08. Harapan di Tengah Sepi

191 42 5
                                    

Di tengah malam yang sunyi, Liam menggeliat resah di tempat tidurnya. Sepi, dingin, dan gelap terasa mengurungnya, menambah beban yang menghimpit dadanya. Perlahan, ia membuka matanya, lalu mengerang pelan, remasan di dadanya semakin kuat, menjalar hingga ke punggung. Rasa sakit yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata seakan menggerogoti dirinya dari dalam.

Liam meringis, suara napasnya terdengar pendek dan tertahan. Dadanya terasa nyeri, ia merasa seolah tidak bisa bernapas. Liam sadar, penyakitnya kambuh lagi. Dalam kesunyian ini, Liam sendiri, tak ada yang bisa menolongnya. "Kenapa harus sekarang?" gumamnya dengan suara yang hampir tak terdengar. Dengan susah payah, ia mencoba bersandar di headboard ranjang, tubuhnya terasa lemah dan rapuh.

"Sakit ...." rintihnya, tatapannya tertuju ke jendela kamar yang gelap. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih tabung obat yang sudah ia siapkan di nakas, mempermudah dirinya jika kambuh seperti ini. Setiap kali rasa sakit menyerang, tabung itu seolah menjadi penyelamat hidupnya. Menggenggamnya, Liam menelan obat-obat itu dengan bantuan seteguk air, berharap rasa sakit segera reda.

Sembari menunggu obat itu bekerja, ia meletakkan tangan di dadanya, mengelus pelan, mencoba mengurangi rasa nyeri yang menyiksanya. Perlahan, rasa sakit itu mulai mereda, meski napasnya masih terasa berat. Ketika akhirnya tubuhnya mulai tenang, Liam menarik napas panjang. Tangannya yang tadi mengelus dadanya kini jatuh lemah di samping tubuhnya.

"Apa ini beneran karma buat aku, Tuhan?" lirihnya pada kesunyian malam, suara serak di tenggorokannya nyaris tak terdengar. Matanya terpejam, air mata mulai menggenang tanpa disadarinya. Dalam kegelapan, tak ada yang bisa melihat kelemahannya.

Ia merasa sangat lelah, lebih lelah dari sebelumnya. Bukan hanya fisiknya, tetapi juga jiwanya. Liam mengakui jika ia salah. Namun, apakah harus Tuhan menghukum dirinya seperti ini?

"Ayah, Bunda ... aku minta maaf," lirihnya, walau Liam sudah dewasa dan mandiri. Tetap saja, Liam membutuhkan mereka ada di sini. Menemani dirinya dan memberikan kekuatan.

Sejak penyakit ini datang, hatinya menjadi lebih sensitif. Sebelumnya, Liam adalah sosok yang ceria, selalu tersenyum di hadapan penggemar dan kamera. Semua orang mengenalnya sebagai Liam yang penuh semangat dan kuat. Tak pernah ada yang tahu sisi rapuhnya, bahkan dirinya sendiri pun hampir tak mengenal perasaan seperti ini.

"Apa aku memang harus melewati semua ini sendirian, Tuhan?" tanyanya dengan nada yang lirih, seolah berharap ada yang bisa menjawab. Namun, sunyi adalah jawabannya, dan itu membuat hatinya semakin perih. Rasa takut muncul perlahan, mencengkeram hatinya yang sedang terluka. Bayangan akan masa depan yang tak pasti menghantuinya-akankah ada hari di mana ia tak perlu lagi merasa sakit?

Gimana kalo misalnya aku pergi, tapi belum dapet maaf dari orang-orang yang aku kecewain? batinnya.

Dengan pasrah, ia kembali berbaring, menatap kosong langit-langit kamarnya. Rasanya seperti bertempur sendirian dalam gelap, melawan sesuatu yang tak bisa ia kalahkan. Pelan-pelan, matanya mulai terpejam lagi, lelah yang mendera seakan menyeretnya menuju ketenangan sementara.

Sebelum benar-benar terlelap, ia berbisik pelan, "Tuhan, aku cuma pengin sehat lagi ... bisa nyanyi, bisa senyum kayak dulu, dan dapet maaf dari orang-orang." Akhirnya, rasa kantuk membawanya pergi, dan ia tertidur dengan sisa harapan yang masih ia genggam erat dalam hatinya.

***

Sudah sebulan berlalu sejak Liam mengumumkan hiatusnya. Hari-harinya ia habiskan dalam kesendirian di apartemennya, tenggelam dalam mencari ide untuk menulis lirik. Namun, seberapa banyak kata yang ia susun, rasanya tetap tak bisa mengalihkan perasaan sepi dan kosong yang menghantuinya.

Di sela-sela waktu itu, Liam tifak pernah berhenti mencoba memperbaiki hubungan dengan kedua orang tuanya. Berulang kali Liam mengirimkan surat-surat penuh harapan, berisi permintaan maaf dan kerinduan. Sesekali ia menyisipkan hadiah kecil, berharap itu bisa sedikit meluluhkan hati mereka. Namun, semua usahanya selalu berakhir sama-ditolak, tanpa ada jawaban.

Tanpa orang-orang lain tahu. Sebenarnya selama popularitasnya naik, Liam sudah berulang kali mengirimkan surat dan hadiah seperti sekarang. Akan tetapi, hasilnya hingga saat ini sama saja-nihil. Liam juga berencana untuk berkunjung, tetapi ia merasa malu dan baru memberanikan diri hari itu.

Bara, satu-satunya orang yang masih peduli kepadanya, kadang mampir untuk memastikan Liam baik-baik saja. Namun, Liam sadar, Bara juga memiliki pekerjaan lain yang membutuhkan fokusnya. Tanggung jawab sebagai asisten artis lain telah membuat Bara semakin sibuk, dan Liam merasa tak ingin menambah beban pria itu lagi. Sesekali Liam berpikir, mungkin memang lebih baik jika ia menjalani semua ini sendiri.

Di tengah lamunannya, tiba-tiba sebuah notifikasi pesan terdengar dari ponselnya. Ia mengambil ponselnya dengan ragu dan begitu melihat nama pengirimnya, hatinya langsung berdesir.

Wira
| Ini aku, Kak. Wira. Semoga Kakak liat pesanku ini.

Seketika jantung Liam berdetak lebih cepat, bukan karena penyakitnya kambuh, tetapi karena melihat pesan yang tertera. Senyum tipis terbit di wajah pemuda itu, perlahan menepis kesedihan yang melingkupinya. Tanpa berpikir panjang, Liam mengetik balasan dengan antusias.

Me
| Ini beneran kamu, Dek?

Wira
| Iya, Kak. Sekarang Kakak di mana? Maaf, waktu itu aku nggak bisa bela Kakak ... dan baru bisa hubungi Kakak hari ini.

Pesan itu membuat hati Liam terasa hangat sekaligus perih. Ia tahu, adiknya pasti kecewa, tetapi Wira tetap menyempatkan diri untuk menghubunginya, memberi perhatian di tengah jarak dan kebekuan di antara mereka. Dengan penuh rasa sayang, Liam membalasnya.

Me
| Kakak ada di apartemen. Nggak perlu minta maaf, Dek. Waktu itu kamu udah lakuin yang terbaik. Kakak tahu gimana Ayah sama Bunda kecewa ... kamu udah lakuin yang terbaik, kok. Makasih

Wira
| Kakak baik-baik aja, 'kan? Soalnya Kakak tiba-tiba hiatus, ada apa, Kak? Bukankah ini mimpi Kakak?

Pertanyaan itu seolah menghujam hati Liam. Ia terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. Pahit rasanya mengakui alasan hiatusnya, meski pada akhirnya ia hanya bisa menyembunyikan kebenaran.

Me
| Kakak baik-baik aja, kok. Kakak cuma butuh waktu buat istirahat aja.

Wira
| Ini terlalu mendadak, Kak. Kakak bisa cerita sama aku kalo ada masalah.

Mata Liam terasa panas. Tulusnya perhatian Wira membuatnya ingin menceritakan segalanya, tetapi ia memilih untuk menahannya.

Me
| Kamu nggak perlu khawatir, Dek. Janji, deh, nggak ada yang Kakak sembunyiin.

Wira
| Aku harap gitu, ya, Kak.

Liam terdiam, menyadari betapa besar harapan yang Wira titipkan padanya. Ia ingin memeluk adiknya, ingin menjelaskan semuanya, namun kata-kata itu terasa sulit diucapkan. Akhirnya, ia memberanikan diri meminta nomor Wh*tsApp Wira, agar bisa lebih mudah menghubunginya.

Me
| Boleh minta nomor WA kamu? Biar Kakak bisa hubungi kamu lebih enak.

Wira
| Ya, Kak. 08xx

Me
| Kalo ada waktu, Kakak pingin ketemu, Dek.

Wira
| Ayok ketemu, Kak.
| Hmm, Kak. Kakak udah bekerja keras selama ini, makasih udah jadi bintang yang bersinar, ya. Aku bangga sama Kakak.

Liam menatap layar ponselnya yang kini hening kembali, senyum kecil tersungging di wajahnya. Hatinya terasa sedikit lebih ringan, walau kesepian masih menyelimuti dirinya. Setidaknya, ada harapan kecil di ujung sana-hubungan dengan adiknya masih ada, dan itulah yang membuatnya ingin bertahan. Di malam yang sunyi itu, Liam kembali duduk termenung, merasakan percakapan singkat tadi seolah menjadi obat bagi luka yang tak terlihat di dalam hatinya.

[]

Terima kasih atas 1k pembacanya ^^♥️

Lampung, 10112024

Lagu Terakhir untuk PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang