14. Langkah Awal Menuju Keputusan

3 0 0
                                    

Annyeong chinguu mianhae nee upnya kelamaan soalnya aku sekalian ngampus ㅋㅋㅋㅋ semoga kalian tetap suka sama ceritaku yang ini hehe(*^-^)

.
.
.
.

NOTE: CERITA INI MURNI DARI IDE SENDIRI DAN TIDAK ADA UNSUR COPYPASTE!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

NOTE: CERITA INI MURNI DARI IDE SENDIRI DAN TIDAK ADA UNSUR COPYPASTE!!!

𖡼𖤣𖥧𖡼𓋼𖤣𖥧𓋼𓍊

Keesokan harinya, sinar matahari menembus tirai jendela kamar Larissa, membangunkannya dari tidur yang tak begitu nyenyak. Pikirannya masih dipenuhi bayangan kejadian kemarin, tetapi ia tahu bahwa hari ini harus dimulai dengan sikap yang berbeda. Ia sudah tidak bisa terus menghindari kenyataan.


Setelah bangun dan bersiap-siap, Larissa duduk di tepi ranjangnya, memandang ponsel yang tergeletak di meja. Ada beberapa pesan dari Adrian yang ia belum buka, dan satu pesan dari Julian yang dikirim tadi malam.

Julian: "Kalau lo butuh temen ngobrol, gue selalu ada buat lo."

Larissa tersenyum kecil. Di balik sikap santainya, Julian selalu tahu kapan ia sedang membutuhkan seseorang. Namun, kali ini Larissa tahu bahwa obrolan biasa tidak cukup. Ia harus menghadapi perasaannya dengan serius. Tidak bisa terus menggantungkan harapan pada dua orang yang berbeda.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Larissa terus memikirkan bagaimana ia akan berbicara dengan Adrian. Bagaimanapun juga, ia tahu Adrian tidak akan menerima penolakan dengan mudah, tetapi hubungan mereka sudah berakhir. Adrian harus mengerti bahwa mereka tidak bisa bersama lagi, dan bahwa terus memaksa hanya akan membuat segalanya lebih sulit.

Setibanya di sekolah, Larissa segera menemui Celine di depan gerbang. Sahabatnya itu menyambutnya dengan senyuman, seperti biasa.

"Gimana? Udah siap buat ngomong sama Adrian?" tanya Celine.

Larissa menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. "Gue harus ngelakuin ini, Cel. Gue nggak bisa terus kayak gini."

"Good. Lo kuat kok, Sa. Gue yakin lo bisa hadapin semuanya," ucap Celine, menepuk bahu sahabatnya untuk memberi dukungan.

Saat jam istirahat tiba, Larissa memutuskan untuk mengajak Adrian bicara. Ia menemukannya sedang duduk di taman dekat lapangan basket, terlihat asyik dengan ponselnya. Dengan langkah mantap, Larissa mendekatinya.

"Adrian, kita perlu bicara."

Adrian mendongak, sedikit terkejut dengan kedatangan Larissa. "Oh, Larissa. Lo akhirnya datang juga. Gue udah nunggu momen ini."

Larissa menggeleng pelan. "Gue ngerti, tapi lo harus tau kalau kita udah selesai. Lo nggak bisa terus-terusan berharap kita bakal balik lagi."

Ekspresi Adrian berubah seketika. "Lo serius? Larissa, gue tau lo masih ada perasaan sama gue. Kita cuma butuh waktu buat perbaikin semuanya."

"nope, Adrian," jawab Larissa tegas. "Gue udah lama mikirin ini, dan gue yakin. Kita nggak bisa balik seperti dulu. Hubungan kita udah berakhir, dan lo harus bisa move on. Gue minta lo berhenti ganggu gue."

Adrian terdiam, menatap Larissa dengan mata yang penuh kekecewaan. Namun, kali ini Larissa tidak akan goyah. Ia sudah membuat keputusan.

Setelah beberapa saat, Adrian hanya bisa menghela napas panjang. "Kalau itu yang lo mau, gue nggak akan paksa lagi."

"Terima kasih, Adrian. Gue harap lo juga bisa nemuin kebahagiaan lo sendiri," ucap Larissa dengan lembut.

Setelah pembicaraan itu, Larissa merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Meskipun tidak mudah, setidaknya satu masalah sudah terselesaikan. Namun, ia tahu ada satu lagi yang harus ia hadapi—perasaannya terhadap Julian dan Arjuna.

Beberapa hari berlalu, dan Larissa masih bingung dengan perasaannya. Di satu sisi, Arjuna masih menjadi sosok yang selalu ada di pikirannya, sosok yang ia kagumi dari jauh. Namun, Julian terus hadir di kehidupannya dengan cara yang berbeda—lebih dekat, lebih hangat, dan lebih nyata.

Suatu sore, setelah pulang sekolah, Julian tiba-tiba menghampirinya di parkiran. "Gue bisa anterin lo pulang kalau lo mau," tawarnya dengan senyum khasnya.

Larissa ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. "Oke, boleh."

Di perjalanan pulang, mereka tak banyak bicara. Namun, suasana di antara mereka terasa nyaman. Larissa merasa tenang, seolah berada di tempat yang seharusnya. Saat mereka sampai di depan rumahnya, Larissa berhenti sejenak sebelum turun dari motor Julian.

"Jul... gue perlu ngomong sesuatu," ucap Larissa dengan nada serius.

Julian menatapnya dengan sedikit penasaran. "Apa tuh?"

"Lo orang yang baik, dan gue bener-bener seneng ada lo di hidup gue. Tapi... gue masih belum yakin soal perasaan gue. Ada banyak hal yang lagi gue pikirin sekarang, dan gue nggak mau kasih harapan kalau gue sendiri belum yakin."

Julian tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Gue ngerti, Sa. Lo nggak perlu buru-buru. Gue nggak ke mana-mana, kok. Kita bisa jalanin ini pelan-pelan."

Mendengar itu, Larissa merasa lega. Julian tidak menekannya untuk segera membuat keputusan. Itu memberi Larissa ruang untuk benar-benar mengenal perasaannya, tanpa harus terburu-buru.

Setelah Julian pergi, Larissa berdiri di depan rumahnya sambil menghela napas panjang. Hari ini, ia telah membuat langkah kecil menuju kejelasan. Meski masih ada banyak hal yang harus ia hadapi, setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam perjalanannya. Dan itu, untuk saat ini, sudah cukup.

To be continued....

⁺˚⋆。°✩₊✩°。⋆˚⁺⁺˚⋆。°✩₊✩°。⋆˚⁺⁺˚⋆。°✩₊✩°。⋆˚⁺

.
.

.
.

Jangan lupa vote and comment sebanyak-banyaknya ya karena untuk membuka part selanjutnya diperlukan vote and comment dari kalian terimakacii...

tunggu kelanjutan aku yang berikutnya ya... akan ada part menarik selanjutnya? ditunggu kelanjutannya(*≧з≦)

Rahasia Cinta Yang Tersembunyi [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang