cerpen 18

3 1 0
                                    

Toko roti mbak li'O

Fitriani Aurelia duduk di depan laptopnya, menatap layar yang penuh dengan kalimat-kalimat dari skripsi yang hampir selesai. Di tengah kesibukannya menulis, pikirannya sering melayang ke mimpinya yang sudah lama tertanam di hati-membangun sebuah toko roti. Mimpi itu bukan sekadar angan-angan. Ia telah mempersiapkan segalanya, dari resep roti yang ia kembangkan sendiri, desain interior yang ia gambar di buku sketsanya, hingga daftar peralatan masak yang ia kumpulkan dengan hati-hati. Satu-satunya yang belum ia temukan adalah nama yang pas untuk toko rotinya.

Aurelia sudah meminta pendapat dari semua temannya, bahkan berdiskusi panjang lebar dengan keluarganya. Namun, setiap saran nama yang ia dapatkan, tidak ada yang terasa 'klik'. Tidak ada yang benar-benar menggambarkan toko yang ia impikan, sebuah tempat yang nyaman, ramah, dan membuat pelanggan ingin datang lagi.

Suatu hari, Aurelia memutuskan untuk keluar dari rutinitasnya yang monoton. "Aku butuh inspirasi," gumamnya sambil mengambil tasnya. Ia memutuskan untuk mengunjungi beberapa toko roti di kota, berharap mendapatkan pencerahan.
Toko pertama yang ia kunjungi memiliki dekorasi modern dengan pencahayaan hangat. Ia membeli sepotong roti dan mencoba berbasa-basi dengan kasir yang berjaga.

"Mbak, boleh tanya kenapa tokonya diberi nama ini?" tanya Aurelia.

Sang kasir tersenyum kecil. "Wah, kalau itu cuma pemilik yang tahu, Mbak. Saya cuma kerja di sini," jawabnya dengan ramah.
Aurelia mengangguk sambil tersenyum, meski jawaban itu bukan yang ia harapkan. Ia melanjutkan perjalanannya ke toko roti lain, mencoba hal yang sama. Namun, jawaban yang ia dapatkan selalu serupa-hanya pemilik toko yang tahu alasan di balik nama toko mereka.

Setelah beberapa toko, Aurelia mulai merasa lelah. Ia tidak menemukan apa yang ia cari. Sementara rasa lapar mulai terasa, ia melihat sebuah toko roti kecil dengan kursi dan meja di dalamnya. "Mungkin ini tempat yang bagus untuk beristirahat," pikirnya.

Di dalam toko yang sederhana itu, Aurelia memesan roti dan minuman dingin. Sambil menikmati makanannya, ia mengeluarkan ponselnya dan mulai scrolling tanpa tujuan. Di saat itulah, ia mendengar suara keras dari arah lain di toko tersebut. Sepasang remaja tampak sedang bertengkar. Mereka berbicara dalam bahasa Jawa, bahasa yang jarang Aurelia dengar sejak pindah ke kota besar.

Aurelia, yang awalnya berusaha tidak peduli, merasa terganggu oleh suara mereka yang semakin keras. Namun, ada satu kata yang terus-menerus diucapkan oleh salah satu remaja itu: "mbalik'o". Kata itu berulang kali terucap, dan entah kenapa, membuat Aurelia mulai berpikir.
"Mbali'ko?" gumam Aurelia dalam hati. Kata itu terasa familiar, tapi ia tidak segera menyadari apa artinya. Beberapa saat kemudian, lampu di otaknya menyala. "Kembali!" pikirnya. "Mbali'ko dalam bahasa Jawa berarti kembali."

Aurelia tersenyum kecil. Tiba-tiba, sesuatu mulai terbentuk di kepalanya. Kata itu begitu sederhana, namun dalam. Sebuah toko roti yang mengajak orang untuk 'kembali'. Bukankah itu yang ia inginkan? Sebuah tempat yang membuat orang merasa nyaman, ingin datang lagi dan lagi?

Tak mau membiarkan ide itu menguap begitu saja, Aurelia merogoh tasnya, mencari buku catatan kecil yang selalu ia bawa. Ia mulai menulis kata itu, mencoba berbagai kombinasi, hingga akhirnya ia menemukan sesuatu yang spesial:

"Mbak li'O".

"Mbak li'O," bisik Aurelia, mengeja perlahan. Ia tersenyum puas. Nama itu terasa sempurna. 'Mbak' yang berarti kakak perempuan, mengisyaratkan kehangatan dan keramahan. 'Li'O' adalah plesetan dari namanya sendiri, Lia. Dan lebih dari itu, 'Mbak li'O' juga memiliki makna lain-kembali. Sebuah ajakan bagi para pelanggan untuk kembali lagi.

Dengan hati yang lebih ringan dan semangat yang baru, Aurelia menutup bukunya. Nama untuk toko rotinya sudah ia temukan. "Mbak li'O," gumamnya lagi, seolah ingin memastikan nama itu tertanam dalam ingatannya. Sekarang, mimpi toko rotinya benar-benar sudah mendekati kenyataan.

Ia tahu, ini baru langkah awal. Tapi dengan nama yang tepat, ia merasa semakin yakin bahwa toko rotinya nanti akan menjadi tempat yang tidak hanya menjual roti, tetapi juga menyimpan kehangatan, kenangan, dan undangan untuk selalu kembali.

Cerpen (Kumpulan Cerita Pendek) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang