12. Pertaruhan Harapan

199 42 6
                                    

Bara duduk di depan IGD, matanya memandang kosong ke arah pintu yang tertutup rapat. Di wajahnya yang lelah, tergurat ketegangan dan kekhawatiran yang begitu mendalam. Jam sudah menunjukkan larut malam, tetapi bahkan sekadar menutup mata pun terasa seperti hal yang mustahil baginya.

Pikiran Bara terombang-ambing di antara harapan dan ketakutan, terpaku pada detik-detik yang terasa berjalan begitu lambat. Bagaimana mungkin ia bisa tidur, sementara Liam, orang yang selalu ia jaga dan dampingi, sedang terbaring tak berdaya beberapa meter darinya? Walaupun dokter sudah mengambil alih, rasa khawatir Bara tetap tak terobati.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang terus dilanda kecemasan. Beberapa jam yang lalu, Liam dilarikan dalam kondisi yang begitu lemah, dan Bara sendiri hampir kehilangan kendali saat melihatnya. Meski sudah memberitahukan kondisi Liam pada sang manajer, tetap saja perasaan tidak tenang itu seperti tak mau hilang.

Pihak agensi sendiri saat ini sudah memberitahukan pengumuman jika apa yang tengah terjadi hanya rumor semata, foto-foto yang dirumorkan hanya hoax dan tengah melakukan penyelidikan siapa orang yang sudah menyebarkan berita tersebut. Sebagai bintang besar, rumor seperti itu pasti akan sangat berdampak besar pula bagi masyarakat.

Andri, sebenarnya bisa saja dengan mudah mengungkapkan semuanya, bahwa Liam sakit, bukan seperti yang dituduhkan, tetapi wajah Liam yang lemah dan suaranya yang nyaris berbisik masih terngiang di benaknya. Liam memohon padanya agar menjaga rahasia ini, agar publik tak perlu tahu apa yang sesungguhnya ia derita. Maka dari itu, saat Liam sudah stabil nanti, ia akan mencoba untuk membicarakan ini lagi kepada Liam. Semoga saja pemuda itu mau jujur kepada publik, agar rumor yang beredar tidak semakin menimbulkan kesalahpahaman.

"Bar," panggil seseorang.

Bara mengangkat kepalanya, melihat Andri yang kini ada di hadapannya. Pria itu tampak khawatir seperti dirinya, Liam sangat beruntung mendapatkan manajer sebaik Andri. Andri melirik ke arah pintu IGD yang masih tertutup rapat. "Ayo kita bicara di tempat lain," ucapnya, mengisyaratkan Bara untuk menjauh sejenak dari keramaian.

Keduanya berjalan ke sudut koridor yang sepi, di mana lampu-lampu redup menambah kesan muram suasana malam itu. Bara menatap Andri, masih tak menyangka pria itu datang malam ini.

"Bapak datang ke sini?" tanya Bara, sedikit terkejut. Beberapa jam lalu, Andri bilang akan datang pagi, namun rupanya pria itu mengubah pikirannya.

Andri mengangguk pelan. "Iya, saya nggak bisa berhenti mikirin Liam. Rasanya nggak tenang kalau cuma nunggu kabar dari telepon. Gimana keadaannya sekarang?" tanyanya, suaranya terdengar serak. Kekhawatirannya jelas terpancar dari sorot matanya.

Bara menghela napas panjang sebelum menjawab, "Belum ada kabar lagi dari dokter, Pak, tapi syukurlah, nggak ada sesuatu yang buruk. Kalau besok pagi kondisinya stabil, kata dokter bisa dipindahin ke ruang rawat."

Andri mengusap wajahnya, mencoba mengusir lelah yang menggerogoti. "Syok itu benar-benar bikin saya khawatir. Jantungnya sakit, Bara. Kalau begini terus, saya takut ...." Suaranya terhenti, enggan melanjutkan kata-kata yang terasa terlalu berat untuk diucapkan.

Bara menepuk bahu Andri, mencoba menenangkan. "Pak, tapi kita harus percaya. Liam itu kuat. Saya tahu dia kelihatan rapuh sekarang, tapi dia selalu berhasil bangkit. Saya yakin dia bisa melewati ini juga."

Andri mengangguk pelan, tetapi kekhawatiran tetap membayangi wajahnya. "Saya tahu dia anak yang kuat, tapi ngeliat dia kayak gini, saya rasanya nggak bisa berpikir jernih. Dulu, semua ujaran kebencian nggak pernah menggoyahkan dia, tapi sekarang, dengan sakit ini, situasinya beda, Bar."

Bara mengangguk setuju. "Betul, Pak. Liam mungkin pernah tegar menghadapi komentar buruk, tapi kali ini, tubuhnya ikut terluka. Saya yakin satu hal, Pak, Liam nggak akan kalah. Dia udah membuktikan betapa kuatnya dia selama ini. Bahkan, dia berani berjuang buat minta maaf ke orang-orang yang pernah dia kecewakan. Itu bukti kalau dia nggak akan menyerah."

Mendengar kata-kata Bara, Andri tersenyum kecil, meski samar. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hatinya. "Liam memang anak yang berani. Dia tahu konsekuensi dari setiap langkah yang dia ambil, tapi dia tetap maju. Saya yakin dia akan bertahan. Bahkan, saya yakin dia akan lebih bersinar setelah semua ini selesai."

Bara mengangguk, ikut tersenyum tipis. "Saya juga yakin, Pak. Liam punya mimpi besar dan dia nggak akan biarin penyakit ini menghalangi jalannya."

Keheningan kembali menyelimuti mereka sejenak. Di kejauhan, suara langkah dokter yang hilir-mudik di IGD menjadi pengiring malam yang panjang itu. Bara dan Andri tetap berdiri di sana, tak ada kata lagi yang perlu diucapkan. Yang tersisa hanyalah doa dan harapan untuk seorang Liam yang kini berjuang di dalam ruang itu-sendirian.

***

Kondisi Liam sudah stabil di pagi harinya, itu artinya ia sudah bisa dipindahkan ke ruang rawatnya. Dengan nasal cannula yang bertengger di hidung bangirnya, Liam tidur setengah duduk, tidak mengatakan apa-apa ketika para perawat mulai mendorong brankarnya menuju ruang rawat. Sementara itu, di antara para perawat tersebut ada Bara yang mendampingi.

Sesekali Liam memejamkan matanya sejenak, dadanya sudah tidak sesakit kemarin malam, tetapi ia masih merasa sangat lemas hingga untuk duduk rasanya tidak kuat. Pikirannya melayang pada konflik yang tengah terjadi, Liam yakin jika orang-orang belum berhenti menghujat dirinya.

Ketika mereka tiba di kamar rawat, Bara langsung membantu perawat memindahkan Liam ke ranjang. Liam bersusah payah mengangkat tubuhnya, napasnya memburu hanya dari usaha sederhana itu. Wajahnya semakin pucat, seperti seseorang yang baru saja berlari maraton. Bara tak sanggup menyembunyikan rasa khawatir yang kian menyeruak.

"Sesak lagi, Li?" tanya Bara, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Liam menggeleng pelan. "Nggak, Kak. Nggak sesakit tadi malam," jawabnya lemah. Ia mengatur napas sambil menyentuh nasal cannula yang terasa mengganjal di hidung. Benda itu memang membantunya bernapas, tapi juga membuatnya merasa tak nyaman. Hidungnya mulai terasa kering, tetapi ia tahu tidak punya pilihan.

Bara menarik kursi ke samping ranjang dan duduk di sana, matanya terus tertuju pada Liam yang terlihat begitu rapuh. Wajah pucatnya, mata yang sayu, dan tubuh lemah itu benar-benar membuat hati Bara teriris.

"Kak," suara Liam terdengar lirih. "Rumor itu ... mereka masih terus ngehujat, ya?"

Bara mendesah pelan, lalu menggenggam tangan Liam yang dingin. "Pikirin kondisi kamu dulu, Li. Kamu nggak salah, jadi nggak perlu khawatir. Setelah kamu lebih kuat, kita bahas lagi, ya?"

Liam menunduk. "Tapi, Kak, aku harus gimana? Rasanya kayak aku dipojokin tanpa bisa ngebela diri."

"Kamu nggak harus ngapa-ngapain sekarang. Fokus aja pulih dulu. Agensi kita juga lagi nyelidiki siapa yang nyebar rumor itu. Percaya, semua ini bisa selesai." Bara menjawab dengan nada tegas, berusaha menenangkan.

"Aku akui salah satu foto itu emang aku, tapi aku nggak lagi minum obat-obatan terlarang. Itu obat resep, dokter, Kak. Aku minum sebelum pulang karena memang jadwalnya," ungkap Liam.

Bara menepuk punggung tangan Liam dengan lembut. "Kakak yakin ada yang sengaja motret kamu waktu itu. Haters cuma cari alasan buat ngejatuhin kamu, Li. Kamu tau sendiri gimana netizen kalau udah nggak suka, kan?"

Liam terdiam. Pikirannya berputar, mencoba mencari tahu siapa yang tega memanfaatkan momen itu untuk menghancurkan reputasinya. "Kak, aku penasaran banget. Gimana mereka bisa dapet fotoku di tempat itu?"

"Mungkin ada penguntit waktu kamu di sana." Bara menjelaskan. "Tapi kamu nggak usah mikirin itu sekarang. Agensi udah buat klarifikasi kalau foto itu nggak seperti yang mereka tuduhkan."

Liam menatap Bara dengan cemas. "Mereka nggak bilang aku sakit, kan? Jangan sampai mereka tahu aku sakit, Kak. Aku takut semuanya jadi lebih buruk."

Bara menenangkan Liam dengan suara lembut. "Tenang, agensi nggak bilang apa-apa soal kondisi kamu. Mereka cuma bilang rumor itu nggak benar. Udah, kamu fokus sembuh dulu, ya?"

Liam menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan. Untuk sesaat, beban di dadanya terasa sedikit lebih ringan. Meskipun masalahnya belum selesai, kehadiran Bara memberinya sedikit rasa aman yang ia butuhkan.

[]

Kalo kalian jadi fans Liam, apa yang bakal kalian lakuin kalo ada rumor kayak gini? Pilih percaya sama Liam atau pilih menghujat?

Lampung, 17112024

Lagu Terakhir untuk PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang