10. Darah Itu Merah, Lettu (2)

131 22 1
                                    

"karna darah itu merah, Lettu."

Perkataan Aidit membuat para Jenderal bertanya-tanya apa maksud dari ucapannya. Pak Nas menatap kepergian Aidit dan Letkol Untung hingga menghilang dari pandangannya. Ia kemudian berbalik menghadap Alea.

"Alea." Panggil Pak Nas, tapi tak ditanggapi oleh Alea. Ia terlalu tenggelam dalam pikirannya.

'Apa maksudnya? Kenapa dia berkata seperti itu? Bukannya itu kalimat yang diucapkan Letkol Untung kepada jenderal Nasution? Kenapa diucapin Aidit ke gw? Apa gw bakal masuk daftar hitamnya? Gw bakal mati disini?' Berbagai pertanyaan dikepalanya membuat dirinya melupakan sekitarnya.

"...lea."

"Alea!" Pierre menggoyangkan tangan Alea hingga membuat Alea tersadar. "Huh? Ya!"

Pierre menatap khawatir. "Kamu tidak apa?"

Alea mengangguk lalu tersenyum. "Aku baik-baik saja. Tadi cuman kerasukan setan budeg lewat," candanya diselingi tawaan.

Pierre hanya memandangnya dengan tatapan yang sama yaitu khawatir. Begitu pula pak Nas dan Hamdan, keduanya tampak khawatir dengan Alea.

"Jangan terlalu dipikirkan, Alea. Kamu memang cantik jika memakai pakaian merah," puji Pak Yani bermaksud menghibur Alea, namun malah mendapat sorot tajam dari Alea. 'Maksud bapak! saya cantik kalau mati berlumuran darah!'.

Pak Yani dibuat gelagapan oleh tatapan Alea. "M-maksud saya, kamu selalu cantik memakai baju warna apapun, tak hanya merah," sambungnya seperti bisa mendengar batin Alea.

Mendengar itu, Alea seketika tersenyum manis. "Terima kasih atas pujiannya, pak."

Jenderal D.I. Pandjaitan menepuk-nepuk pundak Pak Yani untuk memberi semangat. "Semangat bang. Itu sudah biasa. Istri saya juga sering begitu kalau saya berucap mengenai penampilannya."

"Loh kok sama. Istri saya juga begitu," sahut Jenderal Haryono.

Pandjaitan seketika menoleh ke Jenderal lain."Kalian juga?" Tanyanya dan diangguki Jenderal yang lain.

"Ternyata semua wanita sama saja." Perkataan Pak Yani seketika membuat para wanita di circle itu menatap tajam dirinya. Lalu berganti menatap para suaminya.

Pak Nas menyenggol bahu Pak Yani. "Yan, perkataanmu bisa di saring dulu tidak? Nanti bisa-bisa saya tidur di ruang tamu," bisiknya sambil melirik Bu Nas.

"Maaf bang, kelepasan," balas Pak Yani juga melirik istrinya.

Para Jenderal yang lain juga sesekali melirik takut istri mereka. Mereka hanya bisa berharap semoga tidak tidur diruang tamu malam ini atau jika terjadi, mereka akan menyatakan perang terhadap Pak Yani.

"Pak!" Pierre mengambil sikap hormat, begitupun Alea dan Hamdan ketika melihat pria berusia sekitar 60-an berjalan kearah para Jenderal yang berkumpul.

Semua orang yang berada di sekitar situ menoleh mengikuti arah pandang ketiga ajudan itu. "Bapak." Serentak para Jenderal memberi hormat. Soekarno membalas tersenyum ramah. "Apa kabar, Jenderal?"

"Alhamdullilah, baik." Pak Nas yang pertama berjabat tangan Soekarno, diikuti Jenderal lainnya. Dilanjut dengan para istri dan anak mereka. Sedangkan para ajudan mundur ke belakang, mberi ruang para atasannya untuk berbicara.

Mereka saling berbincang cukup lama. Mulai dari membahas dari hal ringan hingga berat seperti politik dan militer yang tengah memanas. Alea menguping pembicaraan tersebut, bagaimanapun ia harus mendapatkan berbagai informasi demi kelancaran misi.

"Stt... Le." Alea menoleh kearah Hamdan yang memanggilnya. Alisnya menaik kebingungan. "Besok kita bertiga mau keliling Jakarta tidak?"

Alea sedikit tertarik mendengar penawaran Hamdan. "Boleh, Pierre sudah setuju belum?"

Ujung WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang