggak gampang."

Lila terdiam, memikirkan kata-kata Tari. Dia tahu, Tari benar. Selama ini, dia selalu merasa harus membuktikan sesuatu kepada keluarga besar, seolah-olah hidupnya tidak akan berarti tanpa pengakuan mereka. Tapi di sisi lain, ada mimpinya sendiri—kafe kecil yang ia bangun dengan penuh cinta dan perjuangan, yang menjadi simbol kebebasannya.

Tari menggenggam tangan Lila lebih erat, menatapnya dengan penuh kepastian. "Whatever you decide, gue selalu di sini buat support lo. Jangan takut buat pilih jalan yang bikin lo bahagia, Lil."

Lila menatap Tari dengan rasa terima kasih yang tulus. Di tengah semua keraguan dan kebingungan yang ia rasakan, kehadiran Tari memberikan rasa nyaman yang sulit ia temukan di tempat lain. Dia tahu, apapun yang terjadi, dia punya teman yang selalu ada di sampingnya.

"Thank you, Tari," bisik Lila akhirnya, suaranya hampir tenggelam dalam suara hujan di luar. "Lo nggak tahu seberapa banyak gue butuh denger ini."

Tari tersenyum lembut, lalu meraih cangkir kopi Lila dan menyesapnya pelan-pelan. "Kapanpun, Lil. And don't forget, kamu nggak sendirian."

Malam itu, di bawah derasnya hujan Jakarta, Lila merasa sedikit lebih kuat dari sebelumnya. Meski keputusannya belum pasti, dia tahu bahwa ada orang-orang yang peduli padanya—yang melihat perjuangannya dan mendukungnya tanpa syarat. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Transmigrasi Menantu KonglomeratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang