BAGIAN 25

143 25 15
                                    

***

Ruangan dingin dengan irama detak jantung adiknya menjadi teman berbicara Gilbert yang memegang lembut tangan David seperti memegang benda mudah rapuh, di usapnya dengan penuh kasih sayang surai adiknya yang sedikit lebih panjang dari biasanya.

"Kapan bangun?" Pertanyaan yang entah sudah ia tanyakan beberapa kali tak membuatnya bosan, tenggorokannya tercekat hingga kalimat yang sama yang mampu ia tanyakan untuk adiknya beberapa kali dalam satu waktu.

"Capek banget ya dek? adek udah dua hari tidur di sini, bangun dek bunda nyariin kamu, Aiden sama abang iel kesayangan kamu juga nyariin kamu terus, kakak janji kalo kamu bangun kakak akan bawa kamu buat tinggal sama bunda, dan kakak ngga akan biarin siapapun ganggu kamu."

suara monitor jantung menemani setiap kata yang terlontar dari bibi Gilbert, menceritakan kegiatannya selama KKN pada adiknya yang terpejam tenang, sedikit tersenyum, tertawa dan akhirnya ia kalah air matanya kembali mengalir membasahi pipinya, dengan suara yang bergetar Gilbert tetap melanjutkan ceritanya pada David.

***

Ansel menarik lengan Aiden agar mendapatkan perhatiannya, hari masih pagi bahkan matahari baru saja muncul ke permukaan, namun Ansel telah menunggu Aiden tak jauh dari gerbang sekolah sejak pukul lima pagi, ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk menemukan kembaranya melalui Aiden.

"Apa sih bang? lepasin!" Aiden melepas paksa tangan Ansel yang memegangi lengannya dengan kuat hingga terlepas.

"Aiden tunggu! kasih tau gue di mana David!?" Ansel kembali menariknya saat Aiden terlihat akan meninggalkannya.

"Ga tau, cari aja sendiri." Jawab Aiden lantas berbalik arah dan kembali berjalan menuju sekolahnya, namun baru dua langkah Aiden berhenti.

"Lain kali kalo punya saudara itu di jaga bukan di siksa." Ujar Aiden tanpa berbalik sedikitpun, ia lantas kembali melanjutkan langkah kakinya.

Ansel hanya mampu menatap punggung lebar Aiden yang semakin menjauh, benar seperti kata Aiden ia hanya memberi luka pada David namun apa salah jika Ansel ingin meminta maaf, Ansel sangat menyesal dan tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri sebelum ia bertemu dengan David.

Namun sekarang bukan waktunya Ansel untuk menyerah, ia segera bergegas mengambil motornya dan menuju rumah bunda Nessa, masa bodoh dengan sekolahnya, bahkan Ansel sampai lupa untuk mengabari teman-temannya.

Hanya butuh waktu lima menit untuk Ansel sampai di rumah Nessa, dengan rapi ia memarkirkan motornya di halaman yang di tumbuhi rumput Jepang.

Ia mengetuk pintu rumah dengan sopan, hingga pintu rumah terbuka menampilkan sosok wanita paruh baya dengan tangan yang penuh busa.

"Loh Ansel, kok di sini?" Tanya Nessa.

"David ada bun?" Ansel langsung pada intinya, bahkan matanya tak menatap lawan bicara, ia menelisik seisi ruangan.

"Sini masuk dulu, duduk dulu bunda mau cuci tangan." Nessa membawa Ansel memasuki rumah dengan senyuman hangatnya.

Ansel yang mengangguk dan menuju sofa usang di ruang tamu untuk menunggu Nessa selesai mencuci tangan.

Tak lama Nessa kembali dengan sekotak biskuit dan secangkir teh hangat, "Minum dulu, di makan biskuitnya, belum sarapan kan."

"David di mana bunda?" Tanya Ansel dengan pertanyaan yang masih mengarah pada hal yang sama.

"David ada, tapi ngga di rumah ini." Jawab Nessa dengan senyuman teduhnya, namun jelas dari raut wajahnya jika Nessa terlihat khawatir.

"Di mana? kasih tau Ansel bun Ansel mohon." Ansel berlutut di hadapan Nessa.

"Jangan gitu nak, jangan memohon sama bunda kayak gini, ayo bangun." Nessa membantu Ansel berdiri namun Ansel menolak.

"Ansel mohon, kasih tau Ansel di mana David."

"Nanti ya, biar nanti David yang pulang ke Ansel, bunda janji bawa David ke Ansel tapi ngga sekarang, kasih David waktu ya." Nessa memeluk Ansel yang terisak, sebenarnya ia tak tega dengan Ansel, namun Nessa telah berjanji pada Gilbert untuk tak memberitahu siapapun dimana David berada, sekaligus memberi pelajaran jika keluarga bukanlah mainan.

Ansel berakhir mengabiskan setengah harinya di rumah lama David, menelusuri kamar David yang tak banyak berubah, hanya saja sekarang lebih banyak barang-barang Aiden di kamar itu, bahkan ranjang tingkat mereka tak berubah.

Perhatian Aiden teralihkan saat melihat jejeran foto di meja belajar David, ada fotonya bersama keluarganya yang dulu saat David masih kecil, bahkan Aiden masih dalam kandungan bunda Nessa, ada foto David, Gabriel dan Aiden, dan satu foto David bersama dirinya, di raihnya foto itu dengan senyuman sendunya.

Perhatian Aiden teralihkan saat melihat jejeran foto di meja belajar David, ada fotonya bersama keluarganya yang dulu saat David masih kecil, bahkan Aiden masih dalam kandungan bunda Nessa, ada foto David, Gabriel dan Aiden, dan satu foto David be...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ternyata kita mirip ya." Ujar Aiden sembari mengusap foto itu, foto yang di ambil saat mereka belum lama berkenalan, belum tergabung dengan Aderfia dan tak pernah menyangka jika mereka adalah saudara kembar.

"Lo di mana sih Dav? kalo lo ga mau balik jadi saudara gue, balik kaya dulu Dav, balik jadi sahabat gue." Ansel teringat dulu David sangat susah ia dekati karena kepribadiannya yang introvert, berbeda dengan dirinya yang extrovert, namun akhirnya David luluh dan mereka bersahabatan hingga terbentuk Aderfia.

Suasana semakin sunyi begitu Ansel berhenti bergumam, hujan yang tiba-tiba mengguyur bumi menemani Ansel yang terisak sendirian.

***



yeorobunnnnn annyeong
bagaimana kabar?
wahh sekarang jadi jarang update ya.
mianhaeee
see u next chapter guyss
감사합니다

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rumah untuk pulang?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang