cerpen 17

15 1 0
                                    

Hasan duduk di pojok ruangan dengan matanya yang mulai berat. Tahlilan sedang berlangsung di rumah Pak Leman, tetangga yang baru saja meninggal. Suara doa dan dzikir terdengar lembut, mengalun merdu dari mulut Pak Ustadz, tapi bagi Hasan yang berusia delapan tahun, suasana itu terlalu tenang. Matanya mulai terpejam, dan dia berusaha melawan kantuk, tapi lama-lama kepalanya mulai tertunduk.

Orang-orang dewasa khusyuk berdoa, tapi Hasan tidak kuasa lagi menahan kantuk. Ketika ia tertidur, tiba-tiba ia terbangun di tempat yang aneh. Di sekelilingnya ada pepohonan besar dengan daun-daun yang berkilauan seperti emas. Sungai mengalir dengan air jernih yang berwarna biru terang, dan suara angin berbisik lembut di telinganya. Hasan melihat ke sekeliling, bingung.

"Di mana ini?"bisiknya.

Dari balik semak-semak, muncullah sosok yang tak asing. Pak Leman! Namun kali ini, Pak Leman terlihat berbeda-berdiri gagah dengan jubah putih panjang dan sebuah tongkat kayu yang memancarkan cahaya. Dia tersenyum lebar kepada Hasan.
"Selamat datang di Alam Doa, Hasan,"kata Pak Leman dengan suara yang ramah. "Kamu sudah tertidur, jadi aku membawamu ke sini. Ini adalah tempat di mana doa-doa dari tahlilan mengalir dan tumbuh seperti pohon-pohon besar ini."
Hasan ternganga. "Ini semua dari doa?"
Pak Leman mengangguk. "Setiap kali seseorang berdoa dengan ikhlas, doa itu menjadi energi yang hidup dan menciptakan keindahan di dunia ini. Lihatlah pohon-pohon ini, mereka mewakili doa-doa yang dipanjatkan untukku malam ini."

Mendengar itu, Hasan merasa kagum, tapi tak lama kemudian, tanah di bawah kakinya bergetar. Sebuah suara menggeram datang dari kejauhan, dan bayangan hitam mulai muncul di langit. Hasan melihat makhluk-makhluk aneh dengan wajah kelam mendekat, menghalangi aliran sungai doa.

"Apa itu?" tanya Hasan, ketakutan.
"Itu adalah keraguan dan ketidakikhlasan. Mereka mencoba menghalangi doa-doa dari sampai kepadaku,"kata Pak Leman. "Aku butuh bantuanmu, Hasan."
Hasan, walaupun ketakutan, merasa terpanggil untuk membantu. Dia mengingat semua cerita pahlawan dari buku-buku yang sering dibacakan ibunya. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Gunakan keyakinanmu,"jawab Pak Leman, menyerahkan tongkat cahayanya. "Dengan ini, kamu bisa mengalahkan mereka."
Hasan memegang tongkat itu dengan kedua tangan, merasakan kehangatan yang mengalir dari dalamnya. Saat para bayangan mendekat, Hasan mengarahkan tongkat itu dan cahaya terang memancar, menghancurkan bayangan satu per satu. Dengan keberanian dan keyakinan, Hasan berhasil membersihkan langit dan mengalirkan kembali doa-doa yang terganggu.

Pak Leman tersenyum bangga. "Terima kasih, Hasan. Berkatmu, doa-doa ini bisa sampai dengan damai."
Tiba-tiba, suara dari dunia nyata memanggil namanya, "Hasan... Hasan!"
Hasan terjaga dengan kaget. Di depannya, semua orang sudah berdiri, beranjak menuju meja makan. Pak Ustadz dan beberapa orang dewasa tersenyum geli melihat Hasan baru terbangun.

"Bangun juga akhirnya, ya,"goda Pak Ustadz sambil tertawa kecil. "Kau tertidur lelap waktu tahlilan, tapi bangun pas acara makan!"

Orang-orang di sekelilingnya tertawa kecil. Hasan tersipu malu, menggaruk kepalanya sambil tersenyum. Tapi ada satu hal yang tak bisa dia lupakan-mimpinya tadi terasa begitu nyata.
Ibunya menepuk punggungnya lembut. "Ayo, makan dulu. Kali ini Hasan mimpi apa sampai ketiduran?"
Hasan hanya tersenyum kecil, tak ingin memberitahu tentang petualangannya di Alam Doa. Dia mengambil piring, lalu berjalan ke arah meja makan. Meski malu karena diledek, Hasan merasa senang. Dalam hati, ia merasa telah membantu Pak Leman, setidaknya di dunianya sendiri.

Dan saat dia mengambil nasi dan ayam goreng, Hasan berjanji pada dirinya sendiri bahwa lain kali, ia akan lebih waspada dan berusaha tak tertidur lagi, siapa tahu ada petualangan lain yang menantinya.

Cerpen (Kumpulan Cerita Pendek) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang