01. Mimpi yang Tak Kunjung Didengar

547 58 8
                                    

"Aku tahu mimpiku tidak mudah, tapi lebih baik aku terluka untuk memperjuangkannya daripada menyerah dan selamanya menyesal." -Liamendra Madaharsa

***

Hari ini seharusnya sama seperti hari-hari sebelumnya: Liam akan membantu ayahnya— Hendrick, di ladang, bercengkerama dengan teman-temannya yang tampaknya pasrah dengan kehidupan mereka, dan sesekali bernyanyi sendiri di tengah sawah yang luas. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam hatinya hari ini.

Suara-suara itu mulai bertambah kuat, memaksanya untuk berpikir untuk kembali meninggalkan ini semua dan memulai pencarian apa yang dia sudah percaya sebagai takdir, tetapi di jalannya terdapat tembok besar- jempolannya dan ibunya selama ini. Mereka selalu memberitahunya bahwa menyanyi adalah pekerjaan bodoh, yang tidak akan membawanya ke mana pun, dan dunia musiknya bahkan lebih menjadi tantangan daripada pekerjaan yang sebenarnya.

Kali ini, pertengkaran tidak bisa dihindari, Liam akan mencoba meyakinkan ayahnya untuk kesekian kalinya jika musik adalah hidupnya, dan jika sang ayah memberinya kesempatan, Liam pasti akan sukses. Akan tetapi, semua yang dia terima adalah kemarahan dan tatapan dingin dari mereka.

"Sampai kapan pun, Ayah nggak akan mengizinkan kamu buat jadi penyanyi, Liam! Nggak akan pernah!" bentak Hendrick, suaranya menggema di ruangan kecil yang penuh kenangan itu.

Liam merasakan hatinya remuk mendengar perkataan ayahnya. Dalam genggamannya terdapat kertas pendaftaran audisi-serta lirik lagu yang telah ia tulis dengan penuh harapan. Kertas itu kini lusuh, tertekan oleh telapak tangannya.

"Ayah egois! Ini mimpiku, dan aku bisa buktikan kalau menyanyi bisa jadi kebanggaan!" ucap Liam dengan nada penuh emosi, suaranya bergetar.

"Nggak, nggak akan pernah! Liam! Jangan berani coba-coba kamu!" sahut Hendrick dengan nada tajam, seolah semua pintu harapan ditutup rapat. Ia tidak akan memberikan izin, bahkan jika Liam bersujud di hadapannya.

Liam menatap sang ayah dengan air mata yang berkaca-kaca, kesal dan kecewa bercampur aduk. Menjadi penyanyi adalah impiannya sejak kecil. Ia selalu berangan-angan untuk bisa bernyanyi di panggung besar dengan suara merdunya. Ia ingin sekali membuat kedua orang tuanya bangga, terutama ayahnya.

Masih dengan mata berkaca-kaca, Liam beralih menatap sang ibu, Jenita, berharap mendapatkan sedikit pembelaan. Namun, ibunya pun tidak lebih baik.

"Jangan membantah ayahmu, Nak. Apa yang diucapkan ayahmu itu benar. Nggak ada yang bisa dibanggakan dari menyanyi," ujar Jenita tegas, menyambung kalimat suaminya.

"Bunda, tolong kasih kesempatan," pinta Liam dengan nada merayu, mencari harapan dari orang yang seharusnya mendukungnya.

"Banyak cita-cita lain yang lebih berguna! Carilah cita-cita yang lebih nyata!" tegas Jenita.

"Sudahlah, Liam. Lupakan mimpi itu! Hidup bukan tentang nyanyi-nyanyi. Kamu harus berpikir realistis!" ujar Hendrick, suaranya berat, seolah mengalirkan seluruh beban hidup ke dalam satu kalimat.

Liam menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan pemikiran kedua orang tuanya yang terkungkung dalam batasan. Padahal, menjadi penyanyi tentu bisa dibanggakan, dan ia bertekad untuk membuktikannya.

"Ayah dan Bunda adalah orang paling egois yang pernah aku temui! Aku kecewa sama kalian!" Liam berteriak, emosinya meluap. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan ruangan tersebut, tak ingin mendengar lebih jauh perkataan orang tuanya yang meremukkan hatinya.

Sampai di kamar, Liam duduk di tepi jendela, memandang jauh ke arah hutan di kejauhan. Suara burung yang saling bersahutan dan gemerisik angin seakan menjadi lagu penghibur bagi jiwanya. Namun, pikirannya melayang jauh. Dalam genggamannya, selembar kertas lusuh berisi lirik-lirik yang ditulisnya setiap malam-pelarian dari kenyataan yang penuh batasan, dari sebuah rumah yang hanya mengenal kerja keras dan kesederhanaan, bukan mimpi.

Lagu Terakhir untuk PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang