07. Darah (1)

139 31 6
                                    

Matahari sudah berada di ufuk barat. Cahaya orange hangat menyinari permukaan bumi memberi kesan indah di mata. Sepasang mobil bergantian memasuki pekarangan suatu rumah di daerah Menteng. Satu per satu mobil terparkir rapi di depan pekarangan.

"Wah, tumben barengan." Pak Nas berucap setelah dirinya turun dari dalam mobil, diikuti Pierre yang turun di sisi lainnya.

"Papa!" Teriakan Ade yang sedang berlari membuat berbagai mata menatap mereka. Pak Nas membuka lebar tangannya dan menangkap Ade dalam pelukan singkat.

"Habis darimana, ade?" Tanya Pak Nas yang tengah menggendong Ade.

"Ade habis dari mall. Tadi ade keliling sama bunda dan kak Alea." Jawabnya antusias. Pak Nas menanggapinya dengan sama antusias.

"Wah, benarkah? Seru tidak?"

"Seru banget, papa!" Seru ade lebih bersemangat, tangannya mengangkat keatas menggambarkan betapa serunya perjalanan tadi.

"Tapi papa, tadi kaki kak Alea gemetar waktu mau balik. Kaki kak Alea gak sakit kan, pa?" Tanya ade dengan wajah cemas.

"O-oh, tidak kok." Pak Nas tau bagaimana kelakuan istrinya saat berbelanja, yang akan terus mencari barang paling murah dan bagus. 'semangat, Alea. Saya juga sering mengalaminya.' batinnya.

"Pft-" Pierre seketika menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Dia berusaha mati - matian untuk tidak tertawa.

"Om pierre kenapa? Kok ditutup mulutnya?" Tanya ade polos.

"Om tidak apa-apa. Tadi hanya... Bau jengkol saja," bohong Pierre.

"Jengkol?" Ade mengendus-endus udara disekitarnya tapi tak menemukan bau apapun.

"Ga ada bau jengkol," gumam ade.

Pak Nas segera mengalihkan pembicaraan. "Oh, itu bunda."

Pak Nas menurunkan Ade dan menghampiri istrinya yang membawa empat paperbag. Ia membantu membawakan kedua barang itu.

"Terima kasih, mas..." Tutur bu Nas.

Pak Nas tersenyum hangat, "Sama-sama, bun..." Mereka berjalan bersama dengan kedua tangan saling bertautan.

Alea yang dibelakang hanya melongo melihat kemesraan didepannya. Tidak di masa depan atau di masa lalu sama saja dia menjadi toping dunia. Nasib jomblo sejak zigot.

Setelah puas meratapi nasib jomblo nya, dia langsung mengangkat berbagai paperbag yang beranak dari jumlah awalnya empat menjadi sepuluh. Tidak lupa sebuah kardus berisi pisang. Bayangkan, kedua tangannya memegang masing-masing setengah jumlah paperbag. Ditambah mengangkat sekardus pisang di kedua tangan.

Alea melirik kearah Pierre yang kebetulan masih berada disana. Merasa ada yang memperhatikannya, Pierre melirik ke segala arah, hingga matanya tertuju pada mata Alea yang tengah menatapnya.

Pierre menaikkan ujung alisnya menandakan ia bertanya 'apa?'.

Alea balas dengan lirikan ke arah kardus, 'bantu bawa ni kardus'.

Pierre memutar bola matanya malas. Walau begitu, ia tetap berjalan kearah Alea. Dikiranya ingin membantu Alea, namun yang terjadi malah sebaliknya.

"Semangat," bisiknya pelan sebelum tersenyum jahil.

"Bajin-" Hampir saja Alea keceplosan kata kasar.

'sabar... pahlawan revolusi itu. Tapi kok tengil. Perasaan kaga ada catatan dia tengil dah.' Ingin sekali ia menghantam kepala Pierre dengan kardus isi pisang ditangannya.

Pierre hanya tertawa jahil melihat ekspresi kesal Alea, sebelum pak Nas berbicara.

"Yer, kamu bantuin Alea bawa barang ya," ucap pak Nas dari ambang pintu rumah sebelum ia masuk kedalam.

Ujung WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang