12. Sang Ajudan

148 31 3
                                    

Siang di Mabes ABRI berjalan dengan ritme yang teratur, seperti denyut nadi disiplin militer. Di bawah terik matahari, lapangan besar di tengah kompleks terlihat lengang, hanya beberapa prajurit yang sedang berlatih baris-berbaris, seragam mereka berkibar tertiup angin.

Gedung-gedung berwarna abu-abu menjulang kokoh, menggambarkan wibawa dan kekuatan. Beberapa kendaraan militer sesekali melintas di jalan utama, melewati gerbang besar yang dijaga ketat oleh prajurit berseragam lengkap. Suara derap langkah dan perintah tegas yang terlontar dari seorang perwira bergema, bercampur dengan deru mesin kendaraan yang berlalu lalang.

Di salah satu lorong yang ramai, tampak Pak Nas dan Alea tengah berjalan cepat diantara kerumunan orang. Alea membawa sebuah papan jalan berisi beberapa lembar kertas diatasnya.

"Apa jadwal saya selanjutnya?" Pak Nas bertanya sembari terus berjalan kedepan diikuti Alea di belakangnya yang saat ini bertugas menjadi ajudan Pak Nas seharian.

"Jadwal anda selanjutnya ialah menghadiri rapat para petinggi militer pada pukul dua siang," jawabnya dengan sopan.

Alea melihat jam tangan ditangan kirinya. "Saat ini jam dua belas siang, anda memiliki waktu dua jam untuk beristirahat."

"Kalau begitu saya akan sholat dan makan siang terlebih dahulu."

"Siap! Saya akan mengikuti perin-."

Pak Nas berhenti sejenak, diikuti Alea yang otomatis berhenti. "Tidak usah. Lebih baik kamu istirahat juga. Ketemu saya lagi di ruang rapat pukul satu lebih tiga puluh menit," titahnya tegas.

Alea awalnya ingin menolaknya, namun segera ia urungkan ketika atasannya kembali berjalan meninggalkannya. Dengan cepat Alea mengambil sikap hormat kepada Pak Nas.

Ia tetap mempertahankan posisinya hingga Pak Nas menghilang dari pandangannya, barulah dia menurunkan tangannya.

Alea kemudian melirik dinding dibelakangnya dengan tajam. "Keluarlah. Saya tau anda disana."

Tak lama, seorang pria keluar dari balik dinding dengan kedua tangan menekuk ke atas. "Saya tidak bermaksud menyerang anda, Lettu."

"Apakah anda tersesat, Letkol Untung?" Alea berbalik perlahan dengan tatapan memyelidik.

Ujung bibir Letkol Untung sedikit menaik. "Tidak, saya disini hanya ingin bertemu anda, Lettu."

Alea masih menatapnya dengan tatapan menyelidik, ia curiga pria didepannya merencanakan sesuatu. Ujung alisnya sedikit menaik tanda bertanya.

"Saya mempunyai beberapa pertanyaan pribadi, jika anda berkenan. Temui saya disini sendirian." Untung menyerahkan sepucuk kertas kecil kepada Alea. Namun sang empu hanya diam memperhatikan kertas itu tanpa ada niat mengambilnya.

"Saya tidak bermaksud jahat. Pertemuan ini juga tidak diketahui oleh siapapun, bahkan tuan Aidit tidak mengetahuinya."

Mendengar perkataan Untung, sontak membuat Alea kembali menatap bingung pria didepannya. Mengapa seorang bawahan setia musuh atasannya ingin bertemu dengan dirinya yang bernotabe bawahan dari musuh Aidit. Hal itu membuat Alea merasa tidak beres, seperti jebakan untuk dirinya. Ia tidak boleh bertindak gegabah disini.

Alea berbalik membelakangi Untung. "Maaf, saya tidak bisa melaku-."

"Tolong pertimbangkan kembali, Lettu! Ini demi keselamatan anda!"

Perkataan Untung kembali membuat Alea membeku seketika. Ia berbalik menghampiri Untung dengan tatapan interograsi. "Apa maksud anda?"

"Saya tidak bisa jelaskan sekarang. Tolong datang saja ke tempat ini, jika anda ingin mengetahui jawabannya." Untung menarik lengan kanan Alea dan meletakkan sepucuk kertas itu dalam genggaman Alea.

Ujung WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang