04. Chakrabirawa

149 29 0
                                    

Di dalam mobil yang melaju di jalanan siang, tawa ringan memenuhi kabin. Mereka saling bertukar cerita lucu, membahas kejadian-kejadian kecil yang membuat senyum terus mengembang di wajah masing-masing. Sesekali, Alea melihat ke arah Pierre yang duduk di sebelah, tangannya memegang setir dengan santai sementara obrolan mereka bertiga berputar tanpa henti, dari kenangan masa lalu hingga impian masa depan.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, tibalah mereka di daerah Lubang Buaya. Mobil mereka berjalan diiringi tatapan aneh dari para anggota PKI yang sedang berlatih di daerah itu.

Wajar saja bila mendapat tatapan itu. Mobil yang mereka naiki memiliki sebuah plat merah berciri khas TNI di bagian depan dan belakang mobil. Yang tentu saja hal semacam itu jarang sekali terlihat di sekitar daerah Lubang Buaya.

Perlahan mobil memelan begitu berada di perempatan jalan.

Pierre menoleh kearah Alea setelah sekian lama perjalanan. "Selanjutnya kita harus kemana, nona?"

"Oh, kita bisa kearah sini..."

Alea dengan telaten menunjukan jalan ke arah rumahnya. Pierre juga dengan seksama mendengarkan arahan dari Alea.

Pak Nas yang duduk dibelakang tersenyum melihat keakraban kedua ajudannya. Mungkin bisa saja ia jodohkan dua ajudan ini pikirnya.

Tak lama roda mobil berhenti tepat di depan rumah putih bernuansa jadul. Terlihat kecil tapi cukup luas untuk ditinggali satu orang saja.

Alea dan pak Nas turun terlebih dahulu, sedangkan Pierre akan memakirkan mobil di halaman rumah tersebut.

"Mari pak masuk. Maaf bila rumahnya kecil" ujar Alea dengan santun.

Pak Nas tersenyum lembut. "Apa maksudmu? Rumah ini sungguh luas, lihat saja pekarangannya. Jadi kamu jangan berkecil hati."

Alea membalas senyuman itu. "Siap!"

Setelah alea menjawab. Pierre datang mendekat menuju mereka berdua dengan plastik berisi makanan yang baru saja mereka beli sebelum sampai di rumah Alea.

"Ah, ayo semuanya masuk kedalam. Kita langsung keruang makan saja. Lebih baik kita makan terlebih dahulu karna ini sudah lewat waktu jam makan siang," jelas Alea dengan senyum ramahnya.

Ia menuntun mereka kearah meja makan kecilnya. Untung saja meja ini terdiri dari empat kursi, jadi Alea tak perlu bingung mencari kursi lagi.

"Silahkan duduk dulu. Saya akan menyiapkan makanannya."

Alea mengambil kantong plastik yang dipegang Pierre lalu menuju kearah dapur yang berada dibalik tembok belakang meja.

Pierre sedikit terkejut merasakan sentuhan dadakan itu. Namun langsung disadarkan dengan pak Nas yang menarik kursi disamping tempat dia berdiri.

Segera Pierre langsung membantu pak nas menarik tempat duduknya. Begitu pak Nas duduk, ia mengkode Pierre untuk duduk juga di sampingnya.

Awalnya Pierre menolak karna sekarang adalah jam kerjanya, jadi tidak etis bila dirinya duduk bersebelahan dengan atasannya.

Namun pak Nas tetap menyuruhnya untuk duduk disampingnya. Akhirnya dengan berat hati Pierre duduk di samping pak Nas tepat sebelum Alea datang membawa piring beserta isinya.

Alea masuk dengan kedua tangannya memegang piring berisi makanan.

"Mari saya bantu, nona." Pierre langsung berdiri mengambil piring yang dipegang Alea dan menaruhnya diatas meja.

"Apakah masih ada yang bisa saya bantu?" Lanjut Pierre.

Alea tersenyum. "Kamu bisa mengambil gelas yang berada di lemari atas tepat dibelakangmu." Tangannya lurus menunjuk kearah lemari yang dimaksud.

Ujung WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang