08. Darah (2)

145 30 1
                                    

Suara langkah kaki terdengar riuh di koridor, semakin lama semakin mendekat. Beberapa orang berlari dengan napas terengah-engah, wajah mereka pucat dan penuh kecemasan.

Tanpa berkata-kata, mereka bergerak cepat, saling mendorong di antara lorong sempit itu. Pintu kamar di ujung koridor menjadi tujuan mereka, sementara suara ketukan lantai yang diinjak membuat suasana semakin tak karuan. Ketika sampai di depan pintu, Pak Nas membukanya dengan cepat.

"Ya Tuhan!" Pekik Alpiah sesaat setelah melihat noda darah yang berada di kasur. Tangannya menutup mulutnya sangking terkejutnya. Ia ikut datang karna suruhan Bu Nas.

"Yer, dimana Alea?" Pak Nas mencoba untuk tetap tenang, walau tak dipungkiri dia merasa amat khawatir dengan Alea. Dia sudah menganggapnya seperti anak sendiri.

"Tadi sepertinya dia menuju kamar mandi. Hamdan juga sudah menuju kesana." Pierre menunjuk arah yang dimaksud.

"Kita kesana," titah Pak Nas dan diangguki yang lain. Mereka berjalan menuju kamar mandi paviliun yang berada di paling belakang.

Saat mereka hampir sampai, terdengar suara hamdan yang menggedor pintu dan memanggil Alea dengan suara cemas.

"Alea! Buka pintunya!" Hamdan terus menggedor pintu kamar mandi yang terbuat dari kayu.

Bu Nas menghampiri Hamdan. "Ham, ada apa?"

"Alea tidak mau keluar, bu... Saya hanya ingin memeriksa apakah dia baik-baik saja." Hamdan menjelaskan dengan sedikit panik akibat kekhawatirannya pada Alea.

"Coba ibu yang bicara ya. Kamu tenangkan diri dulu. Percaya pada saya, Alea pasti baik-baik saja." Bu Nas mencoba menenangkan Hamdan.

Hamdan hanya bisa menuruti perkataan Bu Nas, lalu ia mundur menuju tempat pak Nas dan Pierre berdiri. Walau begitu, matanya masih menatap pintu kamar mandi yang tertutup dengan pandangan khawatir.

Bu Nas mengetok pintu pelan. "Alea... Kamu tidak apa-apa? Bisa kamu keluar dulu?"

Masih tidak ada jawaban dari Alea, Bu Nas menjadi lebih cemas. Dia mengetok pintu lebih keras lagi. Pikirannya sudah berkecamuk negatif.

"Al-" ucapan Bu Nas terpotong oleh suara dari balik pintu. "Tolong suruh para pria untuk pergi terlebih dahulu. Saya mohon," pinta Alea dengan suara pelan.

Bu Nas kemudian menatap para pria di tepi lorong, dia memberi isyarat agar mereka mengikuti permintaan Alea. Awalnya mereka ingin menolaknya, namun segera Bu Nas meyakinkan mereka.

"Jika ada apa-apa, saya akan memanggil kalian. Untuk saat ini, lebih baik kalian ikuti kemauan Alea," saran bu Nas. Akhirnya mereka menerimanya.

Pak Nas berjalan lebih dulu, kemudian diikuti Pierre dan Hamdan dibelakangnya. Pierre dan hamdan sesekali melihat kebelakang, mereka dipenuhi rasa bersalah. Apakah dirinya yang membuat Alea terluka?, batin mereka berdua.

Mereka bertiga berjalan menuju ruang tamu rumah utama. Sesampainya disana, mereka hanya diam saja. Pak Nas duduk di sofa, sedangkan kedua ajudannya berdiri di hadapannya.

"Duduklah." Pak Nas mencoba membuka pembicaraan. Kedua ajudan itu hanya mengangguk dan duduk di sofa panjang sesuai perintah.

"Bisa kalian jelaskan dari awal?" Pak Nas bertanya dengan nada tenang.

"Baik. Pada awalnya saya memanggil Alea untuk mandi dan menanyakan dimana kunci mobil. Namun saat dia keluar, wajahnya terlihat lemas dan suaranya terdengar lesu..." Hamdan berhenti sebentar dan mengambil napas sebelum melanjutkan.

"Saat saya masuk kedalam kamarnya. Seperti yang pak Nas lihat, ada banyak bekas darah di kasurnya. Maka dari itu saya menyuruh Pierre untuk memanggil pak Nas, bu Nas, dan Alpiah."

Ujung WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang