3. Kencan?

19 13 2
                                    

Ruangan senyap itu kembali aku rasakan. Rasanya untuk sekedar bernapas saja aku membutuhkan tenaga lebih dari biasanya.

Aku dimana?

Yang saat ini aku lakukan duduk bersandar dengan tangan memeluk kaki yang di tekuk. Tubuhku sudah banjir dengan keringat, bahkan jantungku berdegup kencang dengan rasa takut yang menguliti.

Suara teriakan di ikuti dengan suara pecahan, membuatku otomatis memejamkan mata.

"Sarah!"

Itu seperti suara ayah.

"Dimana kamu? Ayo ikut ayah!"

Dari celah pintu yang terbuka sedikit, aku melihat derap langkah kaki seseorang mendekat. Semakin ketakutan, membuatku enggan keluar dari persembunyian.

"Jangan bawa Sarah dalam permasalahan kita!"

Itu suara bunda.

Kini aku melihat sepasang kaki bunda, mengejar ayah dari belakang.

Mereka berdua masuk ke dalam kamarku, sedangkan aku berada dalam lemari.

"Ayo tinggal sama ayah di tempat yang baru sayang..."

Suara ayah masih terdengar dan kali ini lebih mendayu. Bukannya menenangkan, yang ada perasaanku semakin di selimuti rasa takut.

"Kalo kamu mau pergi, silahkan pergi! Tapi jangan ambil, Sarah!"

Suara bunda kembali meninggi.

Sebenarnya situasi macam apa yang aku alami saat ini? Bukankah situasi ini sudah lama berlalu? Tapi kenapa aku malah mengulangi nya lagi? Bahkan bentuk tubuhku kembali menjadi anak kecil.

Perasaan cemas dan takut yang selalu ku coba untuk di hilangkan, kini aku rasakan kembali. Kalau seperti ini bagaimana aku bisa sembuh?

"Sarah..."

"Sarah..."

Suara ayah semakin mendekat, bahkan aku melihat kedua kaki yang di balut dengan sol sepatu hitam.

"Sudah aku bilang, jangan bawa-bawa Sarah!"

"Kamu gak perlu ikut campur! Sarah akan lebih baik jika dia tinggal sama aku!" Itu suara ayah.

Pintu lemari tempat aku bersembunyi terbuka, dan kemudian menampilkan wajah ayah yang tersenyum menatapku.

Mengulurkan satu tangannya untuk menggapai ku, aku semakin merapatkan tubuh ke belakang sembari menggelengkan kepala. Aku menangis ketika ayah menarik satu lenganku secara paksa, rasanya sakit tapi tidak sebanding dengan rasa sakit yang ada di hati.

Dari belakang, bunda menarik bahu ayah membuat tarikannya pada lenganku terlepas.

"Kamu apa-apaan!"

Kejadiannya begitu cepat. Dalam pandangan ku bunda terdorong ke belakang sampai belakang kepalanya terbentur meja tempat aku menyimpan mainan.

Tubuhku seketika mendingin. Tidak tahu seberapa deras air mata yang aku keluarkan, seberapa takut perasaan yang aku rasakan, yang aku lakukan adalah merangkak keluar menghampiri bunda yang tergeletak tak berdaya.

Ayah di sana juga terdiam, tanpa melakukan apa-apa dia langsung keluar dari kamar.

"Bunda!"

Ku guncang tubuh bunda, ketika kedua bola mata yang selalu menatapku dengan penuh kasih perlahan tertutup.

"Enggak!"

Jiwaku seperti tertarik membuat kedua bola mataku langsung terbuka sempurna.

Mimpi?

Whitout You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang