09. Darah itu merah, Lettu

181 31 2
                                    

17 Agustus 1965

".... Bangunlah para pemuda, ayo kita harumkan nama bangsa. Jayakan negeri. Banggakan ibu pertiwi. Jangan biarkan sesuatu menghancurkan negeri ini. MERDEKA!!-"

Jemari Bu Nas mematikan radio yang menyala di ruang tamu. "Ayo semuanya sudah pada siap? "

"Yanti, kenapa belum dirapikan rambutnya? Ya ampun." Yanti yang baru keluar kamar langsung ditarik Bu Nas untuk berdiri dihadapannya, sedangkan dirinya menata rambut Yanti dari belakang.

"Bundaa... Sepatu ade yang warna putih dimana?"

"Itu di rak belakang."

"Bun, dompet papa dimana?"

"Diatas meja rias, tadi kan kamu taruh disitu, mas."

"Bundaa... Kok gak ada sepatunya di rak belakang?"

Rumah keluarga Nasution benar-benar ramai dengan teriakan sahut menyahut dari para penghuni rumah. Walau masih pagi, bahkan matahari pun masih malu-malu untuk menampakkan dirinya, hal itu tak mengurangi kegaduhan yang ada.

Disaat keluarga Nasution sibuk mempersiapkan diri untuk pergi ke istana Negara. Para ajudan mereka dengan setia menunggu keluarga atasannya di samping rumah, ditemani kopi hitam dan pisang goreng yang baru diangkat dari penggorengan.

"Ah.. nikmat sekali ngopi waktu pagi, mana ditemani pisang goreng. Sungguh nikmat mana yang engkau dustakan."

Dengan santai, Hamdan duduk di samping rumah yang sedikit lebih tinggi, satu kaki diangkat dan ditumpangkan ke lutut satunya, sikap yang seolah-olah menguasai waktu. Cangkir kopi hitam mengepul di tangan kanannya, sementara tangan kiri dengan tenang diletakkan di pangkuan. Sesekali ia menyeruput kopi itu perlahan, matanya memandang jauh ke depan, menikmati setiap tetes dengan sikap tenang khas bapak-bapak yang tak terburu oleh waktu.

"Benar, hidup tuh harus dinikmati. Kalau ada cobaan baru dicobain," sahut Alea sesat.

Posisi duduk Alea juga tak berbeda jauh dengan Hamdan, walau kedua kakinya menyentuh tanah, tapi terdapat rongga antar kaki, bagai anak nakal yang sedang nongkrong di warung belakang sekolah. Sedangkan Pierre terlihat duduk lebih berwibawa layaknya seorang perwira dibanding kedua temannya yang lebih seperti berandalan memakai seragam perwira.

"Kalian terlihat seperti berandalan." Seketika Alea dan Hamdan melirik sinis Pierre. "Berandalan-berandalan gini letnan satu nih bos, senggol dong!" Jari Alea menunjuk ke tanda pangkatnya dengan wajah sombong.

Pierre memutar bola matanya malas, sedangkan Hamdan tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat wajah jengah Pierre akibat jawaban dari Alea. Hingga dengan gerakan cepat, tangan Pierre mengambil dan memasukkan sepotong pisang goreng ukuran besar kedalam mulut Hamdan. Hal itu seketika  membuat Pierre mendapatkan tatapan tajam dari Hamdan.

Sekarang giliran Alea yang tertawa terpingkal-pingkal. "Kasian..." Ejeknya lalu kembali tertawa.

Hamdan yang awalnya melotot kearah Pierre yang berada di sebelah kanannya berbalik melotot ke arah Alea disamping kirinya. Bukannya terlihat seram atau marah, namun malah terlihat lucu, pipinya yang membesar akibat pisang goreng dipadu dengan mata melotot.

Berakhirlah suara tawa keluar dari mulut kedua temannya, bahkan Alea sampai menghapus air matanya akibat tertawa berlebihan.

Begitulah hubungan mereka saat ini. Semenjak kejadian darah itu, ketiganya menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Saling meledek satu sama lain, tapi jika ada yang ditindas, maka yang lain tak segan-segan menjadikan mereka musuh.

"Pierre, Hamdan, Alea." Suara pak Nas membuat trio ajudan itu seketika bangkit dengan posisi tegap. "Siap!/swiwap!"

"Telan dulu makanannya, Dan. Nanti keselek."

Ujung WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang